Senin, 01 Desember 2008

INTEGRASI ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM

INTEGRASI ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM
SERTA MUNCULNYA PRAKTIK DIKOTOMI
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A.Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum
Islam adalah agama rahmah li al-âlamîn. Agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Sebuah predikat yang tidak pernah dinyatakan oleh kitab-kitab suci bagi agamanya, selain kitab suci agama Islam. Statemen tersebut mengindikasikan bahwa Islam tidak menilai kehidupan dunia kalah pentingnya daripada kehidupan akherat. Atau, kehidupan akherat lebih utama daripada kehidupan dunia, sehingga kehidupan akherat lebih niscaya untuk diperhatikan daripada kehidupan dunia, dan sebagai konsekuensinya, ilmu agama lebih penting untuk dipelajari daripada ilmu umum. Islam bahkan tidak pernah mengotak-ngotak dan tidak pula mengklasifikasikan ilmu, menjadi ilmu agama dan ilmu umum untuk kemudian diberi penekanan berbeda dalam pengkajiannya. Al-Qur'an dan hadits sebagai sumber utama Islam tidak pernah menjelaskan adanya dualisme tersebut. Justru keduanya mengajarkan konsep kesatuan, unity of knowledge. Hal ini terlihat jelas pada cakupannya yang tidak hanya terfokus pada domain ukhrawi saja, tetapi duniawi juga.
Dengan ungkapan yang akurat, Wan Mohd menyatakan,1 bahwa al-Qur'an mengandung realitas tentang ketidakterbatasan ilmu pengetahuan, kemuliaan tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia. Secara natural ketiganya memotivasi para ilmuwan muslim untuk membagi dan mengklasifikasikan atau mengategorikan ilmu pengetahuan. Hasrat akan ketepatan dan keteraturan merupakan karakteristik tradisi intelektual Islam, sebagaimana yang dahulu juga terjadi pada para ilmuwan Yunani, khususnya Aristoteles, yang banyak memengaruhi tradisi intelektual Islam. Namun berbeda dari orang-orang Yunani yang tidak memiliki ilmu pengetahuan yang diwahyukan, dan karenanya tidak perlu mengategorikan ilmu Allah swt. dan sains-sains yang diambil wahyu, umat Islam tampak lebih komprehensif dalam mengategorikan ilmu pengetahuan dengan memasukkan kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut, sungguhpun lebih banyak menjabarkan ilmu wahyu dari pada ilmu akal.
Luas dan besarnya perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan ini terlihat jelas pada penggunaan al-Qur'an terhadap kata 'ilm, dalam berbagai bentuk dan artinya, yang mencapai 854 kali. Antara lain digunakan sebagai proses pencapaian pengetahuan dan obyeknya.2 Jumlah ini merupakan jumlah kata terbanyak kedua yang digunakan al-Qur'an setelah kata Allah.3
Al-Qur'an dan hadits sungguhpun bukan buku ilmiah, telah menyajikan berbagai ilmu pengetahuan. Di samping berisi hukum Tuhan, al-Qur'an juga mengandung metafisika, kosmologi, dan ajaran tentang dunia dan akhirat, dalam ekspresi dan formulasi yang apa adanya.4 Begitu juga hadits, sungguhpun tidak secara implisit, juga telah banyak menyampaikan pesannya tentang ilmu pengetahuan dan hakekat-hakekat kepribadian jiwa, sosial, pendidikan, ekonomi, dan kemanusiaan.5
Selain itu, al-Qur'an mengintroduksikan diri sebagai pemberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus (baca: QS. al-Isrâ' 17: 19), sedangkan Nabi Muhammad saw., yang dalam hal ini bertindak sebagai penerima al-Qur'an, bertugas menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut, menyucikan dan mengajar-kan manusia (baca: QS. 67: 2). Keduanya telah memberi motivasi dan membangkitkan semangat umat manusia, terutama umat Islam, dalam memelajari ilmu pengetahuan yang tidak hanya terbatas pada ilmu agama.
Konsep dasar ilmu pengetahuan yang terkandung dalam ajaran Islam tersebut dan perintah untuk memelajarinya, merupakan inspirasi bagi umat Islam yang meniscayakan mereka menjadi khaira ummat, sebaik-baik umat yang ada di alam ini. Dan hal ini telah direalisasikan dan dibuktikan oleh umat Islam di masa klasik, sejak masa Rasûlullâh Muhammad saw. hingga --mencapai titik kulminasi-- ketika umat Islam di bawah imperium Bani Abbasiyyah. Namun hal di atas bukanlah satu-satunya faktor. Faktor lain yang sangat krusial dan tidak dapat dipungkiri adalah adanya persentuhan antara peradaban Islam-Arab dengan peradaban yang ada di daerah-daerah yang ditaklukkan. Melalui penaklukan tersebut orang Islam-Arab bukan saja menguasai wilayah geografisnya, tetapi juga pusat-pusat peradaban tertua di dunia. Akhirnya mereka menjadi pewaris tunggal berbagai budaya dan tradisi panjang sejak zaman Yunani-Romawi, Iran, Fir'aun dan Assyria-Babilonia.6 Dalam bidang seni dan arsitektur, filsafat, kedokteran, ilmu pengetahuan, sastra, dan pemerintahan, orang-orang Arab tidak memiliki banyak hal yang bisa diajarkan dan dipelajari. Berkaitan dengan hal ini, Hitti mengilustrasikan bahwa di Mesir, Irak dan Persia mereka duduk khidmat, menjadi murid dari orang-orang yang mereka taklukkan. Dan sejarah membuktikan, bahwa mereka merupakan murid yang sangat rakus ilmu.7 Berangkat dari rasa ingin tahu yang kuat dan potensi tersembunyi yang tidak pernah muncul sebelumnya, orang-orang muslim, dengan bantuan dari, dan bekerja sama dengan orang-orang taklukannya mulai berasimilasi, mengadaptasi dan menghasilkan khasanah intelektual dan estetikanya sendiri.
Dengan demikian, peradaban Islam tersebut merupakan asimilasi antara ajaran dasar Islam --yang telah memberi inspirasi-- dengan peradaban yang telah ada di daerah-daerah taklukan. Namun, sekali lagi, bahwa dalam proses mewarisi peradaban tersebut, para cendekiawan muslim bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, tetapi menambahkan ke dalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam lapangan filsafat, sehingga timbullah ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filsuf. Dan tidak jarang seorang filsuf sekaligus juga adalah seorang ahli matematika, kimiawan, fisikawan bahkan musisi.8 Asimilasi tersebut, dalam khasanah keilmuan Islam, lebih memberikan kontribusinya dalam pengayaan ilmu-ilmu umum. Sementara ilmu-ilmu agama tumbuh dari benih-benih yang ada dalam Islam sendiri, yakni dalam al-Qur'an dan hadits. Sungguhpun dikatakan, dalam konteks hukum Islam, hukum Romawi, baik secara langsung maupun melalui Talmud, dan saluran lainnya benar-benar telah memengaruhi sistem hukum (Dinasti Umayyah), tapi sebesar apa pengaruhnya belum bisa dipastikan.
Karena visi dan misi Islam pertama kali adalah meluruskan tauhid serta mengokohkan aqidah bagi umat manusia, atau dalam istilah Fazlur Rahman, semangat dasar al-Qur'an adalah semangat moral, baru kemudian mengarah pada ide-ide keadilan sosial dan ekonomi,9 maka ilmu yang pertama kali dipelajarinya adalah ilmu agama. Pendidikan ini dimulai sejak awal turunnya Islam (pada masa Nabi Muhammad saw.) hingga dua masa setelahnya (masa shahabat dan tabi'in). Pada masa-masa tersebut, ilmu agama mendominasi praksis pendidikan yang ada.
Dalam proses pendidikan, Nabi Muhammad saw. merupakan orang pertama yang disebut-sebut sebagai Guru Agung yang telah mengajar umatnya. Di masa berlangsungnya pendidikan ilmu agama ini, ilmu umum belum disentuh kecuali serba sedikit dan sepintas. Aktivitas pendidikan ini telah melahirkan beberapa ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu (agama), sebagaimana sebagian telah disebutkan dalam bab terdahulu. Dalam bidang tafsir misalnya, selain Khulafâ' al-Râsyidîn juga 'Abdullâh ibn 'Abbâs (w. 687 M.), 'Abdullâh ibn Mas'ûd (w. ± 653 M.), Ubay ibn Ka'ab, Zaid ibn Tsâbit, Abû Mûsâ al-Asy'ârî, dan 'Abdullâh ibn Zubair.10 Dalam bidang hadits, sebagaimana ditulis Hasbi ash-Shiddieqy,11 di Madinah, dikenal nama Abû Bakar, 'Umar ibn Khaththâb, 'Alî ibn Abî Thâlib, Abû Hurairah (w. 679 M.), 'Âisyah al-Shiddîq (w. 668 M.), 'Abdullâh ibn 'Umar (w. 693 M.), Abû Sa'îd al-Khudry (w. 693 M.), dan Zaid ibn Tsâbit.
Di Makkah, Mu'adz dan 'Abdullâh ibn 'Abbâs. Di Kuffah, 'Abdullâh ibn Mas'ûd, Sa'ad ibn Abî Waqqash, Saîd ibn Zaid, Khabbab ibn al-'Arat, Salmân al-Fârisy, Hudzaifah ibn al-Yâmân, Ammar ibn Yasîr, Abû Mûsâ al-Asy'arî, al-Baraq, al-Mughîrah, al-Nu'mân, Abû Thufail, Abû Jauhaifah, dan lain-lain. Di Basrah, Anas ibn Mâlik (w. 912 M.), 'Utbah, 'Imran ibn Husain, Abû Barzah, Ma'qil ibn Yasar, Abû Bakrah, Abd al-Rahmân ibn Samurah, 'Abdullâh ibn Syikhkhîr, Jariah ibn Qudamah. Di Syam, Mu'adz ibn Jabal, 'Ubadah ibn Shâmit dan Abû Darda'. Di Mesir, 'Abdullâh ibn Amer, 'Uqbah ibn Âmir, Kharijah ibn Hudzaifah, 'Abdullâh ibn Sa'ad, Mahmiyah ibn Juz, 'Abdullâh ibn Hârits, Abû Basyrah, Abû Sa'ad al-Khair, serta Mu'adz ibn Anas al-Juhry. Sementara dalam bidang fiqh, Abû Mûsâ al-Asy'ari, 'Alî ibn Abî Thâlib, 'Abdullâh ibn Mas'ûd, dan lain-lain.
Sepeninggal Nabi Muhammad saw., merekalah yang dianggap sebagai ulama' di zamannya. Sebagai konsekuensi, merekalah yang selanjutnya mengajar para generasi sesudahnya. Dan di masa ini, selain ilmu agama, ilmu umum juga sudah mulai dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Tokoh pertama yang memasukkan ilmu umum adalah 'Umar ibn Khaththâb. Namun ilmu umum tersebut masih terbatas pada berenang, mengendarai unta, memanah, membaca dan menghafal syair-syair yang mudah serta peribahasa.
Pendidikan pada masa ini juga berhasil mencetak para cendekiawan besar di kalangan tabi'în. Seperti, dalam bidang tafsir di Makkah, Sa'îd ibn Jubair, Mujâhid, 'Ikrimah, Thâwus dan 'Athâ' ibn Abî Rabâh sebagai murid 'Abdullâh ibn 'Abbâs; di Madinah Zaid ibn Aslâm, Abu al-'Aliyah dan Muhammad ibn Ka'ab murid Ubay ibn Ka'ab; di Irak, 'Alqamah ibn Qais, Masrûq, Aswad ibn Yazîd, Murrah al-Hamdzâni, Âmir al-Sya'bi Hasan al-Bashry (w. 708 M.) dan Qatâdah ibn Da'amah, murid 'Abdullâh ibn Mas'ûd.12 Kajian terhadap al-Qur'an dan penafsirannya juga telah melahirkan dua ilmu kembar, yaitu filologi dan leksikografi. Jenis ilmu yang pertama dan juga tradisi intelektual Islam secara umum banyak mendapatkan kontribusinya dari orang-orang Kufah non-ortodok yang kebanyakan orang Syi'ah (pendukung 'Alî) dan orang-orang Basrah, sehingga persaingan antara kedua kelompok ulama' tersebut berkembang menjadi dua madzhab terkenal dalam tata bahasa dan literatur Arab. 13
Dalam bidang hadits, di Madinah, Sa'îd ibn Musyayyab (w. 713 M.), 'Urwah ibn Zubair (w. 714 M.), Muhammad ibn Muslim al-Zuhry (w. 124 H. / 742 M.), 'Ubaidillâh ibn 'Abdillâh ibn 'Utbah, Sâlim ibn 'Abdullâh ibn 'Umar, al-Qâsim ibn Muhammad ibn Abî Bakr, Nâfi' al-'Adawy (w. 117 H.), Abû Bakar ibn 'Abd al-Rahmân ibn Hârits ibn Hisyâm dan Abû al-Zinâd. Di Makkah, Mujâhid, 'Ikrimah, 'Atha' ibn Abî Rabah, dan Abû al-Zubair Muhammad ibn Muslim. Di Kufah, Masrûq, 'Ubaidah, al-Aswad, Syuraih, Ibrâhîm, Sa'îd ibn Jubair (w. 95 H.), dan Âmir ibn Syarahil al-Sya'bi (w. ± 728 M.). Di Basrah, Abû al-'Aliyah, Râfi' ibn Mihrâm al-Riyahy, Hasan al-Bishry, Muhammad ibn Sirrîn (w. 728 M.), Abû Sya'tsa', Jâbir ibn Zaid, Qatadah ibn Di'amah (w. 118 H.), Mutharraf ibn 'Abdullâh ibn Syikhkhîr dan Abû Bardah ibn Abî Mûsâ. Di Syam, Abû Idrûs al-Khaulany, Qabishah ibn Dzuaib, Makhul, dan Raja' ibn Haiwah. Di Mesir, Abû al-Khair Martsad al-Yaziny dan Yazîd ibn Abî Habîb.14
Dalam disiplin hukum (fiqh) lahir antara lain Syuri'ah ibn al-Hârits (w. 78 H. / 697 M.), Alqamah ibn Qais (w. 62 H. / 681 M.), Masrûq al-Ajda' (w. 63 H. / 682 M.) al-Aswâd ibn Yazîd (w. 95 H. / 913 M.), yang kemudian diikuti oleh Ibrâhîm al-Nakha'i (w. 95 H. / 923 M.), dan Amr ibn Syurahbil al-Sya'by (w. 104 H. / 722 M.). Hammad ibn Abû Sulaimân (w. 120 H. / 737 M.) --guru Abû Hanîfah--, Ibnu Syihâb al-Zuhri (w. 124 H. / 741 M.) dan Nâfi' Maulâ 'Abdullâh ibn 'Umar (117 H. / 735 M.), keduanya merupakan guru Imâm Mâlik ibn Anas (w. 179 H. / 795 M.).15 Dalam bidang teologi, Washil ibn Atha' (w.748 M.) dari faksi Mu'tazilah. Dalam bidang tasawuf antara lain Sa’id ibn Musayyib (w. 94 H.), Hasan al-Bashry (w. 110 H. / 721 M.), Sufyân as-Tsauri (w. 121 H. / 732 M.), al-Fadhl al-Raghassy (w. 128 H. / 740 M.), 'Abd al-Wâhid ibn Zaid (w. 177 H. / 788 M.), Mâlik ibn Dinâr (w. 181 H. / 792 M.), dan Râbi'ah al-Adawiyah (w. 185 H. / 796 M.).16
Kajian terhadap ilmu umum, sungguhpun sederhana, juga telah melahirkan beberapa ilmuwan. Dalam bidang sejarah, misalnya, Wahb ibn Munabbih (w. ± 728 M.), Ka'b al-Ahbâr (w. ± 652 M.), 'Ubayd ibn Syaryah. Dalam bidang kimia, kedokteran, dan astropologi, dikenal nama Khâlid (w. 704 M.), putra khalifah Umayyah dan seorang filsuf keluarga Marwân. Menurut Fihrits (sumber informasi tertua dan terbaik) dialah orang pertama yang menerjemahkan buku-buku dalam bidang tersebut yang ditulis dalam bahasa Yunani dan Koptik.17 Sementara perhatian terhadap seni sastra (syair), telah memunculkan para seniman, antara lain 'Abd. Hamîd al-Kâtib (w. 750 M.), Ibn al-'Âmid, al-Akhtâl (w. 710 M.), Farazdaq (w. 732 M.), Jarîr (w. 792 M.), 'Umar ibn Abî Rabi'ah (w. 719 M.), Jâmil al-'Udhri (w. 701 M.), Qays al-Mulawwah (w. 699 M.), Miskîn al-Dârimî dan lain-lain.
Hingga masa ini tradisi menulis (literer) belum banyak mewarnai praksis intelektual muslim, sehingga para ilmuwan tidak banyak --untuk tidak mengatakan tidak memiliki-- karya dalam bentuk dokumen yang dapat diwariskan pada generasi berikutnya.18 Kegiatan menulis lebih difokuskan pada penulisan hadits Nabi Muhammad saw. dalam rangka pengkodifikasian, yang terjadi di masa --dan atas perintah-- khalifah 'Umar ibn 'Abdul 'Azîz, dan dalam teks pidato, korespondensi serta puisi, yang ketiganya masuk dalam disiplin puisi.
Hal demikian (baca: kajian terhadap ilmu pengetahuan), semakin mendapatkan apresiasinya di masa-masa berikutnya (tâbi' al-tâbi'în) yang secara politis di bawah imperium Abbasiyyah, terutama dalam masa satu abad pertama. Tradisi tulis telah menandai tingkat kemajuan peradaban di masa ini, sehingga kemajuan ilmu pengetahuan, selain diindikasikan dengan lahirnya para ilmuwan, juga dengan munculnya karya-karya mereka dalam bentuk literer. Selain itu, masa ini dikenal sebagai masa keterbukaan terhadap budaya-budaya dan peradaban-peradaban asing seluas-luasnya, yang memungkinkan bagi masuknya berbagai pengaruh asing, sehingga di masa ini Islam mencapai titik kulminasi dalam peradaban.
Kajian terhadap ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum, merupakan aktivitas keseharian mereka yang tidak kenal lelah, baik dari kalangan sipil maupun pemerintah. Bahkan kalangan yang disebut terakhir seringkali menjadi patron sekaligus fasilitator yang turut mewarnai --dan menentukan-- berlangsungnya proses pendidikan. Sehingga Kraemer menyebut mereka sebagai para penguasa dan pejabat negara yang menaruh minat besar terhadap pengetahuan, memanjakan para filsuf, ilmuwan, dan sastrawan di istana mereka yang megah.19 Benih-benih yang telah ditanam pada masa sebelumnya, dikembangkan pada masa ini sehingga tampak subur dan rindang. Sementara benih yang belum ada, ditanamkannya sehingga menjadi lebih sempurna. Maka lahirlah di masa ini beberapa ilmuwan disertai dengan karya-karya mereka.20
Dalam bidang ilmu agama, tafsir misalnya, Abû Thâhir Muhammad ibn Ya'qûb dengan karyanya Tanwîr al-Miqyâs min Tafsîr Ibn Abbâs, Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 310 H. / 923 M.) dengan kitabnya Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, Ibn 'Athiyah dengan karyanya al-Muharir al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-'Azîz, Ismâ'îl ibn Amr Ibn Katsîr (w. 774 H.) dengan karyanya Tafsîr al-Qur'ân al-'Adlim dan lain-lain, sebagai tafsîr bi al-ma'tsûr. Selanjutnya Muhammad ibn 'Umar ibn Hasan al-Râzî (w. 606 H.) dengan karyanya Mafâtih al-Ghaib, Ibn Hayyan dengan karyanya Bahr al-Muhîth, Mahmûd ibn 'Umar al-Zamakhsyarî (w. 537 H.) dengan karyanya al-Kasysyâf dan lain-lain, sebagai tafsîr bi al-ra'yi.21
Dalam lapangan hadits muncul misalnya, Muhammad ibn Ismâ'îl ibn Ibrâhîm al-Bukhârî (w. 252 H. / 870 M.), yang telah memilih 7.397 dari 600.000 hadits yang ia peroleh dari 1.000 guru dalam rentang waktu 16 tahun perjalanan; dan Muslim ibn al-Hajjaj (w. 261 H. / 875 M.) yang telah mengumpulkan dan menyusun 3.030 hadits (atau 10.000 hadits disertai pengulangan) di samping beberapa karya lainnya. Dari kedua ulama' tersebut, khasanah intelektual Islam mengenal kitab hadits al-shahîh (shahih Bukhari dan shahih Muslim). Selain keduanya, muncul nama Sulaimân ibn al-Asy'ats ibn Ishâq, al-Azdâwi al-Sijistânî yang terkenal dengan nama Abû Dâwûd (w. 275 H. / 888 M.), Abû 'Îsâ Muhammad ibn 'Îsâ ibn Saurah al-Turmudzy (w. 279 H. / ± 892 M.), Abû 'Abdillâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwaini Ibn Mâjah (w. 273 H. / 886 M.) Abû 'Abdirrahman Ahmad ibn Syu'aib ibn 'Alî Al-Khurasânî al-Nasâ'i (w. 303 H. / 915 M.), selain menulis beberapa kitab, sebagaimana dua nama sebelumnya, mereka juga menyusun kitab hadits yang dikenal dengan term sunan.22
Dalam bidang hukum, yurisprudensi, lahir misalnya, al-Nu'mân ibn Tsâbit (yang dikenal dengan nama Imâm Abû Hanîfah) (w. 150 H. / 767 M.), pendiri madzhab liberal; Mâlik ibn Anas (w. 179 H. / 795 M.), pendiri madzhab konservatif, yang menulis kitab al-Muwaththa', kitab hukum Islam tertua yang menghimpun 1700 hadits hukum. Muhammad ibn Idrîs al-Syâfi'î (w. 204 H. / 820 M.), di antara karyanya dalam disiplin ini adalah al-'Um; Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H. / 855 M.). Keempat ulama' tersebut dikenal sebagai pendiri madzhab yang hingga kini masih menjadi kiblat bagi mayoritas umat muslim di dunia. Selain nama-nama tersebut, muncul nama lain seperti al-Awza'î (w. 774 M.) dan al-Dlâhiri (w. 883 M.), yang telah mendirikan madzhabnya sendiri-sendiri.23
Dalam lapangan teologi, sebagaimana ditulis oleh M.M. Syarif,24 misalnya Abû Hizail al-'Allâf (w. ± 226 H. / 840 M.). Dia menulis 60 buku mengenai kalam tetapi semua karyanya telah lenyap; Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Sayyâr --terkenal dengan al-Nadldlâm-- (w. 231 H. / 845 M.); Bisyr ibn Mu'tamir (w. 210 H. / 825 M.); Mu'ammar ibn 'Abbâd al-Sulami (w. 228 H. / 842 M.); Tsamâmah ibn al-Numairi (w. 213 H. / 828 M.) 'Amr ibn Bahr al-Jâhiz di antara karya terpentingnya adalah Kitâb al-Bayân dan Kitâb al-Hayawân; Abû 'Alî al-Juba'i; Abû Hâsyim 'Abd al-Salâm (w. 321 H. / 933 M.) dan lain-lain, dari faksi Mu'tazilah.
Abû al-Hasan 'Alî ibn Ismâ'îl al-Asy'ârî (w. 330 H. / 935 / 942 M.), terdapat kontroversi mengenai jumlah karya tokoh yang paling populer dalam aliran ini, menurut Ibn Furâk beliau memiliki 300 karya, sementara Ibn Asâkir mengatakan 93 karya. Tidak banyak dari jumlah tersebut yang masih lestari. Di antara karyanya yang terkenal adalah al-Ibânah 'an Ushûl al-Diyanah (dicetak di Hyderabad, Decan --sekarang Bangladesh-- pada 1321 H. / 1903 M.) Risâlah fî Istihsân al-Khaudh fî al-Kalâm dicetak pada 1323 H. / 1625 M., dan Maqâlât al-Ismâ'îliyyîn; Abû Ja'far ibn Muhammad ibn Salamah al-Azdi al-Hajri al-Thahâwî (w. 331 H. / 942 M.), di antara karyanya adalah Syarh Ma'âni al-Âtsar, Ikhtilâf al-Ulamâ'; Abû Mansûr al-Matûridî (w. 333 H. / 944 M.), di antara karyanya adalah Kitâb Ta'wilât al-Qur'ân, Kitab al-Tauhîd; Abû Sahl Salûqi dan lain-lain dari faksi Ahli Sunnah.
Dalam lapangan tasawuf, 'Abd al-Faidh Zin-Nûn al-Misra, Abû Yazîd al-Bustami (w. 261 H. / 877 M.) yang terkenal dengan ajaran hulul-nya, Yahya ibn Ma'az al-Râzî, al-Junaid (297 H. / 910 M.), Abû Bakar Syiblî (w. 334 H. / 946 M.), al-Hallaj, Husin ibn Mansûr al-Hallaj (w. 309 H. / 921 M.) yang memiliki ajaran hulûl, al-haqiqât al-muhammadiyah, dan kesatuan segala agama, Abû Hamid al-Ghazâlî (w. 550 H. / 1111 M.), Syihâb al-Dîn Abû al-Futûh al-Sahrawardi (w. 587 H. / 1191 M.) yang di antara karyanya, Hikmat al-Isyrâq, Muhy al-Dîn ibn 'Araby (w. 638 H. / 1240 M.) yang terkenal dengan ajaran wihdat al-wujûd-nya. Sufi ini, menurut Brockelman, memiliki tidak kurang dari 150 buah, dan yang paling besar adalah al-Futûhât al-Makkiyah, 'Umar ibn al-Fâridh (w. 632 H. / 1233 M.) yang terkenal sebagai penggubah syair percintaan kepada Tuhan, Ibn Sabi'în (w. 1250 M.) yang telah memadukan antara tasawuf dengan filsafat, dan sebagainya.25
Dalam disiplin bahasa, lahirlah ahli-ahli nahwu (dari aliran Basrah) misalnya, Isa ibn Umar al-Tsaqafi (w. 149 H.) pelopor aliran ini, yang telah mengarang beberapa buku dan semuanya hancur kecuali dua, yaitu al-Jâmi' dan al-Ikmâl, al-Akhfasy (w. 177 H.), Sibawaih (w. 180 H.) yang telah memperluas serta menambah ulasan-ulasan terhadap al-Jâmi' karangan Isa ibn Umar al-Tsaqafi, dan Yûnus ibn Habîb (w. 182 H.). Dari Kufah, pecahan dari aliran Basrah, antara lain: Abû Ja'far al-Ru'asi, sebagai pendiri aliran ini, al-Kisa'î (w. ± 183 H.) dan al-Farra' (w. 208 H.).26
Sementara dalam ilmu umum, yang kebangkitannya ditandai dan diawali dengan proyek penerjemahan karya-karya berbahasa Persia, Sanskerta, Suriah dan Yunani ke dalam bahasa Arab (± 750-850 M.) juga telah memunculkan beberapa intelektual --berikut karyanya-- dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga dalam tiga perempat abad setelah berdirinya Baghdad, dunia literatur Arab telah memiliki karya-karya filsafat utama Aristoteles, komentator neo-Platonis, dan tulisan-tulisan kedokteran Galen, juga karya-karya ilmiah Persia dan India, yang telah dikembangkan selama berabad-abad.27
Dalam bidang kedokteran misalnya, ilmuwan yang muncul antara lain 'Alî ibn Sahl Rabban al-Thabârî, dengan karyanya Firdaus al-Hikmah (surga hikmah), salah satu kompendium obat-obatan tertua dalam bahasa Arab; al-Râzî (Eropa: Razes w. 925 M.), yang dalam Fihrits disebutkan telah menulis 113 buku tebal dan 28 judul buku tipis, 12 di antaranya membahas kimia. Beliau juga menulis sebuah buku, Kitâb al-Thibb al-Manshûri, yang terdiri dari 10 jilid, yang dipersembahkan untuk Manshûr ibn Ishâq al-Sâmânî dari Sijistan. Sementara di antara monografinya yang paling terkenal adalah al-Judari wa al-Hashbah (bisul dan cacar air), sebuah karya pertama dalam bidang ini yang dipandang sebagai mahkota dalam literatur kedokteran Arab.28 Sedangkan karyanya yang paling utama adalah al-Hâwî (buku yang komprehensif).29
'Alî ibn al-'Abbâs (w. 994 M.), yang dikenal sebagai penulis al-Kitâb al-Mâliki (buku raja, Liber regius)30; Ibn Sînâ (Avicenna w. 1037 M.), mengenai jumlah karyanya, terdapat kontroversi. Al-Qifthi menyebutkan ada 45 karya Ibn Sînâ, sementara seorang penulis biografi modern menulis, bahwa ia menulis sebanyak 200 buku, yang meliputi filsafat, kedokteran, geometri, astronomi, teologi, filologi dan kesenian. Di antara karya ilmiahnya yang paling unggul adalah Kitâb al-Syifâ' (buku tentang penyembuhan) dan al-Qânûn fî al-Thibb.31 Ibn Jazlah (w. 1100), dengan tulisan snopsis medisnya yang berjudul Taqwîm al-Abdân fî Tadbîr al-Insân (tabel tubuh yang terkait dengan pengaturan fisik manusia). Ilmuwan lain dalam bidang ini adalah adalah Ya'qûb ibn Akhî Hizâm, ahli kuda al-Mu'tadhid, dengan karyanya al-Furûsîyah wa Syiyât al-Khayl, yang merupakan karya berbahasa Arab pertama tentang kuda.
Donasi pemerintah dalam bidang ini antara lain pendirian Rumah Sakit oleh al-Rasyid pada awal abad 9, dan tidak lama setelah itu jumlah rumah sakit di seluruh dunia Islam bertambah menjadi 34 buah. Selain itu, pada masa al-Ma'mûn dan al-Mu'tashim diadakan ujian (seleksi) dokter, terkait dengan kasus malpraktik kedokteran Bagi dokter yang dinyatakan lulus dalam ujian tersebut diberi sertifikat dan baginya diberi wewenang untuk menjalankan prakteknya. Di Kairo rumah sakit dibangun pertama pada masa Ibn Thulun, sekitar 872 M. yang bertahan hingga abad ke-15.
Dalam bidang astronomi dan matematika yang merupakan pengaruh (peradaban) India, Muhammad ibn Ibrâhîm al-Fâzârî, ilmuwan yang menerjemahkan karya astronomi dari India, Siddhanta, yang kemudian dijadikan rujukan oleh para sarjana belakangan; Ibrâhîm al-Fâzârî (w. ± 777 M.), orang pertama yang membuat astrolob; Abû al-'Abbâs Ahmad al-Farghâni (Alfraganus), dengan karya utamanya al-Mudkhil ila 'Ilmi Hai`ah al-Aflâk;32 'Abd. al-Rahmân al-Shûfî (w. 986 M.), dengan karya besarnya al-Kawâkib al-Tsâbitah (Bintang-bintang yang berada pada Tempatnya); Ahmad al-Shâghâni (w. 990); Abû al-Wafa' (w. 997 M.); Abû Ja'far al-Khâzin dari Khurasan, yang memastikan sudut ekliptik bumi dan memecahkan persoalan Archimedes tentang ekuasi kubik; 'Abû Rayhân Muhammad ibn Ahmad al-Bîrûnî (w. 1050 M.) seorang ilmuwan muslim yang juga dianggap sebagai sarjana Islam paling orisinil dan terkenal dalam bidang ilmu pengetahuan alam. Di antara karya astronomi yang ditulisnya adalah al-Qânûn al-Mas'ûdî fî Hai`ah wa al-Nujûm yang dipersembahkan untuk shahabatnya, Mas'ûd, putra Mahmûd. Dalam tahun yang sama dia juga menulis al-Tafhîm li Awa`il Shinâ'ah al-Tanjîm yang berisi tentang rumus-rumus geometri, aritmatika, astronomi dan astrologi.33
'Umar al-Khayyâm yang juga terkenal sebagai penyair Persia dan pemikir bebas. Hanya sedikit orang yang menyadari bahwa ia adalah seorang astronom dan ahli matematika kelas satu. Para peneliti dan asisten penelitian dengan bekerja sama dengannya berhasil membuat sebuah kalender yang diberi nama al-Tarîkh al-Jâlâl; Nasrh al-Dîn al-Thûsî (w. 1274 M.), yang pernah menyusun tabel astronomi yang disebut al-Zij al Il-Khâni untuk dipersembahkan kepada Hulagu ketika nama yang terakhir ini menyerang Baghdad. Adapun dalam bidang astrologi (ilmu pendukung astronomi) Abû Ma'syar (Albumasar w. 886 M.), ilmuwan muslim yang memperkenalkan hukum pasang surut laut ke Eropa, yang dijelaskannya berkaitan dengan timbul dan tenggelamnya bulan. Tokoh otoritatif yang sering dikutip pada 'Abad Pertengahan' ini dipandang sebagai nabi dalam ikonograpi.
Donasi pemerintah dalam bidang astronomi antara lain pendirian dua buah observatorium oleh al-Ma'mûn. Sebuah observatorium dengan supervisor Sind ibn 'Alî, di sinilah para astronom kerajaan tidak hanya mengamati dengan seksama dan sistematis berbagai gerakan benda langit tetapi juga menguji semua unsur penting dalam Almages karya Ptolemius, dan menghasilkan amatan yang sangat akurat: sudut ekliptik bumi, ketepatan lintas matahari, panjang tahun matahari dan sebagainya. Observatorium yang lain, didirikan di bukit Kasiyun di luar Damaskus. Selain itu, Sultan Dinasti Buwayhi, Syaraf al-Dawlah (982-989 M.) juga membangun observatorium di istananya, Baghdad, yang menjadi tempat bekerja 'Abd. al-Rahâm al-Shûfî (w. 986 M.), Ahmad Shâghâni (w. 990 M.) dan Abû al-Wafa' (w. 997 M.). Sementara Jalâl al-Dîn Maliksyah mendirikannya di Rayy (Nisabur). Di sinilah diperkenalkan pembaruan penting dalam kalender sipil berdasarkan perhitungan akurat terhadap panjang masa satu tahun tropis.
Karya sarjana Hindu-India di atas (baca: Siddhanta) diklaim juga telah memperkenalkan ilmu aritmatika dengan sistem angka dan nol. Dengan demikian karya tersebut turut memberi jalan bagi masuknya sistem angka ke dalam Islam. Di antara ilmuwan yang muncul dalam bidang ini adalah Muhammad ibn Mûsâ al-Khawârizmî (w. ± 870 M.). Karya utamanya dalam bidang ini adalah Hisâb al-Jahr wa Muqâbalah. Dalam buku tersebut, beliau menyertakan lebih dari 800 contoh, yang sebagian diambil dari neo-Babilonia.34 Pemikiran al-Khawârizmî telah memengaruhi pemikiran matematika yang hingga batas tertentu lebih besar daripada penulis Abad Pertengahan lainnya. Bersama Habasy al-Hâsib (w. ± 874 M.) beliau telah menyusun tabel, sehingga dinilai telah berjasa dalam memasyarakatkan penggunaannya di seluruh dunia Arab.
Ilmuwan berikutnya adalah 'Umar Khayyâm, yang pemikirannya dipengaruhi oleh al-Khawârizmî. Aljabar Khayyâm merupakan pengembangan aljabar al-Khawârizmî. Di dalamnya dibahas solusi pecahan tingkat dua dengan menggunakan geometri dan aljabar dan pengelompokan pecahan yang menakjubkan. Selanjutnya, Abû Bakar Muhammad al-Karajî (wafat antara 1019-1029 M.), dengan karyanya al-Kâfî fî al-Hisâb (Tuntunan Aritmatika), dan Ahmad al-Nasawi (w. ± 1040) dengan karyanya al-Muqni fî al-Hisâb al-Hindî (pengokohan perhitungan Hindu). Dalam buku ini ia menjelaskan pecahan dan pengurangan akar kuadrat dan akar kubik dengan cara modern, menggunakan angka India sebagaimana yang dilakukan oleh al-Khawârizmî sebelumnya.
Dalam bidang Kimia, Jâbir ibn Hayyân (Geber), yang namanya paling populer setelah al-Râzî (w. 925 M). Sejarah mencatat bahwa beliau pernah belajar pada Khâlid ibn Yazîd ibn Umayyah (w. 704 M.) dan imam Syi'ah ke-4, Ja'far Shâdiq (w. 765 M.). Di antara karyanya adalah Kitâb al-Rahmah (Buku Cinta), Kitâb al-Tajmi' (Buku tentang Konsentrasi), al-Zi'baq al-Syarqî (Air Raksa Timur), ketiganya telah diterbitkan. Sebagaimana ilmuwan Yunani, beliau percaya bahwa logam biasa seperti seng, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas. Ilmuwan berikutnya --yang mengklaim sebagai murid Jâbir-- adalah al-Thughrâ'î (w. ± 1121 M.) dan Abû al-Qâsim al-'Irâqî yang hidup pada paruh kedua abad ke-13 M. Keduanya hanya menambah sedikit perbaikan terhadap metodenya. Mereka terus mencari dua utopia kimiawi: formula pembuat emas dan ramuan elixir.
Dalam bidang zoologi dan antropologi, Abû 'Utsmân Amr ibn Bahr al-Jâhiz (si mata besar w. ± 869). Karyanya di bidang ini adalah Kitâb al-Hayawân (Buku tentang Hewan), sebuah karya zoologi yang disinyalir Hitti sebagai lebih bersifat teologi dan folklore, bukan bernuansa biologis.35 Di dalamnya beliau mengutip gagasan aristoteles, memuat satu bahasa yang menjadi cikal bakal lahirnya teori evolusi, adaptasi, dan psikologi hewan. Beliau mengetahui bagaimana memperoleh ammonia dari organ bagian dalam hewan melalui penyulingan. Beliau adalah ilmuwan yang sangat berpengaruh, terutama bagi ilmuwan yang muncul setelahnya. Al-Qazwînî (w. 1283 M.) dan al-Damîrî (w. 1405) adalah dua ilmuwan besar setelahnya yang sangat dipengaruhi oleh pemikirannya (baca: al-Jâhiz)
Dalam ilmu mineral (yang terkait erat dengan ilmu kimia) umat Islam tidak memiliki prestasi yang berarti, akan tetapi kesukaan mereka terhadap batu-batu berharga dan ketertarikannya pada kehebatan berbagai mineral mengilhami bagi lahirnya beberapa karya dalam bidang ini. Karya tertua adalah karya 'Uthârid ibn Muhammad al-Hasib (penulis tidak menemukan judul dari karya tersebut) pada abad ke-9 M. Adapun karya terbaik adalah Azhâr al-Afkâr fî Jawâhir al-Ahjâr (Bunga rampai pemikiran tentang Batu-batu Berharga) yang ditulis oleh Syihâb al-Dîn al-Tîfâsyî (w. 1253 M.). Buku tersebut membicarakan tidak kurang dari 24 jenis batu berharga, meliputi asal-usul, wilayah geografis, harga, nilai magis dan pengobatan, dan hanya mengutip sumber-sumber berbahasa Arab. Al-Bîrûni yang terkenal keakuratan hasil penelitiannya, telah menentukan berat jenis 18 macam batu dan logam berharga.
Dalam bidang geografi, yang dilatarbelakangi oleh kewajiban melaksana-kan haji, keharusan menghadapkan mihrab masjid ke arah Mekkah, dan penentuan arah kiblat (Makkah) ketika shalat, juga telah melahirkan beberapa ilmuwan. Sementara astrologi, yang membutuhkan penetapan garis lintang dan bujur semua tempat di permukaan bumi, semakin menambah pengaruh ilmiah dalam kajian ini. Pengaruh Yunani dalam bidang ini --sungguhpun tidak sepenuhnya-- tidak dapat dielakkan. Buku Geograpy karya Ptolemius, yang menyebutkan berbagai tempat berikut garis bujur dan lintang buminya, diterjemahkan beberapa kali ke dalam bahasa Arab, baik dari bahasa aslinya maupun dari terjemahannya dalam bahasa Suriah, terutama oleh Tsâbit ibn Qurrah (w. 901 M.).
Al-Khawârizmî dengan mengikuti gaya penulisan Ptolemius, telah menyusun karyanya, Sûrah al-Ardh (Gambar / Peta Bumi). Dengan dibantu oleh 69 sarjana lainnya, beliau menggambar peta bumi dalam karya tersebut atas perintah al-Ma'mûn. Peta bumi --dan angkasa luar-- dalam karya tersebut adalah yang pertama dalam Islam, sehingga ia menjadi acuan bagi karya-karya berikutnya. Bahkan karya tersebut memicu kegairahan dalam kajian geografi dan penulisannya yang orisinil. Abû al-Hasan 'Alî al-Mas'ûd (hidup pada paruh pertama abad ke-10) adalah di antara ilmuwan yang merujuk pada peta tersebut ketika menulis karya-karyanya (antara lain Marûj al-Zahab). Sementara pengaruh ilmu geografi al-Khawârizmî ini tampak pada penulis muslim hingga abad ke-14 M., seperti terlihat dari tulisan Abû al-Fidâ'.
Karya-karya geografis berbahasa Arab pertama yang independen biasanya berbentuk buku petunjuk jalan, terutama menunjukkan tempat-tempat penting. Ibn Khurdadzbih (w. ± 912 M.) dengan karyanya al-Masâlik wa al-Mamâlik, adalah sebagai contoh. Pada 891-892 M. Ibn Wâdhih al-Ya'qûbî (penganut Syi'ah) juga menulis Kitâb al-Buldân (Buku Negeri-Negeri) yang memberikan catatan detail tentang karakteristik topografi dan keadaan ekonomi setiap negeri. Segera setelah itu, Qudâmah menyelesaikan bukunya, al-Kharâj, yang menerangkan pembagian wilayah kekhalifah an ke dalam berbagai provinsi, organisasi layanan pos, dan pajak setiap wilayah. Ahli geografi Arab lainnya --keturunan Persia-- adalah Ibn Rustah dengan karyanya al-A'lâq al-Nafîsah (Kantung Berharga). Pada tahun yang sama, Ibn al-Fâqih al-Hamdâni juga menyelesaikan karyanya Kitâb al-Buldân, yang merupakan buku geografi lengkap.
Sementara penulisan ilmu geografi secara sistematis, baru muncul pada pertengahan abad ke-4 H., dengan munculnya al-Ishthakhî, Ibn Hawqal (w. 977 M.), dan al-Maqdîsî. Karya al-Ishthakhî, Masâlik wa al-Mamâlik, dilengkapi dengan peta berwarna masing-masing negeri, yang merupakan pengembangan dari sistem geografi yang disusun oleh Abû Zaid al-Balkhî (w. 934 M.) dari Dinasti Samaniyah. Setelah melakukan perjalanan hingga Spanyol, Ibn Hawqal memperbaiki karya al-Ishthakhî tersebut kemudian menulis ulang dengan judul yang sama. Sementara al-Maqdîsî --atau al-Muqaddasî-- pada 985-986 M. setelah melakukan perjalanan selama 20 tahun di kawasan negeri Islam kecuali Spanyol, Sijistan, dan India, menuliskan pengetahuannya --dengan banyak mengutip karya Ibn al-Fâqih al-Hamdâni-- yang diberi judul Ahsan al-Taqâsîm fî Ma'rifah al-Aqâlîm (Klasifikasi Ilmu Geografi yang Terbaik).
Pada masa yang sama, dari Yaman tercatat nama al-Hasan ibn Ahmad al-Hamdânî (w. 945 M.), yang telah berhasil menyelesaikan dua buah karyanya sekaligus, al-Iklîl dan Shifah Jazîrah al-'Arab. Karya tersebut menginfomasikan keadaan Semenanjung Arab-Islam dan pra-Islam. Sebelum Dinasti Abbasiyyah berakhir, muncul seorang ahli geografi muslim terbesar dari Timur, Yâqût ibn 'Abdullâh al-Hamawi (w. 1229 M.), yang telah menyusun kamus geografi, al-Mu'jam al-Buldân.
Dalam bidang historiografi, yang telah mendapatkan kematangannya di masa ini, telah melahirkan beberapa ilmuwan. Di antaranya, Muhammad ibn Ishaq (w. ± 152 H. / 767 M.) dari Madinah, dengan karya pertamanya, Sîrah Rasûlullâh. Buku ini merupakan karya tertua dalam bidangnya yang didasarkan atas tradisi keagamaan; Ibnu Hisyâm (w. 218 H.), yang telah meringkas karya tersebut dan diberi nama Sirâh ibn Hisyâm; Mûsâ ibn Uqbah dengan karyanya al-Maghâzî, sejarah tentang peperangan dan penaklukan Islam paling awal; dengan judul yang sama Muhammad ibn 'Umar al-Waqidi (w. ± 208 H.) juga telah menulis karyanya; Ibn 'Abd. al-Hakam (w. 870 M.), karyanya, Futûh Mishr wa Akhbâruhâ, menjadi dokumen tertua tentang penaklukan Mesir, Afrika Utara dan Spanyol. Ahmad ibn Yahyâ al-Balâdûrî dari Persia, karya utamanya berjudul Futûh al-Buldân dan Anshâb al-Asyrâf; Muhammad ibn Muslim al-Dînawarî --terkenal dengan nama Ibn Quthaybah-- (w. 889 M.) dengan karyanya Kitâb al-Ma'ârîf (Buku Pengetahuan). Tokoh lain sezamannya adalah Abû Hanîfah Ahmad ibn Dâwûd al-Dînawarî (w. 859 M.), dengan karya utamanya al-Akhbâr al-Thiwâl (Cerita Panjang), buku tentang sejarah dunia dari sudut pandang orang Persia. Selain menulis sejarah, keduanya juga telah menulis beberapa karya sastra dan filologi. Pada saat yang sama, muncul Ibn Wâdhîh al-Ya'qûbi --di samping sebagai ahli geografi-- yang kompedium sejarah dunianya hingga 258 H. / 872 M. berhasil mempertahankan tradisi Syi'ah klasik.
Selanjutnya Hamzah al-Ishfahânî (w. 961 M.). Catatan sejarahnya yang agak kritis telah dikenal lebih awal di Eropa modern; Miskawayh (w. ± 1030 M.) --di samping seorang filsuf dan dokter-- bahkan beliau berada pada peringkat atas dalam barisan sejarawan Islam, di samping al-Thabarî dan al-Mas'ûdî. Abû Ja'far Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî (w. 923 M.), di samping terkenal karena karya tafsirnya juga karena sejarahnya. Salah satu karyanya adalah Tarîkh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja). Karya sejarahnya yang sangat terperinci dan akurat, menjadi rujukan bagi para sejarawan berikutnya, seperti Miskawayh, Ibn Atsîr (w. 1234 M.) dan Abû al-Fidâ' (w. 1331 M.), dan al-Dzahabi (w. 1348 M.).36 Sementara Abû Hasan 'Alî al-Mas'ûdî (Herodotus bangsa Arab) bahkan telah memprakarsai metode tematis dalam penulisan sejarah. Karyanya, Murûj al-Dzahab wa Ma'âdin al-Jauhar (Pedang Emas dan Tambang Batu Mulia) merupakan karya historis-geografis yang berbentuk ensiklopedi, yang mengindikasikan bahwa selain seorang sejarawan, beliau juga seorang ahli dalam ilmu geografi. Pada masa keduanyalah (baca: al-Thabarî dan al-Mas'ûdi), penulisan sejarah Arab mencapai titik kulminasi, dan mengalami kemunduran drastis setelah masa Miskawayh, Izz al-Dîn ibn Atsîr (w. 1234 M.)
Dalam bidang sosiologi Abû al-Thayyib Muhammad ibn Ishâq ibn Yahyâ al-Wasysya (w. 325 H.) dengan kitabnya al-Zurafa, al-Fauz al-Asghâr karyanya Tahdzîb al-Akhlâq, Abû 'Alî Ahmad ibn Muhammad Miskawaih karyanya Tajârib al-Umam oleh dan lain-lain. Dalam bidang ekonomi Abû 'Ubaid ibn Sallam (w. 224 H.), kitabnya al-Kharâj; dengan judul yang sama, Yahyâ ibn Âdama al-Quraisyi (w. 239 H.) juga menulis karyanya; Abû al-Faraj Qudamah ibn Ja'far al-Baghdâdî dengan kitabnya al-Kharaj wa Sun'ah al-Kitâbah. Dalam ilmu politik Ibn Qutaibah dengan karyanya kitab al-Imâmah wa al-Siyâsah, Abî Hasan 'Alî ibn Muhammad al-Mawardi (w. 540 H.) dengan karyanya al-Ahkâm wa al-Sulthâniyah wa al-Wilâyah al-Diniyyah, dan Abû al-Hasan Hilâl al-Sâbi (w. 448 H.) serta karyanya Rusum Dâr al-Khalifah dan Tuhfah al-Umara fî Tarîkh al-Wuzarâ oleh dan lain-lain.37
Selain dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum, kajian filsafat dan seni (sastra) juga mendapatkan perhatiannya yang besar. Kajian pertama melahirkan, antara lain al-Kindî (w. 873 M.) --di samping seorang astronom, kimiawan, ahli mata, dan musisi. Filsuf keturunan Arab ini menulis lebih dari 361 buah buku, namun kebanyakan tidak bisa ditemukan. Dari karya-karyanya yang masih ada, kebanyakan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin; Al-Fârâbî (w. 950 M.) --di samping seorang dokter yang membidangi penyakit dalam, ahli matematika, juga seorang musisi-- yang sistem filsafatnya, seperti terungkap dari beberapa risalahnya tentang Plato dan Aristoteles, merupakan campuran antara Platonisme, Aristotelianisme dan mistisisme, yang membuat dia dijuluki sebagai guru kedua, al-mu'allim al-tsânî, setelah Aritoteles. Selain menulis komentar tentang Aristoteles, ia juga menulis tentang psikologi, politik, dan metafisika. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Risâlah Fushûsh al-Hikam (Risalah Mutiara Hikmah) dan Risâlah fî Ârâ' Ahl al-Madînah.
Ibn Sînâ (w. 1037) --di samping seorang musisi dan dokter, dengan mengadopsi pandangan filosofis al-Fârâbî ia sanggup menyatukan berbagai kebijaksanaan Yunani dengan pemikirannya sendiri. Dengan karya-karyanya, sistem pemikiran Yunani, terutama Philo, dapat diselaraskan dengan ajaran Islam. Di antara karyanya yang masyhur adalah al-Syifâ', sebuah ensiklopedi tentang fisika, metafisika dan matematika yang terdiri atas 18 jilid. Ibn Rusy (Eropa: Averroes), seorang filsuf muslim yang paling berpengaruh di Eropa dalam bidang filsafat. Sehingga di sana terdapat aliran yang disebut Averroisme.38 Selain itu, Ikhwân al-Shafâ (persaudaraan sufi) yang muncul pada abad ke-4 Hijriyah (± 970 M.). Karyanya yang paling terkenal adalah Rasâ'il, sebuah ensiklopedi yang terdiri atas 52 risalah, yang membahas tentang matematika, astronomi, geografi, musik, etika, dan filsafat.
Selain empat nama tersebut, M.M. Syarif dalam bukunya, Para filosof Muslim, menambah beberapa nama, di antaranya: Muhammad ibn Zakariâ al-Râzî (w. 313 H / 925 M.), di antara karyanya adalah al-Shirâth al-Falsafiyah; Miskawaih (w. 421 H. / 1030 M.) salah satu karyanya adalah Jawidan Khirad; Ibn Bajjah (w. 533 H. / 1138 M.), salah satu karyanya The Eseurial MS; Ibn Tufail (w. 581 H. / 1185 M) --di samping seorang dokter, ahli matematika dan seorang penyair-- di antara karyanya adalah Asrâr al-Hikmah al-Masyriqiyyah; Ibn Rusy (w. 595 H. / 1198 M.) di antara karyanya: Fash, Kasy dan Thahafut; dan Nasir al-Dîn Tûsi (w. 672 H. / 1274 M.), M.M. Syarif menyebutkan 19 karya beliau, satu di antaranya adalah Asas al-Iqtibas. Sementara Harun Nasution memasukkan al-Ghazâlî dalam daftar filsuf yang ditulis dalam sebuah bukunya, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Di antara karya al-Ghazâlî bidang filsafat yang terkenal adalah Maqâsid al-Falâsifah.
Sementara dalam bidang kedua yang telah ada sejak masa pra-Islam, pada masa ini juga telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar. Di antaranya al-Jauhârî (w. ± 1008 M.) yang telah menyusun kamusnya secara alfebetis dari huruf terakhir tiap kata. Kamus tersebut menjadi acuan bagi para penyusun kamus berikutnya. Rekan sezamannya Ibn Jinnî (w. 1002 M.) yang telah berjasa dalam pembentukan filologi folosofis. Abû Faraj al-Ishbahânî (w. 967 M.), karya besarnya adalah Kitâb al-Aghâni (buku nyanyian), al-Jahsyiyârî dengan karya terkenalnya Alf Lailah wa Lailah. Sastra dalam arti sempit, yakni âdâb mulai dikembangkan oleh al-Jâhiz (w. 868 M.), guru para sastrawan Baghdad; dan mencapai puncaknya pada abad ke-4 dan 5 dengan melalui karya-karya Badî' al-Zaman al-Hamadzânî (w. 1008 M.), pencipta Maqâmah (sejenis anekdot dramatis) al-Tsa'âlibî (w. 1083 M.) dan al-Harîrî (w. 1122 M.), dengan karyanya Maqâmât.
Tentunya nama-nama di atas adalah sebagian dari para ilmuwan muslim dan patron yang telah memberikan apresiasinya kepada ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum. Dan masih banyak nama-nama lain bahkan disiplin lain yang belum tertulis dalam penelite ian ini. Hal itu merupakan refleksi serta indikator bagi bersatunya ilmu pengetahuan dalam (ajaran) Islam, dengan tanpa perbedaan signifikan. Keduanya sama-sama memiliki nilai dan arti serta pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia. Dan hal tersebut pada gilirannya merupakan sumbangan mereka dalam bidang ilmu pengetahuan kepada seluruh dunia.
B. Lembaga Pendidikan Formal dan Informal serta Kurikulumnya
1. Lembaga Formal
Kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan serta keharusan mencarinya, menuntut umat Islam klasik untuk mendirikan institusi sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan. Sementara, besarnya minat mencari ilmu yang berimplikasi pada semakin berkembangnya pendidikan dari waktu ke waktu, mendesak perkembangan institusi tersebut. Sehingga muncullah beberapa institusi pendidikan di saat itu. Institusi-institusi tersebut dapat diidentifikasi ke dalam dua status kelembagaan, yaitu formal dan informal. Institusi-institusi yang termasuk dalam kelompok pertama adalah: kuttâb (sebagai representasi pendidikan dasar), masjid-akademi (sebagai representasi pendidikan menengah) dan madrasah (sebagai representasi pendidikan tinggi).39
Ketiga institusi tersebut memiliki sejarahnya sendiri-sendiri yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Keterkaitan tersebut mengindikasikan pendidikan dalam Islam yang sangat dinamis, selalu aktual dan kontekstual. Kuttâb sebagai institusi pendidikan, sudah dikenal pada masa pra-Islam. Namun kuttâb sebagai institusi formal-dasar baru dikenal setelah hadirnya Islam. Yang merupakan peralihan dari pendidikan dasar yang telah berlangsung di masjid pada masa sebelumnya. Islam bahkan mendesak perkembangan kuttâb jenis ini. Sehingga dapat diprediksi bahwa meluasnya wilayah kekuasaan Islam berimplikasi pada menjamurnya institusi ini. Keterlibatan elite pemerintah dalam hal ini --juga dalam pengelolaannya, seperti menentukan kurikulum-- tidak bisa dielakkan. Sungguhpun tidak semua khalifah di zamannya masing-masing menunjukkan keterlibatan tersebut.
Pendirian tersebut lebih merupakan sebuah refleksi dari ajaran dasar Islam, sehingga eksistensi kuttâb steril dari dan untuk tendensi lain. Karena Islam mengajarkan keseimbangan hidup di dunia dan akherat, maka obyek yang dipelajari dalam kuttâb tersebut meliputi ilmu umum dan ilmu agama, dalam formatnya yang sederhana dan kondisional. Ketika al-Qur'an telah selesai dikodifikasikan, maka al-Qur'an dijadikan sebagai kurikulum intinya. Dan berbeda dengan kuttâb sebelumnya (pra dan awal Islam) yang hanya memelajari ilmu umum dan seringkali diajar oleh orang non-muslim, kuttâb ini diajar oleh seorang muslim-hâfidl.
Munculnya kuttâb sebagai institusi dasar-formal tersebut berimplikasi pada munculnya masjid-akademi sebagai institusi menengah-formal. Dan berbeda dengan kuttâb, masjid-akademi ini didirikan oleh sekelompok masyarakat atau penganut sebuah madzhab fiqh tertentu, sehingga pendiriannya (tentu) memiliki tendensi tertentu. Kajian keagamaan, yang mendapatkan perhatian pertama dalam Islam dan strata sosial yang menjanjikan bagi pengkaji fiqh di masa itu telah memotivasi mereka untuk menentukan fokus kajiannya bahkan mengilhami pendiriannya. Intervensi elite pemerintah dalam hal ini, baik sebagai patron maupun sebagai pengelola, tidak menunjukkan keberadaannya. Segala kebijakan dalam pendidikan merupakan hak prerogatif mudarris. Satu-satunya intervensi-legal elite pemerintah adalah dalam mengangkat mudarris sebagai pengelola masjid-akademi, namun hal itu, secara praktis, jarang terjadi.
Karena tidak ada aturan khusus dalam hukum Islam yang membatasi pendiriannya, sebagaimana yang berlaku bagi masjid jâmi', maka masjid-akademi memiliki jumlah yang sangat banyak. Sifatnya yang lokal dan eksklusif mengindikasikan pendiriannya di setiap wilayah, bahkan (mungkin) di setiap kelompok masyarakat. Institusi ini lebih menekankan kajiannya pada disiplin keagamaan (seperti tafsir, hadits, ushul fiqh, nahwu, sharaf) terutama fiqh. Sebuah penekanan yang kurang bijak bagi sebuah institusi pendidikan Islam. Karena bagaimanapun juga, hal itu merupakan sebuah degradasi paradigma berpikir, yang berekses pada kemunduran pendidikan itu sendiri.
Sungguhpun demikian, perkembangan masjid-akademi ini semakin hari semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kaum muslim. Dan untuk tidak mengacaukan fungsi utama masjid, maka selanjutnya didirikan sebuah institusi yang independen --tetapi tetap berada di sekitar masjid-- sebagai tempat belajar. Institusi inilah yang disebut madrasah. Sebuah institusi pendidikan tinggi-formal yang keberadaannya paling unggul di abad XI. Selain didirikan oleh masyarakat sipil, seperti saudagar, juga didirikan oleh kelompok elite pemerintah.40 Bahkan dominasi kelompok kedua sangat menonjol. Sehingga sulit untuk tidak mengatakan bahwa pendirian madrasah mengandung unsur politis, sekurang-kurangnya untuk mencapai tujuan pilitis. Walaupun hal itu diakui oleh para elite semata-mata sebagai konsekuensi dari seorang muslim yang sadar, namun kedudukan dan kepentingan mereka dalam pemerintahan merupakan sesuatu yang sangat menentukan. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa madrasah merupakan kebijakan religio-politik bagi penguasa.
Karena memiliki banyak kelebihan dalam beberapa hal dibanding dua institusi sebelumnya, serta adanya peran aktif dari elite pemerintah, maka perkembangan madrasah menjadi sangat pesat, sesuai dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat muslim di masanya. Beberapa elite pemerintah telah mendirikan madrasah di wilayahnya masing-masing. Dan madrasah pertama yang paling menonjol serta berpengaruh pada pendirian madrasah lain adalah madrasah Nidlâmiyah yang didirikan pada 459 H. / 1065 M. di Baghdad. Selain sebagai patron (pendiri), elite pemerintah juga ikut serta dalam pengangkatan staf dan penentuan kurikulum. Dalam hal terakhir, karena mereka adalah para pengikut madzhab Sunni-Syâfi'iyyah yang menjadikan madrasah sebagai instrumen bagi kelanggengan doktrinnya, maka kurikulum yang ditawarkan lebih memberikan aksentuasinya pada ajaran-ajaran madzhab Syâfi'î dan teologi Asy'ariyah.
Selain itu, mereka juga menampilkan hadits Nabi yang menghidupkan ajaran Sunni di satu pihak dan melawan Syi'ah di pihak lain, dalam memberikan materi hadits, di samping menggunakan metode indoktrinasi dalam pengajarannya. Secara keseluruhan mata pelajaran yang dipelajari di madrasah adalah: al-'ulûm al-naqliyyah (ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur'an seperti Tafsir, Qira'at, Hadits, Ushul Fiqh, Fiqh dan ilmu kalam) dan al-'ulûm al-lisâniyyah (seperti bahasa dan sastra, nahwu, sharaf).41 Sementara al-'ulûm al-ajnabiyah (ilmu-ilmu yang membutuhkan basis logika dan filsafat, seperti ilmu pasti dan kealaman, kedokteran, kimia, fisika dan lain-lain) ditinggalkan. Hal ini terlihat dari apa yang diajarkan di madrasah Nidlâmiyah, yang merupakan profil madrasah ketika itu. Dalam hal ini Mahmud Yunus menyatakan bahwa bukti-bukti tentang madrasah Nidlâmiyah menunjukkan:
1.Tak seorangpun di antara sejarawan yang mengatakan bahwa di antara mata pelajarannya ada ilmu kedokteran, falak, ilmu pasti. Mereka hanya menyebut nahwu, ilmu kalam dan fiqh.
2.Guru-guru yang mengajar di madrasah Nidlâmiyah adalah ulama'-ulama' syari'ah.
3.Pendiri madrasah Nidlâmiyah bukanlah orang yang membela ilmu filsafat dan bukan pula orang yang membantu pembebasan filsafat.
4.Zaman berdirinya Nidlâmiyah, bukanlah zaman filsafat, melainkan zaman menindasnya serta para filsuf.42

2. Lembaga Informal
Di samping institusi formal muncul pula institusi informal. Di antara institusi-institusi pendidikan yang tergolong informal adalah: rumah, istana, toko (institusi pendidikan dasar); masjid jâmi', sanggar seni (institusi pendidikan menengah) dan perpustakaan (institusi pendidikan tinggi), dengan dinamikanya sendiri-sendiri yang menandai tingkat kemajuan di masanya. Fenomena jahili yang menggambarkan kondisi masyarakat Arab pada masa awal turunnya Islam, mendesak dilaksanakannya sebuah pendidikan untuk menata moral dan menegakkan aqidah mereka. Kesederhanaan hidup dan kehidupan pada waktu itu menjadi pertimbangan utama diselenggarakannya pendidikan dalam sebuah rumah. Sehingga bagi sejarah pendidikan Islam, rumah merupakan institusi dasar-informal pertama. Satu-satunya obyek yang dipelajari di sana adalah al-Qur'an.
Pada masa yang lebih kemudian dan --tentunya-- lebih maju, yang ditandai dengan lahirnya para ilmuwan lintas disiplin dalam formatnya yang lebih sempurna, tidak jarang para ilmuwan (tersebut) mengumpulkan beberapa murid untuk membentuk halaqah di rumahnya. Sedangkan ilmu yang dipelajari ketika itu telah melawati ilmu agama. Artinya, selain ilmu agama, juga ilmu-ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu umum.
Namun tidak jarang pula para ilmuwan tersebut diundang atau dijadikan guru privat oleh khalifah atau bangsawan untuk mengajar anak-anak mereka di istananya. Sekurang-kurangnya itulah yang terjadi pada masa khalifah Abbasiyyah. Hal itu dilatarbelakangi oleh harapan para khalifah agar anak-anak mereka kelak menjadi figur-figur yang dapat dihandalkan pada masanya dalam mewarisi tahta. Karena itu, seringkali khalifah sendiri yang menentukan apa saja yang harus diajarkan pada anak-anaknya. Dan di antara pelajaran-pelajaran tersebut yang paling utama adalah pidato, kesusasteraan dan lain-lain, dan di atas segalanya nilai-nilai keksatriaan.43
Ketika menuntut ilmu sudah menjadi tradisi bagi semua lapisan masyarakat, baik sipil maupun kaum aristokrat, dan tradisi literer mulai tumbuh, maka banyak ilmuwan yang merefleksikan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Untuk dapat membaca, menelaah dan menyalin karya tersebut, para sastrawan kemudian membelinya dari pemiliknya (ilmuwan). Dan untuk dapat diadopsi oleh publik secara luas, setelah digandakan karya tersebut dijual kembali. Begitulah yang dilakukan oleh para pemilik toko atau penjual buku ketika itu. Tidak jarang juga, mereka menjadikan tokonya sebagai ajang adu argumentasi di antara para ilmuwan. Munculnya berbagai disiplin ilmu ketika itu mengindikasikan beraneka-ragamnya topik diskusi yang dipilih.
Demikianlah situasi institusi pendidikan dasar-informal. Dan sebagai-mana dalam institusi pendidikan formal, keberadaan institusi pendidikan dasar-informal juga mengilhami dijadikanya masjid (jâmi') sebagai institusi pendidikan menengah-informal, sebagai kelanjutan. Institusi ini (masjid jâmi') didirikan oleh elite pemerintah dengan konstruksi bangunan yang jauh lebih besar dan lebih indah dibanding dengan masjid-akademi. Karena pendiriannya yang didasarkan pada justifikasi hukum Islam, maka jumlah masjid ini sangat terbatas. Selain digunakan sebagai tempat melaksanakan shalat jum'at dan sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat, masjid ini pula dijadikan sebagai institusi pendidikan (menengah). Dan karena berada dalam kontrol pemerintah --berbeda dengan masjid-akademi-- maka segala kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan, juga berada dalam kontrol dan pengawasan mereka.
Pendidikan dilaksanakan dengan sistem halaqah yang dipimpin oleh syeikh yang telah ditentukan dan diangkat oleh khalifah. Dalam satu masjid terdapat beberapa syeikh yang mengajar dalam disiplin yang berbeda. Disiplin ilmu --dan atau nama syeikh-- itulah yang terkadang dijadikan nama sebuah halaqah. Pendidikan tersebut memberikan kebebasan yang sangat besar bagi para siswa. Baik berkaitan dengan pendaftaran, biaya pendidikan, kapan harus mengikuti, sampai kapan harus mengikuti dan lain-lain. Berbeda dengan institusi pendidikan informal lainnya, masjid jâmi' hanya menawarkan ilmu agama (dalam berbagai disiplinnya) sebagai kajiannya. Seperti hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh, nahwu, sharaf, dan lain-lain.
Sedangkan untuk ilmu-ilmu umum diselenggarakan dalam tempat yang berbeda, yaitu sanggar seni. Institusi ini pada mulanya diselenggarakan oleh para khalifah di istananya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ketika menjadi sesuatu yang menarik bagi kelompok aristokrat yang lebih rendah dan para saudagar, maka sanggar seni mulai diselenggarakan oleh kelompok kedua tersebut. Pendidikan yang berlangsung di sana lebih mengambil bentuk diskusi. Sifatnya yang eksklusif (hanya dihadiri ilmuwan tertentu), maka tingkat prestise serta popularitas institusi ini bergantung pada patron (penyelenggara) dalam mengundang para ilmuwan sebagai peserta diskusi. Hegemoni khalifah dalam hal ini memicu kelompok kedua untuk mengundang ilmuwan yang kualitas keilmuannya diakui, dalam rangka mencari legimitasi dan pengakuan khalifah .
Hadirnya para ilmuwan lintas disiplin terutama para filsuf dalam diskusi, mengindikasikan luasnya tema yang didiskusikan dalam institusi tersebut. Dan tema yang diusung lebih bersifat intelektual dan aktual di masanya, terutama yang berkaitan tentang filsafat dan sains-sains Yunani.44 Sungguhpun terbatas, institusi ini turut merangsang bagi munculnya institusi lain, perpustakaan misalnya. Kemunculan institusi yang selanjutnya dianggap sebagai institusi pendidikan tinggi-informal ini, walaupun tidak langsung, tidak lepas dari keberadaan sanggar seni.
Perpustakaan ini didirikan oleh kaum bangsawan dan para ulama, baik secara independen maupun di masjid dan madrasah, yang didorong oleh keberagamaan mereka, untuk mempromosikan kegiatan baca-tulis dan memajukan tingkat pendidikan di wilayah kekuasaannya. Selain untuk menyimpan buku, perpustakaan juga dijadikan sebagai tempat diskusi, debat, penerjemahan, penerbitan, observatorium bahkan dilengkapi pula dengan penginapan, makanan dan beasiswa. Buku-buku yang tersedia meliputi berbagai disiplin ilmu, baik agama maupun umum. Dengan peraturan tertentu, perpustakaan memberikan hak pinjam bagi masyarakat Di perpustakaan inilah orang bisa menemukan titik permulaan dari pusat keilmuan yang sangat kompleks. Bait al-Hikmah misalnya, bahkan dianggap sebagai "Akademi Ilmu Pengetahuan" pertama di dunia yang mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Sehingga prestise perpustakaan ini, pada gilirannya, turut mewarnai peradaban bangsa Eropa.
Perpustakaan-perpustakaan tersebut dibedakan menjadi tiga, yaitu: perpustakaan umum, yaitu perpustakaan yang dibuka untuk semua lapisan masyarakat; semi-umum, yaitu perpustakaan yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang telah mendapatkan izin dari pendirinya; dan perpustakaan khusus, yaitu perpustakaan yang didirikan orang-orang tertentu untuk diri sendiri. Namun demikian, perpustakaan jenis ini terkadang juga memberikan izin pada ilmuwan tertentu untuk menggunakannya. Dengan demikian, kehadiran perpustakaan sangat menguntungkan bagi ilmuwan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
C. Ilmu-ilmu Umum dalam Posisi Marjinal
Non-dikotomis atau integralitas ilmu pengetahuan yang diajarkan Islam telah diejawantahkan oleh para pengikutnya pada masa awal turunnya Islam. Dalam hal ini, etos religius umat menuntut pendidikan agama diberi perhatian lebih awal, baru disusul ilmu yang berkaitan dengan kesejahteraan hidup, yang masih terbatas dan dalam format yang sederhana. Di atas segala-galanya --dan yang dianggap paling esensi-- adalah pendidikan tentang baca tulis. Cepatnya perkembangan Islam yang (bahkan) di luar prediksi, baik dari sisi luasnya wilayah maupun banyaknya pengikut, mendesak perkembangan pendidikan tersebut. Hal yang selanjutnya muncul sebagai konsekuensi adalah 'penjenjangan' dalam pendidikan, yang berimplikasi (terutama) pada perkembangan materi, dan identifikasi disipilin ilmu, yang secara kualifikasi, meliputi ilmu agama dan ilmu umum. Pendidikan pada masa ini telah membangkitkan semangat intelektual yang kemunculannya (ketika itu) dipicu oleh fenomena kontemporer. Yakni faktor politik, yang mulai menjadi perdebatan sejak masa Utsmân dan akhirnya memunculkan tiga sekte: Syi'ah, Khawârij dan pendukung Umaiyyah. Dengan mengusung diskursus seputar kafir atau iman.45
Pada masa selanjutnya (baca: masa Bani Umaiyyah) implikasi pendidikan semakin riil. Pendidikan telah meninggalkan bukti-bukti, baik dengan munculnya para ilmuwan maupun bangunan monumental, semakin kompleknya sekte, pengenalan ilmu-ilmu berbasis akal maupun lahirnya disiplin ilmu. Hingga masa ini etos religius tetap menjadi motif utama. Perkembangan tersebut semakin mendapatkan kemajuannya pada Bani Abbasiyyah. Namun berbeda dengan masa-masa sebelumnya, pelaksanaan pendidikan pada masa ini telah memiliki tendensi lain di samping motif agama. Terutama sejak berkembangnya beberapa aliran teologi. Sejarah mencatat bahwa pada masa ini, sekurang-kurangnya, ada tiga aliran besar --dan mampu bertahan dalam waktu relatif lama-- yang turut mewarnai keberagamaan umat Islam. Yaitu Mu'tazilah (rasionalis), Syi'ah, dan Sunni (ortodok). Bagi para khalifah, aliran tersebut bukan saja memengaruhi keberagamaan mereka, tetapi masuk pula dalam arus politik. Sehingga memengaruhi setiap kebijakan yang dikeluarkan. Bahkan dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan aliran-aliran tersebut benar-benar menjadi kontrol utama. Sehingga eksesnya membentuk karakteristik bagi masa dan khalifah tertentu.
Aliran Mu'tazilah mendapatkan posisinya di hati para khalifah Abbasiyyah berlangsung selama (kurang lebih) satu abad sejak berdirinya Dinasti ini. Aliran ini pada awalnya dikenal sebagai gerakan puritan yang kaku, yang terkenal dengan doktrinnya tentang kemakhlukan al-Qur'an; dan bukan pemikir-pemikir bebas (rasionalis murni). Tetapi pada perkembangan berikutnya, ketika pengaruh rasionalisme hellenistik masuk dalam arus pemikirannya, sebagaimana yang tampak dalam pemahamannya tentang keadilan dan keesaan Tuhan serta tentang ungkapan antropomorfisme dalam al-Qur'an dan hadits, maka ia menjadi kelompok rasionalis yang mengagungkan hasil pemikiran rasio manusia. Mengklaim bahwa akal adalah sama pentingnya dengan wahyu. Bahkan ia, sebagaimana dikatakan Hitti, menganggap akal sebagai petunjuk kebenaran yang mutlak melebihi al-Qur'an.46 Keberanian dan ketidakragu-raguannya dalam memegangi hasil pemikiran, mengantarkan aliran ini hanya mau menerima dalil-dalil naqli yang sesuai dengan akal pikiran, dan mena'wilkan yang menyalahinya.
Begitu juga dalam relevansinya dengan filsafat. Aliran ini pada awalnya tidak memiliki interes terhadap filsafat. Namun setelah menjadikan filsafat sebagai alat dalam menolak serangan-serangan lawannya, ia tidak dapat dipisahkan dengan filsafat. Perhatiannya terhadap urusan agama bahkan secara gradual beralih kepada filsafat murni. Singkretisme antara filsafat dan agama serta berfilsafat menjadi kegandrungan mereka.47 Sehingga sangat valid apa yang dikatakan Steiner (juga Leary), bahwa aliran Mu'tazilah dalam perkembangan-perkembangannya yang terakhir banyak terpengaruh oleh filsafat Yunani.48
Selama periode pertama Abbasiyyah, aliran ini memiliki pengaruhnya yang sangat besar terhadap pemerintahan. Sebagai hasil interpretasi terhadap dogma agama, seakan-akan para khalifah tidak menemukan kesalahan dan kekurangan sama sekali di dalam doktrinnya. Sehingga dengan gigih dan penuh keyakinan mereka menjadikan doktrin tersebut sebagai rujukan utama dan pertama dalam mengeluarkan kebijakan. Setelah khalifah al-Manshûr menggalakkannya dengan tanpa mengadakan komitmen terbuka, maka pada masa al-Ma'mûn (yang juga murid al-Allaf, seorang tokoh Mu'tazilah) dan al-Mu'tashim, Mu'tazilisme dinyatakan sebagai doktrin negara.49 Sehingga selama masa itu, hingga masa pemerintahan al-Wâtsiq, ia terus mendominasi kehidupan khalifah dengan segala konsekuensinya.50
Seringkali kebijakan-kebijakan irrasional dan non-obyektif dari khalifah diberlakukan selama masa itu demi menegakkan doktrin tersebut. Pada 833 M. misalnya, al-Ma'mûn mengeluarkan kebijakan, bahwa setiap hakim atau calon hakim yang tidak mengakui ajaran "al-Qur'an sebagai makhluk" tidak boleh menjadi hakim atau diangkat sebagai hakim.51 Pada waktu yang sama ia mendirikan lembaga mihnah, semacam lembaga peradilan umum untuk menguji dan menyeleksi orang yang menentang ajarannya. Di lembaga inilah hukuman diberlakukan bagi para penentangnya. Dan salah satu korban terpentingnya adalah Imâm Ahmad ibn Hanbal, yang keberanian dan kegigihannya memperjuangkan pemikiran ortodok-konservatifnya menghiasi lembar-lembar sejarah dengan indah.52 Sebuah kebijakan irrasional bagi gerakan rasional-bebas.
Doktrin rasionalisme Mu'tazilah diajarkan melalui lembaga-lembaga pendidikan dan menjadi tanda khusus bagi kaum intelektual pada masa itu. Mereka yang berpengaruh dalam masyarakat (seperti pangeran, bangsawan, qadhi, guru besar, dokter dan pengusaha) menerimanya sebagai kredo. Sehingga kemajuan dalam sains-sains sekuler mulai tumbuh. Sebagian besar sarjana dan ilmuwan Islam besar menyatakan secara terbuka kecondongan mereka kepada rasionalisme atau sangat terpengaruh olehnya.53
Sungguhpun al-Qur'an, secara normatif, telah mengajarkan tentang integralitas ilmu (agama dan umum), mengisyaratkan pentingnya bagi kehidupan serta mendorong manusia untuk menguasainya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa aliran inilah yang paling awal, dengan memberikan kebebasan berpikir kepada akal seluas-luasnya dan didukung oleh legitimasi khalifah, membuka cakrawala, (terutama) ilmu-ilmu sekuler dan filsafat. Yang diawali dengan penerjemahan terhadap karya-karya berbahasa asing. Seperti buku-buku ilmu pengetahuan dan sastra, dari bahasa Sanskerta, Suriani, Yunani, India dan Parsi. Sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah al-Manshûr dan para khalifah sesudahnya. Dengan bantuan para ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu di masanya.54
Sehingga pada peride pertama ini Islam mendapatkan peradabannya yang adiluhung. Selain tercapainya kemakmuran rakyat, kekayaan yang melimpah, keamanan yang terjamin, wilayah yang luas dan sarana-sarana umum yang tersedia, juga bangkitnya tradisi intelektual yang ditandai dengan munculnya institusi-institusi pendidikan, observatorium, perpustakaan dan lain-lain serta obyek kajiannya yang multidisipliner. Selain ilmu agama, ilmu-ilmu umum dalam berbagai disiplinnya telah mendapatkan perhatiannya. Selain ilmu al-Qur'an, qira'at, hadits, fiqh, kalam, bahasa dan sastra, yang kemudian melahirkan beberapa ulama dalam bidang-bidang tersebut dan disertai dengan karya-karya monumental mereka, yang hingga kini sebagian besar masih memenuhi koleksi perpustakaan-perpustakaan Islam. Juga filsafat, logika, metafisika, matematika, alam, geometri, aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan kimia, yang juga telah melahirkan beberapa cendekiawan dalam bidang-bidang tersebut serta karya-karya mereka, yang sebagiannya menjadi referensi utama di negeri-negeri Eropa.
Tingginya peradaban pada masa itu dapat dibayangkan dalam ilustrasi berikut. Hârûn al-Râsyid adalah pemerintah paling baik dan terhormat, bersih dan penuh kebajikan serta paling luas daerah pemerintahannya. Bahkan tidak ada khalifah yang paling diminati oleh alim ulamâ', para penyair, ahli-ahli fiqh, pembaca-pembaca al-Qur'an, penulis-penulis dan teman-teman, selain daripada khalifah Hârûn al-Râsyid. Khalifah yang juga seorang sastrawan, penyair, pencipta cerita-cerita lama di samping memberi perlindungan dan menjaga keselamatan rakyatnya ini, juga menyumbang berbagai peradaban, kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian dan kesusastraan.55
Keadaan seperti ini terus berlangsung hingga al-Mutawakkil naik menjadi khalifah (232-247 H. / 847-861 M.) menggantikan al-Watsiq dan pada tahun kedua dari pemerintahannya (848 M.) menyingkirkan hegemoni Mu'tazilah. Peristiwa tersebut sekaligus menandai berakhirnya drama peradaban Islam klasik dalam episode pertama. Jumlah masyarakat muslim Sunni yang mayoritas di satu pihak, dan doktin Mu'tazilah yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu di pihak lain, disinyalir Pervez sebagai pemicu esensi.56 Sekalipun demikian, dan para khalifah Abbasiyyah sejak al-Mutawakkil, bahkan, hingga akhir dinasti ini juga beraliran Sunni, tetapi tidak serta merta (runtuhnya hegemoni Mu'tazilah) berimplikasi pada naiknya hegemoni Sunni.
Sebagaimana disinggung pada bab terdahulu, bahwa para khalifah periode kedua tidak memiliki kekuatan sebagaimana yang dimiliki para pendahulunya. Kelemahan tersebut dimanfaatkan oleh Dinasti Buwaihi (334-447 H.), dan akhirnya mereka berhasil menjadi pengendali kekuasaan Khalifah Abbasiyyah. Karena Dinasti ini berhaluan Syi'ah, maka hubungan kurang harmonis tampak dari keduanya. Hal tersebut pada gilirannya turut mempercepat bagi runtuhnya Dinasti Buwaihi.57
Aliran Syi'ah yang merupakan aliran keagamaan Dinasti Buwaihi, sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman, merupakan satu-satunya skisme (aliran yang terpisah) yang penting dalam Islam. Berbeda dengan Khawârij, yang memberontak terhadap ijma' umat dalam hal-hal yang praktis, maka Syi'ah selama berabad-abad telah mengembangkan doktrin "hak pemberian Tuhan" (baik menyangkut kehidupan politik maupun agama) yang tidak dapat didamaikan dengan semangat ijma' itu sendiri.58
Dalam kaitan ini, Syi'ah mempercayai, atau sekurang-kurangnya memiliki komitmen, dalam tiga hal. Pertama, bahwa imam telah ditentukan oleh petunjuk atau teks yang jelas, pendahulunya menunjuk penggantinya bukan oleh pemilihan atau konsensus masyarakat seperti yang dilakukan kaum Sunni. Kedua, tidak diperbolehkan adanya pemberontakan melawan pemerintah yang sedang berlangsung kecuali melalui seorang imam. Ketiga, tidak ada ijitihad yang dibolehkan dalam bidang hukum.59
Doktrin Imamah yang diusung aliran Syi'ah tersebut pada akhirnya justru menjadi bumerang bagi mereka. Yaitu dengan munculnya beberapa sekte, sejak wafatnya imam keenam, Ja'far al-Shâdiq (w. 148 H. / 765 M.), yang dipicu oleh persoalan tentang pengganti imam keenam tersebut. Karena ketika itu muncul dua nama (putra imam tersebut) yang dianggap sah sebagai pengganti, yakni Mûsâ dan Ismâ'îl. Polemik tersebut akhirnya melahirkan sekte Syi'ah Ismâ'iliyyah, yang selama abad 3-5 H. terus melakukan propaganda sehingga menjadi kuat dan besar. Kekuatan sekte ini dapat dibayangkan dari tersebarnya doktrin, sejak Afrika Utara hingga India.
Sejak abad ke-4 H. / 10 M., sekte ini mengadopsi ajaran Mu'tazilah yang rasionalis. Sehingga ia (bahkan) lebih rasional daripada Sunni. Dalam hal ini al-Asy'arî mengatakan bahwa mereka mempertahankan kedua pandangan, peduli pada Imamah dan Mu'tazilah. Golongan-golongan ini menolak konsep yang materialistis tentang Tuhan yang dipegang oleh teolog-teolog awal Syi'ah. Bahkan mereka mengadopsi pandangan spiritual tentang Hakikat Tuhan, manafsirkan pernyataan antropomorphis terhadap al-Qur'an dan hadits ala Mu'tazilah dan percaya bahwa manusia adalah agen bebas yang memiliki perbuatan yang tidak diciptakan Tuhan.60 Tidak mengherankan jika beberapa sarjana Barat berpendapat bahwa Ismâ'iliyyah adalah ideologi liberal yang sejati, seandainya ia sukses, pasti akan menjadikan Islam "rasional" dan "liberal".61
Selain mengadopsi doktrin Mu'tazilah, sebagaimana dikatakan Harun,62 Dinasti ini juga menempatkan tokoh-tokoh Mu'tazilah pada posisi-posisi penting dalam pemerintahannya. Abû Muhammad 'Abdullâh ibn Ma'rûf misalnya, diangkat sebagai hakim kepala kerajaan Bani Abbas di Baghdad dan 'Abd. al-Jabbâr Ahmad ibn 'Abd al-Jabbâr sebagai hakim kepala daerah Ray. Majlis-majlis besar untuk pengajaran aliran Mu'tazilah, seperti majlis Abû al-Hasan ibn Raja al-Dahhan diselenggarakan. Untuk kali ini Mu'tazilah memperoleh dukungan dari al-Sâhib ibn 'Abbad (977-995 M.) perdana menteri dari sultan Fakhr al-Dawlah. Dengan demikian, sungguhpun Mu'tazilah sebagai doktrin negara telah digulingkan, akan tetapi doktrinnya masih terus dikembangkan di tengah masyarakat bersama dengan eksisnya Dinasti Buwaihi.
Pengaruh rasionalis Mu'tazilah di atas tampak dalam pengembangannya terhadap intelektual (terutama tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan). Hal ini terlihat jelas ketika Dinasti ini mencapai puncaknya, yaitu pada masa 'Adûd al-Dawlah (949-983 M.). Perhatian terhadap ilmu-ilmu sekuler muncul kembali. Selain merenovasi sarana-sarana umum, 'Adûd al-Dawlah juga mendirikan rumah sakit yang memiliki 24 orang dokter dan semuanya ditugaskan juga sebagai pengajar ilmu kedokteran. Tidak lama setelah itu, Syaraf al-Dawlah (983-989 M.) putra dan penerus 'Adûd al-Dawlah, membangun observatorium. Sementara pada 993 M. Sâbûr ibn Ardasyîr, wazir Bahâ' al-Dawlah (saudara dan penerus Syaraf al-Dawlah) mendirikan sebuah akademi di Baghdad yang dilengkapi dengan perpustakaan yang menyimpan 10.000 buku.63 Selain perhatian yang diberikan oleh para penguasa, kelompok elite intelektual pada masa ini juga membentuk asosiasi dengan menamakan diri sebagai Ikhwân al-Shafâ. Yang telah menyusun sebuah ensiklopedi, yang memuat uraian tentang berbagai ilmu pengetahuan. Selama berkuasa, Dinasti ini juga banyak melakukan propoganda dalam mengembangkan serta menyiarkan ajaran Syi'ahnya, dan seringkali hal itu dilakukan dengan jalan paksaan.64 Semasa berkuasa, Mu'izz al-Dawlah (penguasa pertama Dinasti ini) menyelenggarakan festival-festival dalam rangka perayaan berkabung pada hari kematian Husein (10 Muharram) dan memeringati hari pengangkatan 'Alî sebagai penerus Rasûlullâh di Ghadir al-Khumm.
Selain Dinasti Buwaihi, Dinasti Fathimiyah bahkan merupakan satu-satunya Dinasti Syi'ah yang independen dalam Islam, yang merupakan puncak dari propaganda Syi'ah Isma'iliyyah yang terampil dan terorgaisir. Sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang berpusat di Baghdad.65 Dan adalah Dinasti Fathimiyah yang didirikan di Mesir (965-1171 H) puncak kejayaan Dinasti tersebut. Masjid al-Azhâr adalah saksi bisu bagi kejayaan mereka. Selain dijadikan sebagai tempat ibadah pada bulan suci Ramadhan, masjid tersebut juga dijadikan sebagai tempat belajar. Kemunculan al-Azhâr (361 H. / 972 M.) diikuti oleh munculnya sejumlah masjid (yang dikelilingi oleh pemondokan) yang di dalamnya diselenggarakan halaqah-halaqah pengajaran. Pada 378 H. / 988 M. khalifah al-'Azîz dan wazirnya, Ya'qûb ibn Killis, juga membuka sebuah yayasan untuk 35 profesor, dengan memberi mereka gaji 1.000 dinar perbulan dan buku, serta tempat tinggal di rumah besar di samping masjid.66
Sementara pada 1005 M. al-Hâkim mendirikan perpustakaan terkenal, Dâr al-'Ilm atau Dâr al-Hikmah sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Syi'ah ekstrim. Untuk mengembangkan institusi ini, al-Hâkim menyuntikan dana besar, yang 257 dinar di antaranya digunakan untuk menyalin berbagai naskah, memperbaiki buku dan pemeliharaan umum lainnya. Gedung ini berdekatan dengan istana kerajaan yang di dalamnya terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang pertemuan. Kurikulumnya meliputi kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, astronomi, dan kedokteran.67 Perpustakaan tersebut, jelas Abdurrahman Mas'ud, menyimpan 1.600.000 buku dalam berbagai disiplin ilmu, dan terbuka untuk umum. Selain itu, lanjut Abdurrahman Mas'ud, al-Hâkim juga mendirikan Dâr al-'Ilm Sunni di Kairo pada 400 H., yang pada prinsipnya digunakan untuk mengajarkan hadits Nabi dan studi-studi fiqh Maliki oleh para pelajar yang hidup di sana. Para ulama bebas membahas masalah-masalah keagamaan yang didasarkan pada keyakinan masing-masing. Mereka juga melakukan pendekatan terhadap persoalan menurut cara mereka sendiri.68
Pertikaian intern yang tidak dapat dihindari dalam Dinasti ini menyebabkan melemahnya solidaritas para penerus, dan hal itu menjadi sebab-sebab penting bagi keruntuhannya. Akhirnya pada 1055 raja Saljuk, Thughril Beg, memasuki Baghdad dan mengakhiri riwayat kekuasaan Buwaihi. Karena seirama dengan para khalifah Abbasiyyah dan mayoritas rakyat (dalam ideologi-teologi), maka kehadiran raja Saljuk tersebut diterima dengan tangan terbuka oleh para khalifah dan rakyat. Melalui imperium inilah Sunni dapat menancapkan taring dan menegakkan dogmanya yang selama beberapa tahun termarjinalkan, sekaligus mengikis habis doktrin Syi'ah yang telah dipropagandakan sebelumnya.
Sebagaimana disinyalir Syalabi, bahwa kemenangan Bani Saljuk dalam menaklukkan Irak dan berhasilnya memasuki Baghdad adalah titik awal bagi kemenangan Sunni terhadap kaum Syi'ah. Dan sejak itu, terhentilah aktifitas Bani Buwaihi dalam menyiarkan doktrin Syi'ah. Sebagai konsekuensi --dan dinilai sebagai suatu kewajiban-- Bani Saljuk melancarkan perlawanan terhadap apa yang telah dikembangkan oleh Dinasti Buwaihi. Sehingga kepercayaan-kepercayaan yang dianggap sebagai suatu kesesatan dan penyimpangan dari doktrin-doktrin agama yang sebenarnya dapat terkikis. Cara efektif dalam merealisasikan perlawanan tersebut adalah dengan menyiarkan ilmu agama, karena ketika manusia telah mendapatkan kesempatan untuk mempelajari daktrin-doktrin agama yang sebenarnya, niscaya mereka akan dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil.69
Namun kehancuran Dinasti Buwaihi tersebut tidak berimplikasi pula pada hilangnya ajaran Mu'tazilah di tengah-tengah umat, sebagaimana dikatakan Harun. Ketika kesultanan berada di tangan Tughril Beg, ajaran Mu'tazilah masih terus eksis, karena Tughril Beg memiliki Perdana Menteri dari golongan Mu'tazilah, yaitu Abû Nasr Muhammad ibn Mansûr al-Kunduri. Atas pengaruhnya kaum Mu'tazilah tetap dalam keadaan baik, dan Sunni ketika itu masih mengalami masa kesukaran. Antara dua aliran tersebut bermusuhan, dan atas usaha al-Kunduri, Sultan Tughril Beg mengeluarkan perintah untuk menangkapi pemuka-pemuka Sunni.70
Sebagai aliran (madzhab) teologi, Sunni merupakan pewaris utama doktrin ortodoksi-tradisional, di samping kelompok Ibn Hanbal. Dan kemunculannya lebih merupakan suatu reaksi terhadap doktrin-doktrin Mu'tazilah yang dinilai kontroversial. Abû Hasan al-Asy'ari (w. 330 H. / 942 M.), yang dalam hal ini sebagai tokoh utama Sunni, memutuskan pisah dan kemudian membentuk faksi sendiri (Sunni) ketika berhadapan dengan doktrin guru Mu'tazilahnya, al-Juba'i. Doktrin-doktrin yang menjadi sumber ketegangan adalah 'pemahaman terhadap akal dan keadilan Tuhan serta kebebasan berkehendak bagi manusia'. Dalam hal ini kelompok ortodok (Sunni) dengan maksud menyelamatkan unsur-unsur vital agama, meletakkan tekanan yang hampir-hampir eksklusif pada perumusan-perumusan Kekuasaan, Kehendak, dan Rahmat Tuhan serta determinisme.71 Tentang keadilan Tuhan misalnya, Sunni berpendapat bahwa keadilan Tuhan tidak dapat ditentukan dalam batasan-batasan manusia. Tentang perbuatan manusia, faksi ini mengajarkan bahwa semua perbuatan manusia telah diciptakan sebelumnya oleh Tuhan. Tentu saja keduanya berbeda dengan pendapat Mu'tazilah.
Sebagai reaksi terhadap kelompok rasionalis, maka luas dan tingginya posisi akal menurut kelompok tersebut, adalah ilustrasi bagi besarnya antipati aliran Sunni terhadap tokoh-tokoh rasionalis dan ilmu-ilmu rasional. Dalam kaitan itu Pervez menjelaskan,72 bahwa di masa berkuasa, al-Mutawakkil melakukan penganiayaan fisik terhadap kaum Mu'tazilah dan Syi'ah. Mereka disingkirkan dari semua jabatan sebagai pegawai kekhalifahan, dituduh pembuat bid'ah, dan dieksekusi. Sehingga para sarjana dan ilmuwan yang sebagian besar menganut keyakinan yang rasional pergi meninggalkan Baghdad. Sehingga dapat dibayangkan ketika Sunni menjadi sumber energi tahap awal sains dan pengkajian Islam. Sikap rasionalis dan sekuler berhadapan langsung dengan ortodoksi religius. Segera menjadi fakta bahwa pengetahuan aqliyah disamakan dengan bid'ah dan filsafat dicurigai.
Pervez juga mengatakan bahwa dalam karya sejumlah besar sarjana ortodoks, 'ulûm al-awâ'il (sebutan bagi ilmu-ilmu rasional / umum) dengan jelas disebut sanis-sains yang dikecam (al-'ulûm al-mahjûrah), dan dilukiskan sebagai kebijaksanaan yang bercampur-aduk dengan kekafiran. Bahkan Ibrâhîm ibn Mûsâ berkesimpulan, bahwa rata-rata teolog ortodoks hanya mengakui sains-sains yang sangat diperlukan oleh atau bermanfaat bagi amal. Sains-sains yang lain dianggap tidak bernilai dan hanya menjadikan manusia jauh dari jalan yang lurus. Kaum ortodoksi tidak condong kepada astronomi, meskipun sebagian pengetahuan astronomi diperlukan untuk menetapkan waktu shalat dan arah kiblat yang tepat. Seorang guru madzhab Syâfi'î yang terkenal, Taj al-Dîn al-Subki (w. 1271) menyatakan bahwa pengakajian logika diperbolehkan dengan syarat, terutama, orang tersebut telah menguasai ilmu-ilmu agama dan mempunyai reputasi sebagai seorang faqih atau mufti di kalangan penganut madzhab. Namun bagi individu yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan dalam ilmu agama, studi logika harus dianggap sebagai haram.
Aliran ini mendapatkan kejayaannya di bawah kekuasaan sultan Alp Arslân (1036-1072 M.) dan Mâliksyah (1072-1092 M.) dengan Perdana Menterinya Nidlâm al-Mulk. Ajaran Mu'tazilah dan Syi'ah ketika itu benar-benar terkikis habis. Hal itu bukan hanya karena didukung oleh khalifah, tapi juga karena ideologi-teologinya seirama dengan para khalifah dan mayoritas rakyat. Bahkan hal terakhir sangat besar implikasinya dalam membuat kebijakan. Berangkat dari sinilah (setidaknya), Hitti mengatakan bahwa kehadiran kaum Turki ini mengantarkan sebuah era baru dan penting dalam sejarah Islam dan kekhalifahan.73
Nidlâm al-Mulk (w. 485 H. / 1092 M.), adalah salah satu figur penting dalam sejarah politik Islam dan seorang wazir terampil yang menjalankan administrasi pemerintahan Alp Arslân dan Mâliksyah. Kedudukannya yang begitu penting sehingga Ibn Khallikan, sebagaimana dikutip Hitti, menyanjungnya dengan ungkapan, "selama dua puluh tahun pemerintahan Mâliksyah, Nidlâm al-Mulk menghimpun seluruh kekuasaan dalam genggaman-nya, sementara sang sultan tidak berbuat apa-apa selain duduk di atas singgasananya atau pergi berburu.74 Selain seorang politikus handal, Nidlâm al-Mulk juga seorang panglima, filsuf, intelek, dan (sekaligus) suka pada para ilmuwan. Predikat tersebut terefleksi dalam perhatiannya pada praksis intelektual dan pendidikan. Setelah menyarankan Mâliksyah untuk menyelenggarakan konferensi para astronom dan menugaskan mereka untuk memperbaharui kalender (1074-1075 M), maka proyek selanjutnya adalah mendirikan sejumlah madrasah (akademi) di beberapa kota, yang diorganisasikan secara baik. Sesuatu yang relatif baru di masa itu bahkan dalam Islam. Di antara madrasah tersebut, yang didirikan pertama kali dan, karenanya, paling terkenal dan menjadi prototipe bagi yang lain adalah madrasah Nidlâmiyah yang didirikan pada 1065 M. di Baghdad.75
Sungguhpun bukan sekolah pertama dalam Islam, namun madrasah tersebut merupakan sistem pertama sekolah khusus yang didirikan oleh negara dan Islam Sunni. Melalui madrasah inilah pengaruh Sunni ditancapkan. Bahkan berdirinya disinyalir sebagai simbul bagi bangkitnya Sunni, yang membentuk opini publik Islam Sunni ortodoks terhadap Islam Syi'ah. Aktor utama dalam madrasah Nidlâmiyah yang hingga kini prestise dan pengaruhnya masih terasa adalah Imâm al-Ghazâlî (w. 1111 M.). Lewat tangannyalah penentangan terhadap sifat sekular dan universalistik pengetahuan hellenistik yang telah dimulai sejak pertama kali bersentuhan dengan kebudayaan Islam, mendapatkan kemenangannya. Dia telah memberikan pukulan yang keras terhadap skolastisisme murni, mengutuk para filsuf bahkan mengkafirkannya.76 Para sejarawan menyebut dia sebagai penerus dan penyempurna teologi al-Asy'ari yang fondasinya telah dibangunnya jauh sebelum al-Ghazâlî.77
Penentanganya terhadap ilmu-ilmu rasionalis terbaca jelas pada sikapnya setelah mempelajari matematika. Ia berkata: Matematika bukan satu mata kuliah yang diharamkan, namun ia (matematika) dapat menjurus ke berbagai bahaya dan seringkali menjadi penyebab kekafiran. Yakni ketika para pengkaji matematika mengagumi ketepatan dan kejelasannya, hal itu menyebabkan munculnya kepercayaannya terhadap para filsuf dan munculnya pendapat bahwa seluruh sains mereka mirip dengan matematika dalam kejelasan dan kemampuan ungkapnya. Selain itu, al-Ghazâlî telah mendengar penjelasan-penjelasan mengenai kekafiran mereka (para filsuf), penolakan mereka atas sifat-sifat Tuhan, dan pencelaan mereka atas kebenaran yang diwahyukan: dia menjadi seorang kafir hanya dengan menerima mereka sebagai otoritas.78
Setelah mengikis habis doktrin Syi'ah di Baghdad dengan menghancurkan dinasti Buwaihi, doktrin Syi'ah yang berkembang di Mesir dibawah imperium Fathimiyah juga dihilangkan. Adalah Dinasti Ayyubiyah yang telah merealisasikan hal tersebut. Sebagai konsekuensi, selain Mesir mengakui kekuasaan khalifah di Baghdad, juga dihidupkan kembali aliran Sunni di wilayah ini. Dan sebagaimana Nidlâm al-Mulk, Nûr al-Dîn Zanki sebagai salah seorang penguasa Dinasti ini mendirikan beberapa madrasah untuk menanamkan keparcayaan Sunni pada rakyat. Di masa ini, pendirian madrasah bahkan bukan saja didominasi oleh kelompok aristokrat, tetapi seluruh pangeran dan putri-putri kerajaan, dan seluruh lapisan masyarakat sampai khadam-khadam dan pelayan-pelayan telah ambil bagian dalam usaha mendirikan madrasah dan menyiarkan serta melindungi ilmu pengetahuan.79
Sebagaimana dijelaskan Nakosteen, studi keagamaan dan sastra, bahasa dan tata bahasa Arab mendominasi mata kuliah yang ada, sementara filsafat, ilmu pengetahuan dan studi ilmu-ilmu sosial terabaikan.80 Pernyataan senada juga disampaikan oleh Pervez, bahwa sekitar abad ke-12, madzhab-madzhab pemikiran yang konservatif dan anti rasionalis hampir benar-benar mengikis pengaruh Mu'tazilisme. Ignaz Goldziher, lanjut Pervez, mengatakan, meskipun dijumpai minat yang luas yang ditumbuhkan oleh pengetahuan klasik (al-'ulûm al-aqliyah), di beberapa lingkungan Islam yang religius, dan juga di kalangan para khalifah Abbasiyyah, ortodoks yang kaku selalu memandang dengan penuh kecurigaan mereka yang meninggalkan sains Syâfi'î dan Mâliki serta meninggikan pendapat Empedokles sampai tingkat hukum Islam.81
Lebih jauh Nakosteen mengatakan, tujuan madrasah ini adalah untuk mengajarkan madzhab hukum Syâfi'iyyah-Sunni, dengan memberikan aksentuasinya pada pengajaran teologi dan hukum Islam. Sebagai konsekuensi, adalah mengesampingkan ilmu yang memiliki basis rasio. Bahkan dengan jelas Hitti mengatakan, bahwa Madzhab skolastik yang dibangun oleh al-Ghazâlî dan al-Asy'ari menahan laju perkembangan Islam hingga saat ini.82

1 komentar:

jetsink mengatakan...

Menurut saya, ini adalah artikel yang luar biasa, sangat mencerahkan. disiplin ilmu sarjana saya adalah komputer, dan saya merasa ada yang kurang sebagai manusia islam yaitu ilmu agama, ternyata keduanya termasuk hal yang harus diseimbangkan agar selamat dunia akherat. Terima kasih atas informasinya. Ijin Copas ya ....