Minggu, 30 November 2008

TAJWID

MAD (مَدْ )


Di dalam al-Qur'an banyak terdapat lafadl yang --di antara hurufnya-- berharakat dlammah kemudian diikuti oleh wawu sukun, huruf yang berharakat kasrah diikuti oleh ya` sukun dan huruf yang berharakat fathah diikuti oleh alif. Huruf-huruf --yang berharakat dlammah, kasrah dan fathah dan kemudian diikuti wawu sukun, ya` sukun dan alif-- tersebut wajib dibaca lebih panjang (lama) dibanding dengan ketika tidak diikuti oleh wawu sukun, ya` sukun dan alif. Adapun ukuran panjang-nya adalah satu alif (dua harakat).1 Lafadl-lafadl tersebut, karena dibaca panjang, maka dalam ilmu qira`ah al-Qur'an (tajwid), selanjutnya disebut bacaan mad atau mad thabi'i.2 Contoh:
ُوْ المَغْضُوْبِ, اَعُوْذُ, صُدُوْرِ
ِيْ الَّذِيْنَ, أَبِيْ لَهَبٍ, دِيْنِ اللهِ
َا مَالِكِ, إِيَّاكَ, صِرَاطَ
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa huruf mad adalah wawu sukun yang jatuh setelah harakat dlammah, ya` sukun yang jatuh setelah harakat kasrah dan alif yang jatuh setelah harakat fathah.
1.Mad Wajib Muttashil (مَدْ وَاجِبْ مُتَّصِلْ)
Dari sekian banyak bacaan mad thabi'i dalam sebuah lafadl, beberapa di antaranya, huruf setelah bacaan mad thabi'i tersebut adalah huruf hamzah.3 Mad thabi'i yang kemudian diikuti oleh huruf hamzah dalam lafadl tersebut harus dibaca lebih panjang lagi. Adapun ukuran panjangnya adalah dua atau dua setengah alif.4 Contoh:
اِذَا جَآءَ يُرَآءُوْنَ رِحْلَةَ الشِّتَآءِ
وَجِيْئَ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
سُوْءُ لَتَنُوْءُ اَنْ تَبُوْءَ
Dari dua ukuran panjang yang dibolehkan, kita bebas menentukan pilihan. Apakah memilih membacanya dengan panjang dua alif atau dua setengah alif. Akan tetapi, dua pilihan tersebut selanjutnya memunculkan ketentuan baru. Yaitu, jika dalam satu ayat terdapat lebih dari satu mad thabi'i yang diikuti hamzah, dan jika kita memilih membaca dengan panjang dua alif maka semuanya harus dibaca panjang dua alif. Dan jika kita memilih membaca panjang dua setengah alif, maka semuanya harus dibaca panjang dua setengah alif. Seperti lafadl dalam QS. al-Nisa` 4: 143.
... لَآ اِلى هؤُلَآءِ وَلَآ اِلى هؤُلَآءِ ...
Panjangnya bacaan sebagaimana dijelaskan di atas, adalah menurut pendapat Imam Hafsh dari Imam 'Ashim. Selain Imam Hafsh, imam-imam qurra` yang lain juga mewajibkan panjangnya mad ini lebih dari mad thabi'i.5 Oleh karena itu, mad ini disebut mad wajib. Sedangkan keberadaan mad thabi'i dan hamzah dalam satu kalimat, yang berarti bersambung (muttashil), selanjutnya dijadikan pelengkap nama mad wajib tersebut. Sehingga terbentuklah nama mad wajib muttashil yang kemudian digunakan untuk menyebut bacaan ini.
Penulisan bacaan mad wajib muttashil ini, biasanya, di atas huruf madnya diberi tanda lengkung (~). Sebagai isyarat bahwa mad ini harus dibaca panjang. Perlu diketahui, bahwa tanda tersebut hanya sekedar isyarat, bukan yang mengharuskan mad ini dibaca panjang. Artinya, sungguhpun tidak ada tanda lengkungnya, jika dalam sebuah lafadl terdapat mad thabi'i yang diikuti oleh huruf hamzah maka mad tersebut harus dibaca lebih panjang. Jadi adanya hamzah itulah yang mengharuskan mad ini dibaca panjang.
2.Mad Jaiz Munfashil (مَدْ جَائِزْ مُنْفَصِلْ)
Banyak juga huruf hamzah setelah mad thabi'i tersebut berada dalam lafadl lain (tidak satu lafadl dengan mad thabi'i). Mad thabi'i yang diikuti oleh huruf hamzah yang berada dalam lafadl lain tersebut juga harus dibaca panjang sebagaimana mad wajib muttashil. Yaitu dua atau dua setengah alif. Begitu pendapat Imam Hafsh dari Imam 'Ashim Contoh:
لَآ أَعْبُدُ وَمَآ أَدْرَاكَ إِنَّآ أَعْطَيْناَ
فِيْ أَهْلِهِ فِيْ أَيِّ إِنِّيْ أَعْلَمُ
قُوْآ أَنْفُسَكُمْ وَمَآأُمِرُوْآ إِلاَّ قَالُوْآ إِنَّ
Berbeda dengan mad wajib muttashil yang telah disepakati panjangnya oleh ulama ahl qurra`, yaitu lebih dari mad thabi'i, dalam bacaan mad ini mereka berbeda pendapat mengenai panjang bacaannya. Perbedaan tersebut hingga tiga kelompok:
a.Sebagian mereka mengajarkan bahwa mad ini harus dibaca pendek (satu alif) sebagaimana mad ashli.
b.Sebagian yang lain mengajarkan bahwa mad ini harus dibaca lebih dari mad ashli, yakni sama dengan mad wajib muttashil. Di antara ulama yang mengajarkan ini adalah Imam Warsy, Imam Hamzah, Imam Ibn 'Amir, Imam Ali al-Kisa`i dan Imam 'Ashim (guru Imam Hafs). Dengan ukuran panjang yang berbeda-beda pula, yaitu antara dua alif dan dua setengah alif.
c.Sebagian yang lain lagi mengajarkan bahwa mad ini boleh dibaca panjang (seperti mad wajib muttashil) dan boleh dibaca pendek (seperti mad ashli). Di antara ulama yang mengajarkan ini adalah Imam Qalun dan Imam al-Duri.
Adanya perbedaan tentang panjang pendeknya bacaan ini mengindikasikan (menunjukkan) bahwa bacaan mad ini boleh dibaca pendek (sama dengan mad thabi'i: satu alif) dan boleh dibaca panjang (seukuran dengan mad wajib muttashil: dua atau dua setengah alif). Karena boleh dibaca pendek dan panjang, maka bacaan mad ini selanjutnya disebut bacaan mad jaiz.6 Dan berbeda juga dengan mad wajib muttashil, dalam mad jaiz ini mad thabi'i dan hamzah tidak berada dalam satu lafadl, tetapi terpisah (munfashil). Dari sinilah kemudian mad jaiz ini disempurnakan penyebutannya sehingga menjadi mad jaiz munfashil.
Perlu ditegaskan di sini bahwa yang dimaksud 'boleh' membaca mad jaiz munfashil dengan pendek dan panjang adalah hanya bagi murid masing-masing imam (orang yang mempelajari bacaannya). Bukan bagi setiap orang (muslim). Maksudnya, bagi pengikut (murid) Imam Qalun dan Imam al-Duri boleh membaca mad ini sebagaimana membaca mad wajib muttashil dan boleh juga seperti mad thabi'i. Adapun bagi pengikut (murid) Imam Warsy, Imam Hamzah, Imam Ibn 'Amir, Imam Ali al-Kisa`i dan Imam 'Ashim (guru Imam Hafs) harus membaca mad ini sebagaimana membaca mad wajib muttashil, dan tidak boleh membacanya seperti mad thabi'i.7
Karena, sebagaimana telah disinggung di atas, (mayoritas) muslim Indonesia adalah pengikut Imam Hafs, maka kita harus membaca mad jaiz munfashil ini dengan dua atau dua setengah alif. Hal ini dikuatkan juga dengan pendapat lain yang mengatakan bahwa kebolehan membaca mad jaiz munfashil dengan pendek dan panjang adalah berkaitan dengan cara pembacaan-nya, yaitu washal atau waqaf. Maksudnya, mad jaiz ini dibaca panjang (seukuran mad wajib muttashil) jika antara dua lafadl tersebut dibaca washal. Sebagaimana contoh di atas. Dan dibaca pendek, jika pembacaan diwaqafkan pada lafadl pertama. Dari contoh-contoh di atas, misalnya pembacaan berhenti pada lafadl:
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ لا َ(الكافرون: 1-2) مَااْلقَارِعَةُ وَمَا (القارعة: 2-3)
قَالَ اَلَمْ اَقُلْ لَكُمْ إِنِّيْ (البقرة: 33) فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ فِي (الإنفطار 7-8)
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قُوْا (التحريم: 6) وَمَآأُمِرُوْا (البيّنة: 5)
Mad jaiz munfashil ini hanya memiliki sedikit perbedaan dengan mad wajib muttashil. Perbedaan tersebut terletak pada keberadaan hamzah tersebut. Dalam mad wajib muttashil, mad thabi'i dan hamzah berada dalam satu lafadl. Sedangkan dalam mad jaiz munfashil, mad thabi'i dan hamzah berada dalam dua lafadl. Sedangkan dari segi cara membaca (panjang bacaan), adanya tanda (isyarat) bahwa lafadl tersebut harus dibaca panjang dan bagaimana caranya ketika kita memilih salah satu panjang bacaannya, antara keduanya tidak ada perbedaan.
3.Mad 'Aridh li al-Sukun (مَدْ عَارِضِ لِلسُّكُوْنِ)
Banyak juga bacaan mad thabi'i dalam sebuah lafadl, yang seandainya lafadl itu dibaca waqaf maka mad thabi'i tersebut lalu berhadapan dengan huruf mati (dibaca sukun).8 Mad thabi'i yang demikian boleh dibaca tiga, dua atau satu alif.9 Demikian pendapat para ulama` ahl al-qurra`. Contoh:
لاَرَيْبَ فِيْهِ, فَإِنِّي قَرِيْبٌ قلى, إِلاَّ إِبْلِيْسَ قلى
وَيُرْبِى الصَّدَقَاتِ قلى, هِيَ عَصَايَ ج, أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍقلى
هُوَ الْحَيُّ اْلقَيُّوْمُ ج وَمَا يُعْلِنُوْنَ قلى, فَاكْتُبُوْهُ قلى
رَبِّ الْعَالمَِيْنَο الرَّحِيْمِο اَبَابِيْلَο
رَبِّ النَّاسِο وَإِلَيْهِ مَتَابِο مِنْ زَوَالٍο
أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَο كَعَصْفٍ مَأْكُوْلٍο كَاْلفَرَاشِ الْمَبْثُوْثِο
Dari ketiga cara membaca yang diperbolehkan, yang paling utama adalah tiga alif.
Karena dibaca panjangnya mad thabi'i dalam lafadl tersebut (yaitu boleh 1/2/3 alif) adalah sebab adanya huruf yang dibaca sukun --yang berada setelah mad thabi'i-- dan dibaca sukunnya huruf tersebut adalah sebab lafadlnya dibaca waqaf, maka selanjutnya bacaan dalam lafadl tersebut dinamakan bacaan mad 'aridh li al-sukun. Penamaan ini berangkat dari arti kata 'aridh, yaitu yang baru (dalam konteks ini adalah baru sukunnya, yaitu ketika lafadlnya dibaca waqaf).
Dan sebagai konskuensi, jika lafadl tersebut dibaca washal (langsung/tidak berhenti) maka mad 'aridh li al-sukun tersebut menjadi hilang. Artinya, jika lafadl-lafadl di atas --dan yang sepadannya-- tidak dibaca waqaf maka ia menjadi mad thabi'i. Berarti panjangnya wajib satu alif. Dengan demikian, yang menjadi kunci mad 'aridh li al-sukun bukanlah adanya tanda waqaf atau keberadaan lafadl di akhir ayat. Akan tetapi dibaca waqaf atau tidak lafadl yang di tengah-tengahnya terdapat mad thabi'i tersebut.
4.Mad Lazim (مَدْ لاَزِمْ)
Ada juga lafadl yang mengandung bacaan mad thabi'i dan huruf setelah mad thabi'i tersebut berharakat sukun. Sehingga dalam lafadl tersebut terdapat dua harakat sukun (dua huruf yang mati) berkumpul. Yaitu harakat sukun yang ada pada huruf mad dan harakat sukun yang ada pada huruf setelah mad. Harakat sukun setelah mad thabi'i ini adakalanya berbentuk sukun (asli), adakalanya berupa tasydid.10 Mad thabi'i yang seperti ini juga harus dibaca panjang. Adapun ukuran panjangnya adalah tiga alif. Begitu pendapat (yang diajarkan) ulama` ahl qurra`. Contoh:
ءَالْئنَ, وَلاَالضَّآلِّيْنَ, طسم, يس
Lafadl-lafadl tersebut harus dibaca panjang karena untuk memisahkan dua harakat sukun (huruf mati) tersebut. Karena dalam bahasa Arab tidak dijumpai --dan bukan menjadi kebiasaan-- berkumpulnya dua harakat sukun dalam sebuah lafadl kecuali lafadl yang dibaca waqaf.
Karena harakat sukun yang ada pada huruf setelah mad thabi'i tersebut asli, bukan karena diwaqaf-kan sebagaimana dalam mad a'ridh di atas, sehingga baik ketika lafadl tersebut dibaca waqaf maupun dibaca washal harakat sukun tersebut tetap (tidak berubah), maka bacaan tersebut dinamakan mad lazim.11
a.Mad Lazim Mukhaffaf Kilmi (مَدْ لاَزِمْ مُخَفَّفْ كِلْمِي)
Sebagaimana disinggung di atas, dalam mad lazim terkadang harakat sukun pada huruf setelah mad thabi'i berupa 'sukun' (bukan tasydid). Contoh:
ءَالْئنَ
Karena harakat sukun tersebut berupa sukun (asli), dan ketika mad thabi'i bertemu dengan sukun asli itu ringan pembacaannya maka mad lazim tersebut dinamakan mad lazim mukhaffaf.12 Dan karena keberadaan mad lazim mukhaffaf --sebagaimana contoh di atas-- adalah dalam sebuah lafadl (kalimah), selanjutnya mad lazim mukhaffaf tersebut disebut mad lazim mukhaffaf kilmi.13 Lafadl di atas selain dapat dibaca panjang (mad lazim) juga dapat dibaca tashil.
b.Mad Lazim Mutsaqqal Kilmi (مَدْ لاَزِمْ مُثَقَّلْ كِلْمِي)
Terkadang harakat sukun setelah mad thabi'i tersebut berupa tasydid (bukan berupa harakat sukun). Seperti lafadl:
اَتُحَآجُّوْنِّي, تَأْمُرُوْنِّي
الْحَآقَّةُ، الطَّآمَّةُ، يُوَآدُّوْنَ, مَنْ حَآدَّ اللهُ, دَآبَّةٍ,
Karena harakat sukun yang bertemu mad thabi'i tersebut berupa tasydid, dan karena mad thabi'i jika bertemu tasydid lebih berat bacaannya, maka mad lazim tersebut diberi nama mad lazim mutsaqqal.14 Dan karena keberadaan mad lazim mutsaqqal tersebut dalam kalimah (kata), selanjutnya mad lazim mutsaqqal tersebut disebut mad lazim mutsaqqal kilmi.
Penulisan mad lazim --baik yang mutsaqqal kilmi maupun mukhaffaf kilmi-- dalam mushaf, biasanya, di atas huruf mad diberi tanda lengkung (~), sebagaimana pada mad wajib muttashil dan mad jaiz munfashil. Akan tetapi, lagi-lagi, bukan tanda itu yang membuat bacaan tersebut harus dibaca panjang. Tetapi, adanya tasydid pada huruf yang jatuh setelah huruf mad thabi'i yang masih dalam satu lafadl. Sebagai konskuensi, jika huruf setelah mad thabi'i bukan huruf bertasydid15 atau berada dalam lafadl yang berbeda16 maka lafadl tersebut tidak boleh dibaca panjang. Dan sebaliknya, jika huruf setelah mad thabi'i bertasydid dan masih dalam satu lafadl (sungguhpun di atas huruf mad tidak ada tanda lengkung) maka mad tersebut harus dibaca panjang (3 alif).
c.Mad Lazim Mukhaffaf Harfi (مَدْ لاَزِمْ مُخَفَّفْ حَرْفِي)
Selain terdapat pada huruf yang merupakan bagian dari kalimah (kata), harakat sukun juga terdapat pada huruf yang bukan merupakan bagian dari kalimah. Tetapi berdiri sendiri tanpa harakat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa huruf tersebut mengandung mad thabi'i yang sekaligus bertemu dengan harakat sukun. Huruf tersebut merupakan huruf pembuka surat. Contoh:
ص, ق, ن, طس, حم, كهيعص
Huruf-huruf tersebut dikatakan sebagai mengandung mad thabi'i yang kemudian bertemu dengan sukun asli adalah ketika huruf-huruf tersebut diuraikan sesuai dengan pengucapannya. Huruf-huruf tersebut jika diuraikan maka akan menjadi:
ص صَادْ طس طَا سِيْنْ
ق قَافْ حم حاَمِيْمْ
ن نُوْنْ كهيعص كَافْ ها يا عين صاد
Huruf-huruf tersebut --ketika menjadi pembuka surat (di awal surat)-- harus dibaca panjang. Dengan ukuran panjang: tiga alif. Dan pembacaannya harus sesuai dengan ketika huruf tersebut tidak diberi harakat (sesuai dengan nama huruf itu sendiri).
Sebagaimana mad lazim mukhaffaf kilmi, karena harakat sukun pada huruf setelah mad thabi'i adalah (sukun) asli, maka mad lazim ini disebut mad lazim mukhaffaf. Dan berbeda dengan mad lazim mukhaffaf kilmi yang keberadaannya dalam sebuah kalimah (kata), mad lazim ini karena keberadaannya dalam sebuah huruf maka selanjutnya disebut mad lazim mukhaffaf harfi.
d.Mad Lazim Mutsaqqal Harfi (مَدْ لاَزِمْ مُثَقَّلْ حَرْفِي)
Sebagaimana harakat sukun, tasydid juga terdapat pada huruf yang bukan merupakan bagian dari lafadl. Tetapi berdiri sendiri. Walaupun terkadang tasydid tersebut tidak benar-benar ditulis (dimuncul-kan) dalam penulisannya. Contoh:
الم, المر, المص, طسمّ
Huruf-huruf di atas, jika diurai maka akan menjadi:
الم : اَلِفْ لاَمْ مِيْمْ المر : اَلِفْ لاَمْ مِيْمَ رَا
المص : اَلِفْ لاَمْ مِيْمْ صاد طسم : طَا سِيْنْ مِيْمْ
Dengan demikian, dari contoh-contoh di atas, huruf yang dikatakan sebagai mengandung mad thabi'i kemudian bertemu tasydid adalah: huruf lam (dalam tiga contoh pertama) dan sin (dalam contoh terakhir). Lam dikatakan mengandung mad thabi'i, dapat dilihat dari uraian huruf tersebut. Sementara mad thabi'i tersebut kemudian dikatakan bertemu dengan tasydid, adalah karena setelah mad thabi'i berupa dua huruf sama yang pertama berharakat sukun dan yang kedua hidup. Dua huruf yang demikian, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan terdahulu nilainya sama dengan satu huruf yang bertasydid. Sehingga mad thabi'i dalam huruf lam tersebut dinilai bertemu dengan tasydid.
Sementara dalam contoh terakhir, sin dikatakan sebagai mengandung mad thabi'i: jika huruf tersebut diurai. Dan mad thabi'i tersebut dikatakan bertemu dengan tasydid adalah karena nun sukun (sebagai penutup huruf sin jika diurai) ketika bertemu dengan mim maka ia masuk ke dalam huruf mim (menjadi mim). Begitu dalam pembacaannya. Sehingga menjadi dua mim. Mim pertama mati dan mim kedua hidup. Dan mim yang demikian nilainya seperti satu mim yang bertasydid. Perlu diingat bahwa tajwid (ilmu qira'at al-Qur'an) adalah berkaitan dengan (pem)bacaan, bukan (pe)nulisan
Dari contoh-contoh huruf di atas, yang dikategorikan sebagai mad lazim adalah huruf lam dalam ketiga contoh pertama dan huruf sin dalam contoh terakhir. Karena mad thabi'i dalam contoh ini bertemu dengan tasydid maka mad lazim ini selanjutnya disebut mad lazim mutasaqqal. Dan karena keberadaan mad lazim mutasaqqal tersebut dalam sebuah huruf maka mad lazim mutsaqqal tersebut selanjutnya dinamakan mad lazim mutsaqqal harfi.
Tidak berbeda dengan mad lazim kilmi, penulisan mad lazim harfi di atas hurufnya diberi tanda lengkung. Sebagai isyarat bahwa huruf tersebut harus dibaca panjang.
Beberapa mad sebagaimana dijelaskan di atas, adalah berangkat dari mad thabi'i. Oleh karena itu, mad thabi'i disebut sebagai mad ashli. Mad yang paling dasar, yang mendasari bagi munculnya bacaan mad yang lain. Sementara mad-mad lain tersebut, karena kemunculannya berasal dari mad ashli (bukan berdiri sendiri) maka selanjutnya dikategorikan sebagai mad far'i (cabang: dari mad ashli).
Selain mad far'i tersebut, masih banyak jenis mad yang lain yang tidak memiliki keterkaitan dengan mad thabi'i. Di antara mad-mad tersebut adalah:
1.Mad Farqi (مَدْ فَرْقِ)
Jika ada sebuah lafadl yang mengandung lam ta'rif (ال) dan sebelum lafadl tersebut berupa hamzah istifham,17 maka hamzah istifham tersebut harus dibaca panjang. Lafadl yang seperti ini hanya ada enam dalam al-Qur'an, yaitu:
قُلْ ء الذَّكَرَيْنِ (الأنعام 6: 143, 144)
ء اللهُ خَيْرٌ (النمل 27: 59)
قُلْ ء اللهُ أَذِنَ لَكُمْ (يونس 10: 59)
ء اْلئنَ ( يونس 10: 51, 91)
Jika hamzah tersebut tidak dibaca panjang, maka lafadl tersebut menjadi samar dalam pembacaannya. Dalam arti apakah lafadl tersebut mengandung hamzah atau tidak. Lafadl اْلئنَ misalnya, jika berada di awal kalimah dan tidak ada hamzahnya maka dibaca AL ÂNA. Begitu juga ketika ada hamzahnya tetapi hamzah tersebut dibaca biasa (pendek), sebagaimana ketika didahului oleh huruf lain, maka lafadl tersebut akan terbaca AL ÂNA. Sehingga tidak ada bedanya antara, apakah ada hamzahnya atau tidak. Oleh karena itu, untuk menunjukkan bahwa lafadl tersebut didahului huruf hamzah, maka hamzahnya harus dibaca panjang.
Karena hamzahnya harus dibaca panjang maka lafadl tersebut dikategorikan sebagai bacaan mad. Dan karena dibaca panjangnya hamzah tersebut adalah untuk menunjukkan keberadaan hamzah itu sendiri dan sekaligus untuk membedakan dengan ketika tidak ada hamzahnya, selanjutnya mad tersebut dinamakan mad farqi. Nama ini terambil dari kata فَرْقٌ yang artinya beda. Adapun panjangnya mad farqi ini adalah tiga alif. Sebagaimana mad lazim di atas. Bahkan bacaan ini bisa juga disebut mad lazim. Selain dapat disebut sebagai mad lazim, dari segi cara membacanya mad farqi ini juga dapat dibaca tashil.18
2.Mad Lain ( مَدْ لَيْنْ )
Selain terdapat wawu sukun yang jatuh setelah huruf yang berharakat dhamah, alif yang jatuh setelah huruf yang berharakat fathah dan ya` sukun yang jatuh setelah huruf yang berharakat kasrah, yang kemudian disebut mad thabi'i, di dalam al-Qur'an juga terdapat lafadl yang di dalamnya ada wawu dan ya` sukun yang jatuh setelah huruf yang berharakat fathah, dan jika dibaca waqaf maka akan terdapat dua huruf mati berkumpul, sebagaimana dalam mad 'aridh li al-sukun. Lafadl tersebut misal-nya seperti:
قُرَيْشٍο, وَالصَّيْفِο, هَذَا اْلبَيْتِο
مِنْ خَوْفٍο, لِمَنِ اْلمُلْكُ الْيَوْمَ قلى مَثَلُ السَّوْءِ
Lafadl-lafadl dalam contoh di atas, jika dibaca waqaf, harus dibaca panjang. Dan jika dibaca washal, harus dibaca pendek. Sehingga dapat dikatakan, jika dibaca waqaf lafadl-lafadl tersebut termasuk bacaan mad, dan jika dibaca washal bukan termasuk bacaan mad. Untuk mendapat-kan kesempurnaan dalam membaca lafadl-lafadl tersebut, kita harus membacanya dengan halus dan hati-hati. Berangkat dari cara pengucapan yang demikian, selanjutnya mad ini disebut mad lain.19
Panjang bacaan mad lain ini boleh satu, dua maupun tiga alif. Adapun yang utama adalah satu alif (kebalikan dari mad 'aridh li al-sukun). Hal penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan mad lain ini adalah, bahwa bacaan 'U' dan 'I' tidak boleh berubah menjadi 'O' dan 'E'. Misalnya, lafadl بَيْنَ harus dibaca BAINA, tidak boleh dibaca BAENA. Dan lafadl الْيَوْمَ harus dibaca AL-YAUMA, tidak boleh dibaca AL-YAOMA.
Dan penting pula untuk diketahui, bahwa panjang pendeknya lafadl-lafadl tersebut dalam pembacaannya, adalah bergantung pada apakah lafadl-lafadl tersebut dibaca waqaf atau washal. Bukan karena keberadaan-nya di akhir ayat dan atau diikuti tanda waqaf, atau tidak. Artinya, sungguhpun tidak di akhir ayat dan atau tidak diikuti oleh tanda waqaf, jika dalam sebuah lafadl terdapat fathah yang kemudian diikuti oleh wawu dan ya` sukun dan jika lafadl tersebut dibaca waqaf berarti akan berkumpul dua sukun (sukunnya wawu dan ya` serta sukunnya lafadl tersebut karena dibaca waqaf), maka lafadl tersebut harus dibaca panjang. Itulah yang disebut bacaan mad lain. Dengan demikian dapat diketahui pula bahwa huruf lain adalah wawu dan ya` sukun yang jatuh setelah huruf yang berharakat fathah.
Dan tidak boleh dibaca panjang, ketika huruf lain tersebut berada di akhir kata walaupun lafadl tersebut dibaca waqaf. Seperti lafadl:
وَتَوَاصَوْا لَوْ وَاتَّقَوْا لِكَيْ لاَ
3.Mad 'Iwadh ( مَدْ عِوَضْ )
Sering kita jumpai dalam al-Qur'an, sebuah lafadl yang diakhiri oleh huruf yang berharakat fathah tanwin. Seperti lafadl:
أََفْوَاجًاο تَوَّابًاο ضَبْحًاο
مَاءً بِنَاءًصلى سَوَاءًقلى
Lafadl-lafadl tersebut jika dibaca waqaf, maka harakat fathah tanwinnya harus diganti dengan harakat fathah (biasa, bukan tanwin) dan harus dibaca panjang satu alif. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Sehingga menjadi:
أََفْوَاجَاο تَوَّابَاο ضَبْحَاο
مَائاَ بِنَائاَصلى سَوَائاَقلى
Karena --dalam pembacaannya-- terjadi pergantian (pertukaran) harakat, maka selanjutnya lafadl yang demikian dinamakan bacaan mad 'iwadh.20 Jika lafadl-lafadl tersebut tidak dibaca waqaf maka fathah tanwinnya tetap (dibaca tanwin), dan (tentunya) tidak boleh dibaca panjang.
4.Mad Badal ( مَدْ بَدَلْ )
Di antara lafadl-lafadl dalam al-Qur'an, terdapat juga lafadl yang mana sebelum huruf mad thabi'i adalah huruf hamzah. Seperti lafadl:
ءَامَنُوْا إِيْمَانًا أُوْتُوْا ءَادَمَ
Lafadl-lafadl di atas berasal dari lafadl:
ءَأْمَنُوْا إِأْمَانًا أُأْتُوْا ءَأْدَمَ
Dengan demikian, lafadl-lafadl di atas mengalami pergantian huruf. Yaitu huruf hamzah --yang kedua-- diganti dengan huruf mad dengan disesuaikan pada harakat yang ada pada huruf hamzah --pertama--. Sebagaimana mad 'iwadh, karena terjadi pergantian --dari huruf hamzah menjadi huruf mad-- inilah selanjutnya lafadl yang demikian dinamakan mad badal.21 Dan karena adanya pergantian yang demikian, maka lafadl tersebut kemudian menjadi seperti mad thabi'i. Sehingga panjang bacaan mad badal ini juga seperti mad thabi'i, yaitu satu alif.
Antara mad 'iwadh dan mad badal tersebut sama-sama terjadi proses pergantian dalam pembacaannya. Akan tetapi tidak ada makna atau maksud signifikan (yang berarti) dibalik pemilihan nama dari kedua mad. Terutama jika dikaitkan dengan cara membaca. Karena kedua-duanya memiliki panjang bacaan yang sama, yaitu satu alif.
5.Mad Muqaddar ( مَدْ مُقَدَّرْ )
Huruf mad --yang berupa alif-- adakalanya ditulis dalam mushaf dan adakalanya tidak. Ketika huruf mad tersebut tidak ditulis dalam mushaf maka sebagai gantinya fathah sebelum huruf mad tersebut ditulis dalam bentuk berdiri. Bahkan penulisan demikian (dengan fathah berdiri) terkadang menjadi bentuk yang baku. Artinya fathah berdiri tersebut tidak diperboleh-kan untuk diganti dengan alif, walaupun ketika dibaca keduanya sama. Seperti lafadl:
الله ُ, الرَّحْمنِ, إِلهٌ الأخِرَةُ
Ketika huruf mad diwujudkan dalam bentuk harakat berdiri, maka panjang bacaannya sama dengan ketika ditulis dengan disertai alif. Dengan demikian, dalam pembacaan ini terjadi pemerkiraan (proses mengira-ngira). Yaitu fathah berdiri dikira-kirakan panjangnya dengan fathah miring yang diikuti alif. Karena terjadi proses mengira-ngira dan dalam bahasa Arab mengira-ngira adalah muqaddar, selanjutnya lafadl yang demikian dinamakan mad muqaddar (mad yang dikira-kirakan). Contoh:
اْلعلَمِيْنَ, ملِكِ, ذلِكَ أَغْني سَيَصْلى
Jika setelah mad muqaddar tersebut ada huruf hamzah yang berada dalam satu lafadl, maka panjangnya dikira-kirakan (disamakan) juga dengan (panjangnya) mad wajib muttashil. Seperti lafadlأُولئِكَ . Begitu juga ketika hamzah tersebut berada di lain lafadl, panjang bacaannya juga disamakan dengan panjangnya bacaan mad jaiz munfashil. Contoh:
بَلى إِنَّ رَبَّهُ ثُمَّ اسْتَوى اِلىَ فَتَلَقّى آدَمُ
6.Mad Shilah ( مَدْ صِلَةْ )
Banyak terdapat dalam al-Qur'an, lafadl yang diikuti (diakhiri) oleh ha` dlamir mufrad mudzakkar (kata ganti laki-laki tunggal). Ha` dlamir tersebut berharakat dlamah dan kasrah. Adakalanya ha` tersebut harus dibaca panjang (satu alif) dan adakalanya harus dibaca pendek (satu harakat). Pembacaan yang demikian berangkat dari ketentuan masing-masing. Adapun ketentuan tersebut antara lain:
a.Dibaca panjang:
Jika huruf sebelum dan sesudah ha` dlamir tersebut hidup (tidak berharakat sukun). Contoh:
لَمْ يَكُنْ لَه كُفُوًا مَالُه وَمَا إِنًّه كَانَ
فَأَثَرْنَ بِه نَقْعًا لِرَبِّه لَكَنُوْدٌ وَأُمِّه وَأَبِيْهِ
Akan tetapi, ada beberapa lafadl yang mengandung ha` yang jatuh setelah huruf hidup, dan ha` tersebut harus dibaca pendek. Lafadl-lafadl tersebut antara lain:
يَرْضَهُ لَكُمْ (الزُّمَرْ 39 :7)
مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا (هُوْدْ 11: 91)
فَوَاكِهُ (الْمُؤْمِنُوْنْ 23: 19)
تَنْتَهِ (الشعراء 26: 167, مريم 19: 46)
Dalam tiga contoh terakhir, ha` harus dibaca pendek adalah karena ha` tersebut bukan ha` dlamir. Tetapi ha` yang merupakan huruf yang menjadi bagian dari masing-masing lafadl tersebut. Untuk lafadl terakhir (تَنْتَهِ), selain dari yang diangkat sebagai contoh, terdapat juga dalam surat lain. Dan semuanya harus dibaca pendek.
b.dibaca pendek:
Jika setelah ha` dlamir berupa huruf mati, baik huruf sebelum ha` dlamir tersebut hidup maupun mati. Contoh:
لَهُ الرَّحْمنُ فَاَخَذَهُ اللهُ اَنْ جَاءَهُ اْلأَعْلَى
أتَاهُ اللهُ فَأَرَاهُ اْلأيَةَ وَاتَيْنَاهُ الْحُكْمَ
لِأَهْلِهِ امْكُثُوْا بِهِ اْلأَرْضَ عَلى عَبْدِهِ اْلكِتَابَ
فِيْهِ اْلقُرْآنُ يَأْتِيْهِ اْلمَوْتُ فِيْهِ اْلقُلُوْبُ
Jika sebelum ha` dlamir berupa huruf mati atau huruf yang berharakat sukun. Contoh:
عَنْهُ وَيَرْزُقْهُ أَنْزَلْنَاهُ
فِيْهِ عَلَيْهِ وَيَتَّقْهِ
Dalam hal ini ada pengecualian. Artinya, dalam al-Qur'an terdapat sebuah lafadl yang mengandung ha` dlamir, yang mana huruf sebelumnya adalah mati (berharakat sukun), akan tetapi ha` dlamir tersebut harus dibaca panjang satu alif (menurut Imam Hafs dan Imam Ashim). Lafadl tersebut terdapat dalam QS. al-Furqan 25:69, juz 19: فِيْه مُهَاناً.
Penting juga dimengerti, bahwa jika huruf mati sebelum ha` dlamir tersebut berupa ya` maka ha` dlamir tersebut harus berharakat kasrah. Sebagaimana contoh di atas. Kecuali dua lafadl yang masing-masing terdapat dalam QS. al-Fath 48:10, juz 26 dan al-Kahfi 18:63, juz 15. Dalam ayat tersebut terdapat lafadl yang mengandung ha` dlamir yang jatuh setelah ya` mati, tetapi ha` dlamir tersebut dibaca dlamah.
عَلَيْهُ اللهُ وَمَآاَنْسَانِيْهُ
Dalam segi penulisan --dalam mushaf-- biasanya, untuk dlamah yang dibaca panjang harakatnya ditulis terbalik, dan yang dibaca pendek ditulis biasa (miring). Sementara untuk kasrah, yang dibaca panjang ditulis berdiri dan yang dibaca pendek ditulis biasa (miring). Namun untuk naskah al-Qur'an cetakan terkini, terutama terbitan Timur Tengah, maupun al-Qur'an digital (al-Qur'an yang dimasukkan dalam computer) memiliki cara tersendiri dalam menulis bacaan panjang tersebut.
Cara tersebut adalah: untuk dlamah, harakatnya ditulis biasa tetapi setelah ha` diberi huruf wawu kecil. Begitu juga dengan kasrah. Kasrah ditulis biasa dan setelah ha` diberi ya` kecil. Pemberian wawu dan ya` kecil tersebut, bukan berarti menambah (mengubah) al-Qur'an. Di satu sisi, hal itu memang merupakan metode atau cara yang ditempuh penulis --al-Qur'an-- untuk meng-isyaratkan bacaan panjang. Di sisi lain, memang dalam beberapa program computer, dimana al-Qur'an sekarang dicetak, tidak tersedia fasilitas fathah dan kasrah berdiri serta dlamah terbalik. Sehingga cara tersebut dijadikan alternatif. Dan terlepas dari itu semua, memang pada hakekatnya yang disebut al-Qur'an (wahyu Allah) adalah bacaannya bukan tulisannya. Karena al-Qur'an diturunkan dalam bentuk bacaan.
Ha` dlamir yang dibaca panjang, sebagaimana dijelaskan di atas, karena dibaca panjang selanjutnya disebut mad shilah. Karena panjang-nya mad shilah tersebut adalah batas terpendek bagi bacaan mad, yaitu satu alif, dan istilah pendek dalam bahasa Arab adalah قَصِيْرٌ, selanjutnya mad shilah tersebut dinamakan mad shilah qashirah (مَدْ صِلَةْ قَصِيْرَةْ). Sungguhpun mad shilah qashirah ini dibaca panjang, akan tetapi jika dibaca waqaf ha`nya menjadi mati. Contoh:
يَكُنْ لَهُو ← يَكُنْ لَهْ مَالُهُو ← مَالُهْ
فَأَثَرْنَ بِهِى← فَأَثَرْنَ بِهْ لِرَبِّهِى ← لِرَبِّهْ
Di antara mad shilah tersebut ada yang setelahnya berupa huruf hamzah. Seperti misalnya:
عِنْدَهُو إِلاَّ وَثَاقَهُو اَحَدٌ وَذُرِّيَّتَهُو اَوْلِيَآءَ
مِنْ دُوْنِهِى إِلهاً اَوْبِهِى أَذًى مُلْكِهِى أَنْ يَأْتِيَكُمْ
Mad shilah sebagaimana dalam contoh di atas harus dibaca lebih panjang dari mad shilah qashirah. Jika mad shilah qashirah dibaca panjang satu alif, maka mad shilah yang ini dibaca lebih panjang lagi. Yaitu dua atau dua setengah alif. Sebagaimana mad jaiz munfashil. Karena dibaca panjang --dan karena dalam bahasa Arab panjang adalah طَوِيْلٌ-- selanjutnya mad shilah ini disebut mad shilah thawilah (مَدْ صِلَةْ طَوِيْلَةْ). Sekaligus sebagai konsekuensi dari penyebutan mad shilah qashirah sebelumnya. Sungguh memiliki panjang lebih dibanding mad shilah qashirah, jika dibaca waqaf maka mad shilah thawilah huruf ha`nya juga dibaca sukun (mati) sebagaimana mad shilah qashirah. Sehingga dari contoh di atas, jika dibaca waqaf maka akan menjadi:
عِنْدَهْ وَثَاقَهْ عَذَابَهْ
بِهْ اَوْبِهْ مُلْكِهْ

Tidak ada komentar: