Minggu, 30 November 2008

TAJWID

MAD (مَدْ )


Di dalam al-Qur'an banyak terdapat lafadl yang --di antara hurufnya-- berharakat dlammah kemudian diikuti oleh wawu sukun, huruf yang berharakat kasrah diikuti oleh ya` sukun dan huruf yang berharakat fathah diikuti oleh alif. Huruf-huruf --yang berharakat dlammah, kasrah dan fathah dan kemudian diikuti wawu sukun, ya` sukun dan alif-- tersebut wajib dibaca lebih panjang (lama) dibanding dengan ketika tidak diikuti oleh wawu sukun, ya` sukun dan alif. Adapun ukuran panjang-nya adalah satu alif (dua harakat).1 Lafadl-lafadl tersebut, karena dibaca panjang, maka dalam ilmu qira`ah al-Qur'an (tajwid), selanjutnya disebut bacaan mad atau mad thabi'i.2 Contoh:
ُوْ المَغْضُوْبِ, اَعُوْذُ, صُدُوْرِ
ِيْ الَّذِيْنَ, أَبِيْ لَهَبٍ, دِيْنِ اللهِ
َا مَالِكِ, إِيَّاكَ, صِرَاطَ
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa huruf mad adalah wawu sukun yang jatuh setelah harakat dlammah, ya` sukun yang jatuh setelah harakat kasrah dan alif yang jatuh setelah harakat fathah.
1.Mad Wajib Muttashil (مَدْ وَاجِبْ مُتَّصِلْ)
Dari sekian banyak bacaan mad thabi'i dalam sebuah lafadl, beberapa di antaranya, huruf setelah bacaan mad thabi'i tersebut adalah huruf hamzah.3 Mad thabi'i yang kemudian diikuti oleh huruf hamzah dalam lafadl tersebut harus dibaca lebih panjang lagi. Adapun ukuran panjangnya adalah dua atau dua setengah alif.4 Contoh:
اِذَا جَآءَ يُرَآءُوْنَ رِحْلَةَ الشِّتَآءِ
وَجِيْئَ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
سُوْءُ لَتَنُوْءُ اَنْ تَبُوْءَ
Dari dua ukuran panjang yang dibolehkan, kita bebas menentukan pilihan. Apakah memilih membacanya dengan panjang dua alif atau dua setengah alif. Akan tetapi, dua pilihan tersebut selanjutnya memunculkan ketentuan baru. Yaitu, jika dalam satu ayat terdapat lebih dari satu mad thabi'i yang diikuti hamzah, dan jika kita memilih membaca dengan panjang dua alif maka semuanya harus dibaca panjang dua alif. Dan jika kita memilih membaca panjang dua setengah alif, maka semuanya harus dibaca panjang dua setengah alif. Seperti lafadl dalam QS. al-Nisa` 4: 143.
... لَآ اِلى هؤُلَآءِ وَلَآ اِلى هؤُلَآءِ ...
Panjangnya bacaan sebagaimana dijelaskan di atas, adalah menurut pendapat Imam Hafsh dari Imam 'Ashim. Selain Imam Hafsh, imam-imam qurra` yang lain juga mewajibkan panjangnya mad ini lebih dari mad thabi'i.5 Oleh karena itu, mad ini disebut mad wajib. Sedangkan keberadaan mad thabi'i dan hamzah dalam satu kalimat, yang berarti bersambung (muttashil), selanjutnya dijadikan pelengkap nama mad wajib tersebut. Sehingga terbentuklah nama mad wajib muttashil yang kemudian digunakan untuk menyebut bacaan ini.
Penulisan bacaan mad wajib muttashil ini, biasanya, di atas huruf madnya diberi tanda lengkung (~). Sebagai isyarat bahwa mad ini harus dibaca panjang. Perlu diketahui, bahwa tanda tersebut hanya sekedar isyarat, bukan yang mengharuskan mad ini dibaca panjang. Artinya, sungguhpun tidak ada tanda lengkungnya, jika dalam sebuah lafadl terdapat mad thabi'i yang diikuti oleh huruf hamzah maka mad tersebut harus dibaca lebih panjang. Jadi adanya hamzah itulah yang mengharuskan mad ini dibaca panjang.
2.Mad Jaiz Munfashil (مَدْ جَائِزْ مُنْفَصِلْ)
Banyak juga huruf hamzah setelah mad thabi'i tersebut berada dalam lafadl lain (tidak satu lafadl dengan mad thabi'i). Mad thabi'i yang diikuti oleh huruf hamzah yang berada dalam lafadl lain tersebut juga harus dibaca panjang sebagaimana mad wajib muttashil. Yaitu dua atau dua setengah alif. Begitu pendapat Imam Hafsh dari Imam 'Ashim Contoh:
لَآ أَعْبُدُ وَمَآ أَدْرَاكَ إِنَّآ أَعْطَيْناَ
فِيْ أَهْلِهِ فِيْ أَيِّ إِنِّيْ أَعْلَمُ
قُوْآ أَنْفُسَكُمْ وَمَآأُمِرُوْآ إِلاَّ قَالُوْآ إِنَّ
Berbeda dengan mad wajib muttashil yang telah disepakati panjangnya oleh ulama ahl qurra`, yaitu lebih dari mad thabi'i, dalam bacaan mad ini mereka berbeda pendapat mengenai panjang bacaannya. Perbedaan tersebut hingga tiga kelompok:
a.Sebagian mereka mengajarkan bahwa mad ini harus dibaca pendek (satu alif) sebagaimana mad ashli.
b.Sebagian yang lain mengajarkan bahwa mad ini harus dibaca lebih dari mad ashli, yakni sama dengan mad wajib muttashil. Di antara ulama yang mengajarkan ini adalah Imam Warsy, Imam Hamzah, Imam Ibn 'Amir, Imam Ali al-Kisa`i dan Imam 'Ashim (guru Imam Hafs). Dengan ukuran panjang yang berbeda-beda pula, yaitu antara dua alif dan dua setengah alif.
c.Sebagian yang lain lagi mengajarkan bahwa mad ini boleh dibaca panjang (seperti mad wajib muttashil) dan boleh dibaca pendek (seperti mad ashli). Di antara ulama yang mengajarkan ini adalah Imam Qalun dan Imam al-Duri.
Adanya perbedaan tentang panjang pendeknya bacaan ini mengindikasikan (menunjukkan) bahwa bacaan mad ini boleh dibaca pendek (sama dengan mad thabi'i: satu alif) dan boleh dibaca panjang (seukuran dengan mad wajib muttashil: dua atau dua setengah alif). Karena boleh dibaca pendek dan panjang, maka bacaan mad ini selanjutnya disebut bacaan mad jaiz.6 Dan berbeda juga dengan mad wajib muttashil, dalam mad jaiz ini mad thabi'i dan hamzah tidak berada dalam satu lafadl, tetapi terpisah (munfashil). Dari sinilah kemudian mad jaiz ini disempurnakan penyebutannya sehingga menjadi mad jaiz munfashil.
Perlu ditegaskan di sini bahwa yang dimaksud 'boleh' membaca mad jaiz munfashil dengan pendek dan panjang adalah hanya bagi murid masing-masing imam (orang yang mempelajari bacaannya). Bukan bagi setiap orang (muslim). Maksudnya, bagi pengikut (murid) Imam Qalun dan Imam al-Duri boleh membaca mad ini sebagaimana membaca mad wajib muttashil dan boleh juga seperti mad thabi'i. Adapun bagi pengikut (murid) Imam Warsy, Imam Hamzah, Imam Ibn 'Amir, Imam Ali al-Kisa`i dan Imam 'Ashim (guru Imam Hafs) harus membaca mad ini sebagaimana membaca mad wajib muttashil, dan tidak boleh membacanya seperti mad thabi'i.7
Karena, sebagaimana telah disinggung di atas, (mayoritas) muslim Indonesia adalah pengikut Imam Hafs, maka kita harus membaca mad jaiz munfashil ini dengan dua atau dua setengah alif. Hal ini dikuatkan juga dengan pendapat lain yang mengatakan bahwa kebolehan membaca mad jaiz munfashil dengan pendek dan panjang adalah berkaitan dengan cara pembacaan-nya, yaitu washal atau waqaf. Maksudnya, mad jaiz ini dibaca panjang (seukuran mad wajib muttashil) jika antara dua lafadl tersebut dibaca washal. Sebagaimana contoh di atas. Dan dibaca pendek, jika pembacaan diwaqafkan pada lafadl pertama. Dari contoh-contoh di atas, misalnya pembacaan berhenti pada lafadl:
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ لا َ(الكافرون: 1-2) مَااْلقَارِعَةُ وَمَا (القارعة: 2-3)
قَالَ اَلَمْ اَقُلْ لَكُمْ إِنِّيْ (البقرة: 33) فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ فِي (الإنفطار 7-8)
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قُوْا (التحريم: 6) وَمَآأُمِرُوْا (البيّنة: 5)
Mad jaiz munfashil ini hanya memiliki sedikit perbedaan dengan mad wajib muttashil. Perbedaan tersebut terletak pada keberadaan hamzah tersebut. Dalam mad wajib muttashil, mad thabi'i dan hamzah berada dalam satu lafadl. Sedangkan dalam mad jaiz munfashil, mad thabi'i dan hamzah berada dalam dua lafadl. Sedangkan dari segi cara membaca (panjang bacaan), adanya tanda (isyarat) bahwa lafadl tersebut harus dibaca panjang dan bagaimana caranya ketika kita memilih salah satu panjang bacaannya, antara keduanya tidak ada perbedaan.
3.Mad 'Aridh li al-Sukun (مَدْ عَارِضِ لِلسُّكُوْنِ)
Banyak juga bacaan mad thabi'i dalam sebuah lafadl, yang seandainya lafadl itu dibaca waqaf maka mad thabi'i tersebut lalu berhadapan dengan huruf mati (dibaca sukun).8 Mad thabi'i yang demikian boleh dibaca tiga, dua atau satu alif.9 Demikian pendapat para ulama` ahl al-qurra`. Contoh:
لاَرَيْبَ فِيْهِ, فَإِنِّي قَرِيْبٌ قلى, إِلاَّ إِبْلِيْسَ قلى
وَيُرْبِى الصَّدَقَاتِ قلى, هِيَ عَصَايَ ج, أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍقلى
هُوَ الْحَيُّ اْلقَيُّوْمُ ج وَمَا يُعْلِنُوْنَ قلى, فَاكْتُبُوْهُ قلى
رَبِّ الْعَالمَِيْنَο الرَّحِيْمِο اَبَابِيْلَο
رَبِّ النَّاسِο وَإِلَيْهِ مَتَابِο مِنْ زَوَالٍο
أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَο كَعَصْفٍ مَأْكُوْلٍο كَاْلفَرَاشِ الْمَبْثُوْثِο
Dari ketiga cara membaca yang diperbolehkan, yang paling utama adalah tiga alif.
Karena dibaca panjangnya mad thabi'i dalam lafadl tersebut (yaitu boleh 1/2/3 alif) adalah sebab adanya huruf yang dibaca sukun --yang berada setelah mad thabi'i-- dan dibaca sukunnya huruf tersebut adalah sebab lafadlnya dibaca waqaf, maka selanjutnya bacaan dalam lafadl tersebut dinamakan bacaan mad 'aridh li al-sukun. Penamaan ini berangkat dari arti kata 'aridh, yaitu yang baru (dalam konteks ini adalah baru sukunnya, yaitu ketika lafadlnya dibaca waqaf).
Dan sebagai konskuensi, jika lafadl tersebut dibaca washal (langsung/tidak berhenti) maka mad 'aridh li al-sukun tersebut menjadi hilang. Artinya, jika lafadl-lafadl di atas --dan yang sepadannya-- tidak dibaca waqaf maka ia menjadi mad thabi'i. Berarti panjangnya wajib satu alif. Dengan demikian, yang menjadi kunci mad 'aridh li al-sukun bukanlah adanya tanda waqaf atau keberadaan lafadl di akhir ayat. Akan tetapi dibaca waqaf atau tidak lafadl yang di tengah-tengahnya terdapat mad thabi'i tersebut.
4.Mad Lazim (مَدْ لاَزِمْ)
Ada juga lafadl yang mengandung bacaan mad thabi'i dan huruf setelah mad thabi'i tersebut berharakat sukun. Sehingga dalam lafadl tersebut terdapat dua harakat sukun (dua huruf yang mati) berkumpul. Yaitu harakat sukun yang ada pada huruf mad dan harakat sukun yang ada pada huruf setelah mad. Harakat sukun setelah mad thabi'i ini adakalanya berbentuk sukun (asli), adakalanya berupa tasydid.10 Mad thabi'i yang seperti ini juga harus dibaca panjang. Adapun ukuran panjangnya adalah tiga alif. Begitu pendapat (yang diajarkan) ulama` ahl qurra`. Contoh:
ءَالْئنَ, وَلاَالضَّآلِّيْنَ, طسم, يس
Lafadl-lafadl tersebut harus dibaca panjang karena untuk memisahkan dua harakat sukun (huruf mati) tersebut. Karena dalam bahasa Arab tidak dijumpai --dan bukan menjadi kebiasaan-- berkumpulnya dua harakat sukun dalam sebuah lafadl kecuali lafadl yang dibaca waqaf.
Karena harakat sukun yang ada pada huruf setelah mad thabi'i tersebut asli, bukan karena diwaqaf-kan sebagaimana dalam mad a'ridh di atas, sehingga baik ketika lafadl tersebut dibaca waqaf maupun dibaca washal harakat sukun tersebut tetap (tidak berubah), maka bacaan tersebut dinamakan mad lazim.11
a.Mad Lazim Mukhaffaf Kilmi (مَدْ لاَزِمْ مُخَفَّفْ كِلْمِي)
Sebagaimana disinggung di atas, dalam mad lazim terkadang harakat sukun pada huruf setelah mad thabi'i berupa 'sukun' (bukan tasydid). Contoh:
ءَالْئنَ
Karena harakat sukun tersebut berupa sukun (asli), dan ketika mad thabi'i bertemu dengan sukun asli itu ringan pembacaannya maka mad lazim tersebut dinamakan mad lazim mukhaffaf.12 Dan karena keberadaan mad lazim mukhaffaf --sebagaimana contoh di atas-- adalah dalam sebuah lafadl (kalimah), selanjutnya mad lazim mukhaffaf tersebut disebut mad lazim mukhaffaf kilmi.13 Lafadl di atas selain dapat dibaca panjang (mad lazim) juga dapat dibaca tashil.
b.Mad Lazim Mutsaqqal Kilmi (مَدْ لاَزِمْ مُثَقَّلْ كِلْمِي)
Terkadang harakat sukun setelah mad thabi'i tersebut berupa tasydid (bukan berupa harakat sukun). Seperti lafadl:
اَتُحَآجُّوْنِّي, تَأْمُرُوْنِّي
الْحَآقَّةُ، الطَّآمَّةُ، يُوَآدُّوْنَ, مَنْ حَآدَّ اللهُ, دَآبَّةٍ,
Karena harakat sukun yang bertemu mad thabi'i tersebut berupa tasydid, dan karena mad thabi'i jika bertemu tasydid lebih berat bacaannya, maka mad lazim tersebut diberi nama mad lazim mutsaqqal.14 Dan karena keberadaan mad lazim mutsaqqal tersebut dalam kalimah (kata), selanjutnya mad lazim mutsaqqal tersebut disebut mad lazim mutsaqqal kilmi.
Penulisan mad lazim --baik yang mutsaqqal kilmi maupun mukhaffaf kilmi-- dalam mushaf, biasanya, di atas huruf mad diberi tanda lengkung (~), sebagaimana pada mad wajib muttashil dan mad jaiz munfashil. Akan tetapi, lagi-lagi, bukan tanda itu yang membuat bacaan tersebut harus dibaca panjang. Tetapi, adanya tasydid pada huruf yang jatuh setelah huruf mad thabi'i yang masih dalam satu lafadl. Sebagai konskuensi, jika huruf setelah mad thabi'i bukan huruf bertasydid15 atau berada dalam lafadl yang berbeda16 maka lafadl tersebut tidak boleh dibaca panjang. Dan sebaliknya, jika huruf setelah mad thabi'i bertasydid dan masih dalam satu lafadl (sungguhpun di atas huruf mad tidak ada tanda lengkung) maka mad tersebut harus dibaca panjang (3 alif).
c.Mad Lazim Mukhaffaf Harfi (مَدْ لاَزِمْ مُخَفَّفْ حَرْفِي)
Selain terdapat pada huruf yang merupakan bagian dari kalimah (kata), harakat sukun juga terdapat pada huruf yang bukan merupakan bagian dari kalimah. Tetapi berdiri sendiri tanpa harakat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa huruf tersebut mengandung mad thabi'i yang sekaligus bertemu dengan harakat sukun. Huruf tersebut merupakan huruf pembuka surat. Contoh:
ص, ق, ن, طس, حم, كهيعص
Huruf-huruf tersebut dikatakan sebagai mengandung mad thabi'i yang kemudian bertemu dengan sukun asli adalah ketika huruf-huruf tersebut diuraikan sesuai dengan pengucapannya. Huruf-huruf tersebut jika diuraikan maka akan menjadi:
ص صَادْ طس طَا سِيْنْ
ق قَافْ حم حاَمِيْمْ
ن نُوْنْ كهيعص كَافْ ها يا عين صاد
Huruf-huruf tersebut --ketika menjadi pembuka surat (di awal surat)-- harus dibaca panjang. Dengan ukuran panjang: tiga alif. Dan pembacaannya harus sesuai dengan ketika huruf tersebut tidak diberi harakat (sesuai dengan nama huruf itu sendiri).
Sebagaimana mad lazim mukhaffaf kilmi, karena harakat sukun pada huruf setelah mad thabi'i adalah (sukun) asli, maka mad lazim ini disebut mad lazim mukhaffaf. Dan berbeda dengan mad lazim mukhaffaf kilmi yang keberadaannya dalam sebuah kalimah (kata), mad lazim ini karena keberadaannya dalam sebuah huruf maka selanjutnya disebut mad lazim mukhaffaf harfi.
d.Mad Lazim Mutsaqqal Harfi (مَدْ لاَزِمْ مُثَقَّلْ حَرْفِي)
Sebagaimana harakat sukun, tasydid juga terdapat pada huruf yang bukan merupakan bagian dari lafadl. Tetapi berdiri sendiri. Walaupun terkadang tasydid tersebut tidak benar-benar ditulis (dimuncul-kan) dalam penulisannya. Contoh:
الم, المر, المص, طسمّ
Huruf-huruf di atas, jika diurai maka akan menjadi:
الم : اَلِفْ لاَمْ مِيْمْ المر : اَلِفْ لاَمْ مِيْمَ رَا
المص : اَلِفْ لاَمْ مِيْمْ صاد طسم : طَا سِيْنْ مِيْمْ
Dengan demikian, dari contoh-contoh di atas, huruf yang dikatakan sebagai mengandung mad thabi'i kemudian bertemu tasydid adalah: huruf lam (dalam tiga contoh pertama) dan sin (dalam contoh terakhir). Lam dikatakan mengandung mad thabi'i, dapat dilihat dari uraian huruf tersebut. Sementara mad thabi'i tersebut kemudian dikatakan bertemu dengan tasydid, adalah karena setelah mad thabi'i berupa dua huruf sama yang pertama berharakat sukun dan yang kedua hidup. Dua huruf yang demikian, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan terdahulu nilainya sama dengan satu huruf yang bertasydid. Sehingga mad thabi'i dalam huruf lam tersebut dinilai bertemu dengan tasydid.
Sementara dalam contoh terakhir, sin dikatakan sebagai mengandung mad thabi'i: jika huruf tersebut diurai. Dan mad thabi'i tersebut dikatakan bertemu dengan tasydid adalah karena nun sukun (sebagai penutup huruf sin jika diurai) ketika bertemu dengan mim maka ia masuk ke dalam huruf mim (menjadi mim). Begitu dalam pembacaannya. Sehingga menjadi dua mim. Mim pertama mati dan mim kedua hidup. Dan mim yang demikian nilainya seperti satu mim yang bertasydid. Perlu diingat bahwa tajwid (ilmu qira'at al-Qur'an) adalah berkaitan dengan (pem)bacaan, bukan (pe)nulisan
Dari contoh-contoh huruf di atas, yang dikategorikan sebagai mad lazim adalah huruf lam dalam ketiga contoh pertama dan huruf sin dalam contoh terakhir. Karena mad thabi'i dalam contoh ini bertemu dengan tasydid maka mad lazim ini selanjutnya disebut mad lazim mutasaqqal. Dan karena keberadaan mad lazim mutasaqqal tersebut dalam sebuah huruf maka mad lazim mutsaqqal tersebut selanjutnya dinamakan mad lazim mutsaqqal harfi.
Tidak berbeda dengan mad lazim kilmi, penulisan mad lazim harfi di atas hurufnya diberi tanda lengkung. Sebagai isyarat bahwa huruf tersebut harus dibaca panjang.
Beberapa mad sebagaimana dijelaskan di atas, adalah berangkat dari mad thabi'i. Oleh karena itu, mad thabi'i disebut sebagai mad ashli. Mad yang paling dasar, yang mendasari bagi munculnya bacaan mad yang lain. Sementara mad-mad lain tersebut, karena kemunculannya berasal dari mad ashli (bukan berdiri sendiri) maka selanjutnya dikategorikan sebagai mad far'i (cabang: dari mad ashli).
Selain mad far'i tersebut, masih banyak jenis mad yang lain yang tidak memiliki keterkaitan dengan mad thabi'i. Di antara mad-mad tersebut adalah:
1.Mad Farqi (مَدْ فَرْقِ)
Jika ada sebuah lafadl yang mengandung lam ta'rif (ال) dan sebelum lafadl tersebut berupa hamzah istifham,17 maka hamzah istifham tersebut harus dibaca panjang. Lafadl yang seperti ini hanya ada enam dalam al-Qur'an, yaitu:
قُلْ ء الذَّكَرَيْنِ (الأنعام 6: 143, 144)
ء اللهُ خَيْرٌ (النمل 27: 59)
قُلْ ء اللهُ أَذِنَ لَكُمْ (يونس 10: 59)
ء اْلئنَ ( يونس 10: 51, 91)
Jika hamzah tersebut tidak dibaca panjang, maka lafadl tersebut menjadi samar dalam pembacaannya. Dalam arti apakah lafadl tersebut mengandung hamzah atau tidak. Lafadl اْلئنَ misalnya, jika berada di awal kalimah dan tidak ada hamzahnya maka dibaca AL ÂNA. Begitu juga ketika ada hamzahnya tetapi hamzah tersebut dibaca biasa (pendek), sebagaimana ketika didahului oleh huruf lain, maka lafadl tersebut akan terbaca AL ÂNA. Sehingga tidak ada bedanya antara, apakah ada hamzahnya atau tidak. Oleh karena itu, untuk menunjukkan bahwa lafadl tersebut didahului huruf hamzah, maka hamzahnya harus dibaca panjang.
Karena hamzahnya harus dibaca panjang maka lafadl tersebut dikategorikan sebagai bacaan mad. Dan karena dibaca panjangnya hamzah tersebut adalah untuk menunjukkan keberadaan hamzah itu sendiri dan sekaligus untuk membedakan dengan ketika tidak ada hamzahnya, selanjutnya mad tersebut dinamakan mad farqi. Nama ini terambil dari kata فَرْقٌ yang artinya beda. Adapun panjangnya mad farqi ini adalah tiga alif. Sebagaimana mad lazim di atas. Bahkan bacaan ini bisa juga disebut mad lazim. Selain dapat disebut sebagai mad lazim, dari segi cara membacanya mad farqi ini juga dapat dibaca tashil.18
2.Mad Lain ( مَدْ لَيْنْ )
Selain terdapat wawu sukun yang jatuh setelah huruf yang berharakat dhamah, alif yang jatuh setelah huruf yang berharakat fathah dan ya` sukun yang jatuh setelah huruf yang berharakat kasrah, yang kemudian disebut mad thabi'i, di dalam al-Qur'an juga terdapat lafadl yang di dalamnya ada wawu dan ya` sukun yang jatuh setelah huruf yang berharakat fathah, dan jika dibaca waqaf maka akan terdapat dua huruf mati berkumpul, sebagaimana dalam mad 'aridh li al-sukun. Lafadl tersebut misal-nya seperti:
قُرَيْشٍο, وَالصَّيْفِο, هَذَا اْلبَيْتِο
مِنْ خَوْفٍο, لِمَنِ اْلمُلْكُ الْيَوْمَ قلى مَثَلُ السَّوْءِ
Lafadl-lafadl dalam contoh di atas, jika dibaca waqaf, harus dibaca panjang. Dan jika dibaca washal, harus dibaca pendek. Sehingga dapat dikatakan, jika dibaca waqaf lafadl-lafadl tersebut termasuk bacaan mad, dan jika dibaca washal bukan termasuk bacaan mad. Untuk mendapat-kan kesempurnaan dalam membaca lafadl-lafadl tersebut, kita harus membacanya dengan halus dan hati-hati. Berangkat dari cara pengucapan yang demikian, selanjutnya mad ini disebut mad lain.19
Panjang bacaan mad lain ini boleh satu, dua maupun tiga alif. Adapun yang utama adalah satu alif (kebalikan dari mad 'aridh li al-sukun). Hal penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan mad lain ini adalah, bahwa bacaan 'U' dan 'I' tidak boleh berubah menjadi 'O' dan 'E'. Misalnya, lafadl بَيْنَ harus dibaca BAINA, tidak boleh dibaca BAENA. Dan lafadl الْيَوْمَ harus dibaca AL-YAUMA, tidak boleh dibaca AL-YAOMA.
Dan penting pula untuk diketahui, bahwa panjang pendeknya lafadl-lafadl tersebut dalam pembacaannya, adalah bergantung pada apakah lafadl-lafadl tersebut dibaca waqaf atau washal. Bukan karena keberadaan-nya di akhir ayat dan atau diikuti tanda waqaf, atau tidak. Artinya, sungguhpun tidak di akhir ayat dan atau tidak diikuti oleh tanda waqaf, jika dalam sebuah lafadl terdapat fathah yang kemudian diikuti oleh wawu dan ya` sukun dan jika lafadl tersebut dibaca waqaf berarti akan berkumpul dua sukun (sukunnya wawu dan ya` serta sukunnya lafadl tersebut karena dibaca waqaf), maka lafadl tersebut harus dibaca panjang. Itulah yang disebut bacaan mad lain. Dengan demikian dapat diketahui pula bahwa huruf lain adalah wawu dan ya` sukun yang jatuh setelah huruf yang berharakat fathah.
Dan tidak boleh dibaca panjang, ketika huruf lain tersebut berada di akhir kata walaupun lafadl tersebut dibaca waqaf. Seperti lafadl:
وَتَوَاصَوْا لَوْ وَاتَّقَوْا لِكَيْ لاَ
3.Mad 'Iwadh ( مَدْ عِوَضْ )
Sering kita jumpai dalam al-Qur'an, sebuah lafadl yang diakhiri oleh huruf yang berharakat fathah tanwin. Seperti lafadl:
أََفْوَاجًاο تَوَّابًاο ضَبْحًاο
مَاءً بِنَاءًصلى سَوَاءًقلى
Lafadl-lafadl tersebut jika dibaca waqaf, maka harakat fathah tanwinnya harus diganti dengan harakat fathah (biasa, bukan tanwin) dan harus dibaca panjang satu alif. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Sehingga menjadi:
أََفْوَاجَاο تَوَّابَاο ضَبْحَاο
مَائاَ بِنَائاَصلى سَوَائاَقلى
Karena --dalam pembacaannya-- terjadi pergantian (pertukaran) harakat, maka selanjutnya lafadl yang demikian dinamakan bacaan mad 'iwadh.20 Jika lafadl-lafadl tersebut tidak dibaca waqaf maka fathah tanwinnya tetap (dibaca tanwin), dan (tentunya) tidak boleh dibaca panjang.
4.Mad Badal ( مَدْ بَدَلْ )
Di antara lafadl-lafadl dalam al-Qur'an, terdapat juga lafadl yang mana sebelum huruf mad thabi'i adalah huruf hamzah. Seperti lafadl:
ءَامَنُوْا إِيْمَانًا أُوْتُوْا ءَادَمَ
Lafadl-lafadl di atas berasal dari lafadl:
ءَأْمَنُوْا إِأْمَانًا أُأْتُوْا ءَأْدَمَ
Dengan demikian, lafadl-lafadl di atas mengalami pergantian huruf. Yaitu huruf hamzah --yang kedua-- diganti dengan huruf mad dengan disesuaikan pada harakat yang ada pada huruf hamzah --pertama--. Sebagaimana mad 'iwadh, karena terjadi pergantian --dari huruf hamzah menjadi huruf mad-- inilah selanjutnya lafadl yang demikian dinamakan mad badal.21 Dan karena adanya pergantian yang demikian, maka lafadl tersebut kemudian menjadi seperti mad thabi'i. Sehingga panjang bacaan mad badal ini juga seperti mad thabi'i, yaitu satu alif.
Antara mad 'iwadh dan mad badal tersebut sama-sama terjadi proses pergantian dalam pembacaannya. Akan tetapi tidak ada makna atau maksud signifikan (yang berarti) dibalik pemilihan nama dari kedua mad. Terutama jika dikaitkan dengan cara membaca. Karena kedua-duanya memiliki panjang bacaan yang sama, yaitu satu alif.
5.Mad Muqaddar ( مَدْ مُقَدَّرْ )
Huruf mad --yang berupa alif-- adakalanya ditulis dalam mushaf dan adakalanya tidak. Ketika huruf mad tersebut tidak ditulis dalam mushaf maka sebagai gantinya fathah sebelum huruf mad tersebut ditulis dalam bentuk berdiri. Bahkan penulisan demikian (dengan fathah berdiri) terkadang menjadi bentuk yang baku. Artinya fathah berdiri tersebut tidak diperboleh-kan untuk diganti dengan alif, walaupun ketika dibaca keduanya sama. Seperti lafadl:
الله ُ, الرَّحْمنِ, إِلهٌ الأخِرَةُ
Ketika huruf mad diwujudkan dalam bentuk harakat berdiri, maka panjang bacaannya sama dengan ketika ditulis dengan disertai alif. Dengan demikian, dalam pembacaan ini terjadi pemerkiraan (proses mengira-ngira). Yaitu fathah berdiri dikira-kirakan panjangnya dengan fathah miring yang diikuti alif. Karena terjadi proses mengira-ngira dan dalam bahasa Arab mengira-ngira adalah muqaddar, selanjutnya lafadl yang demikian dinamakan mad muqaddar (mad yang dikira-kirakan). Contoh:
اْلعلَمِيْنَ, ملِكِ, ذلِكَ أَغْني سَيَصْلى
Jika setelah mad muqaddar tersebut ada huruf hamzah yang berada dalam satu lafadl, maka panjangnya dikira-kirakan (disamakan) juga dengan (panjangnya) mad wajib muttashil. Seperti lafadlأُولئِكَ . Begitu juga ketika hamzah tersebut berada di lain lafadl, panjang bacaannya juga disamakan dengan panjangnya bacaan mad jaiz munfashil. Contoh:
بَلى إِنَّ رَبَّهُ ثُمَّ اسْتَوى اِلىَ فَتَلَقّى آدَمُ
6.Mad Shilah ( مَدْ صِلَةْ )
Banyak terdapat dalam al-Qur'an, lafadl yang diikuti (diakhiri) oleh ha` dlamir mufrad mudzakkar (kata ganti laki-laki tunggal). Ha` dlamir tersebut berharakat dlamah dan kasrah. Adakalanya ha` tersebut harus dibaca panjang (satu alif) dan adakalanya harus dibaca pendek (satu harakat). Pembacaan yang demikian berangkat dari ketentuan masing-masing. Adapun ketentuan tersebut antara lain:
a.Dibaca panjang:
Jika huruf sebelum dan sesudah ha` dlamir tersebut hidup (tidak berharakat sukun). Contoh:
لَمْ يَكُنْ لَه كُفُوًا مَالُه وَمَا إِنًّه كَانَ
فَأَثَرْنَ بِه نَقْعًا لِرَبِّه لَكَنُوْدٌ وَأُمِّه وَأَبِيْهِ
Akan tetapi, ada beberapa lafadl yang mengandung ha` yang jatuh setelah huruf hidup, dan ha` tersebut harus dibaca pendek. Lafadl-lafadl tersebut antara lain:
يَرْضَهُ لَكُمْ (الزُّمَرْ 39 :7)
مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا (هُوْدْ 11: 91)
فَوَاكِهُ (الْمُؤْمِنُوْنْ 23: 19)
تَنْتَهِ (الشعراء 26: 167, مريم 19: 46)
Dalam tiga contoh terakhir, ha` harus dibaca pendek adalah karena ha` tersebut bukan ha` dlamir. Tetapi ha` yang merupakan huruf yang menjadi bagian dari masing-masing lafadl tersebut. Untuk lafadl terakhir (تَنْتَهِ), selain dari yang diangkat sebagai contoh, terdapat juga dalam surat lain. Dan semuanya harus dibaca pendek.
b.dibaca pendek:
Jika setelah ha` dlamir berupa huruf mati, baik huruf sebelum ha` dlamir tersebut hidup maupun mati. Contoh:
لَهُ الرَّحْمنُ فَاَخَذَهُ اللهُ اَنْ جَاءَهُ اْلأَعْلَى
أتَاهُ اللهُ فَأَرَاهُ اْلأيَةَ وَاتَيْنَاهُ الْحُكْمَ
لِأَهْلِهِ امْكُثُوْا بِهِ اْلأَرْضَ عَلى عَبْدِهِ اْلكِتَابَ
فِيْهِ اْلقُرْآنُ يَأْتِيْهِ اْلمَوْتُ فِيْهِ اْلقُلُوْبُ
Jika sebelum ha` dlamir berupa huruf mati atau huruf yang berharakat sukun. Contoh:
عَنْهُ وَيَرْزُقْهُ أَنْزَلْنَاهُ
فِيْهِ عَلَيْهِ وَيَتَّقْهِ
Dalam hal ini ada pengecualian. Artinya, dalam al-Qur'an terdapat sebuah lafadl yang mengandung ha` dlamir, yang mana huruf sebelumnya adalah mati (berharakat sukun), akan tetapi ha` dlamir tersebut harus dibaca panjang satu alif (menurut Imam Hafs dan Imam Ashim). Lafadl tersebut terdapat dalam QS. al-Furqan 25:69, juz 19: فِيْه مُهَاناً.
Penting juga dimengerti, bahwa jika huruf mati sebelum ha` dlamir tersebut berupa ya` maka ha` dlamir tersebut harus berharakat kasrah. Sebagaimana contoh di atas. Kecuali dua lafadl yang masing-masing terdapat dalam QS. al-Fath 48:10, juz 26 dan al-Kahfi 18:63, juz 15. Dalam ayat tersebut terdapat lafadl yang mengandung ha` dlamir yang jatuh setelah ya` mati, tetapi ha` dlamir tersebut dibaca dlamah.
عَلَيْهُ اللهُ وَمَآاَنْسَانِيْهُ
Dalam segi penulisan --dalam mushaf-- biasanya, untuk dlamah yang dibaca panjang harakatnya ditulis terbalik, dan yang dibaca pendek ditulis biasa (miring). Sementara untuk kasrah, yang dibaca panjang ditulis berdiri dan yang dibaca pendek ditulis biasa (miring). Namun untuk naskah al-Qur'an cetakan terkini, terutama terbitan Timur Tengah, maupun al-Qur'an digital (al-Qur'an yang dimasukkan dalam computer) memiliki cara tersendiri dalam menulis bacaan panjang tersebut.
Cara tersebut adalah: untuk dlamah, harakatnya ditulis biasa tetapi setelah ha` diberi huruf wawu kecil. Begitu juga dengan kasrah. Kasrah ditulis biasa dan setelah ha` diberi ya` kecil. Pemberian wawu dan ya` kecil tersebut, bukan berarti menambah (mengubah) al-Qur'an. Di satu sisi, hal itu memang merupakan metode atau cara yang ditempuh penulis --al-Qur'an-- untuk meng-isyaratkan bacaan panjang. Di sisi lain, memang dalam beberapa program computer, dimana al-Qur'an sekarang dicetak, tidak tersedia fasilitas fathah dan kasrah berdiri serta dlamah terbalik. Sehingga cara tersebut dijadikan alternatif. Dan terlepas dari itu semua, memang pada hakekatnya yang disebut al-Qur'an (wahyu Allah) adalah bacaannya bukan tulisannya. Karena al-Qur'an diturunkan dalam bentuk bacaan.
Ha` dlamir yang dibaca panjang, sebagaimana dijelaskan di atas, karena dibaca panjang selanjutnya disebut mad shilah. Karena panjang-nya mad shilah tersebut adalah batas terpendek bagi bacaan mad, yaitu satu alif, dan istilah pendek dalam bahasa Arab adalah قَصِيْرٌ, selanjutnya mad shilah tersebut dinamakan mad shilah qashirah (مَدْ صِلَةْ قَصِيْرَةْ). Sungguhpun mad shilah qashirah ini dibaca panjang, akan tetapi jika dibaca waqaf ha`nya menjadi mati. Contoh:
يَكُنْ لَهُو ← يَكُنْ لَهْ مَالُهُو ← مَالُهْ
فَأَثَرْنَ بِهِى← فَأَثَرْنَ بِهْ لِرَبِّهِى ← لِرَبِّهْ
Di antara mad shilah tersebut ada yang setelahnya berupa huruf hamzah. Seperti misalnya:
عِنْدَهُو إِلاَّ وَثَاقَهُو اَحَدٌ وَذُرِّيَّتَهُو اَوْلِيَآءَ
مِنْ دُوْنِهِى إِلهاً اَوْبِهِى أَذًى مُلْكِهِى أَنْ يَأْتِيَكُمْ
Mad shilah sebagaimana dalam contoh di atas harus dibaca lebih panjang dari mad shilah qashirah. Jika mad shilah qashirah dibaca panjang satu alif, maka mad shilah yang ini dibaca lebih panjang lagi. Yaitu dua atau dua setengah alif. Sebagaimana mad jaiz munfashil. Karena dibaca panjang --dan karena dalam bahasa Arab panjang adalah طَوِيْلٌ-- selanjutnya mad shilah ini disebut mad shilah thawilah (مَدْ صِلَةْ طَوِيْلَةْ). Sekaligus sebagai konsekuensi dari penyebutan mad shilah qashirah sebelumnya. Sungguh memiliki panjang lebih dibanding mad shilah qashirah, jika dibaca waqaf maka mad shilah thawilah huruf ha`nya juga dibaca sukun (mati) sebagaimana mad shilah qashirah. Sehingga dari contoh di atas, jika dibaca waqaf maka akan menjadi:
عِنْدَهْ وَثَاقَهْ عَذَابَهْ
بِهْ اَوْبِهْ مُلْكِهْ

DIKOTOMI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Dikotomi adalah kasus yang tidak asing lagi bagi dunia pendidikan Islam. Selama berabad-abad, sejak menjelang runtuhnya Dinasti Abbasiyyah, pengutamaan ilmu-ilmu agama di atas ilmu-ilmu umum menghiasi institusi-institusi pendidikan Islam. Sehingga proses pendidikan yang diselenggarakan tidak mampu memberikan solusi bagi problem kehidupan (dunia) yang semakin kompleks, sekaligus tidak mampu melahirkan manusia yang siap menghadapi masa depan dengan segala konsekuensinya. Sebagai implikasi, Islam berada jauh di belakang kelompok lain bahkan menjadi agama yang termarjinal dalam kancah kehidupan. Begitu besar ekses yang ditimbulkan oleh sistem ini, maka upaya untuk melacak akar munculnya dikotomi sangat menarik bagi sejumlah ilmuwan. Karya-karya ilmiah mengenainya sejak lama telah bermunculan, bahkan beberapa di antaranya telah dipublikasikan. Namun kesimpulan yang mereka tarik tidak selamanya sama. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor penyebab dikotomi selalu terbuka untuk diteliti dan diperdebatkan. Itulah yang mengilhami penulis untuk ikut serta dalam melakukan penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan sosio-historis. Metode dan pendekatan ini berhubungan dengan perkembangan atau evolusi masyarakat dalam aturan kronologis yang tepat yang berdasarkan sejarah, otentik, nyata, faktual dan bukan legenda atau fiksi. Yang selajutnya digunakan untuk mengkaji tentang interaksi sosial masyarakat muslim pada masa klasik, terutama dalam relevansinya dengan pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Penelitian ini telah mengungkap bahwa, aliran agama yang dijadikan dasar bagi keberagamaan umat, terutama pada masa Daulah Bani Abbasiyah, turut menentukan dan mewarnai proses pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Tiga aliran besar yang berkembang pada masa Bani Abbasiyyah, yaitu Mu'tazilah, Syi'ah (Ismâ'îliyah), dan Sunni, telah membuktikan pengaruhnya tersebut. Sehingga apa yang menjadi doktrin dari aliran-aliran tersebut, terefleksi dalam pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Mu'tazilah misalnya, sebagai aliran rasional telah mengilhami munculnya ilmu-ilmu yang berbasis rasio. Demikian juga Syi'ah (Ismâ'îliyah), rasionalitas yang diadopsi dari aliran Mu'tazilah, menjadikan aliran ini sebagai pengembang ilmu-ilmu rasional yang telah ditumbuhkan sebelumnya. Dan Sunni --yang karena tampil lebih akhir pada masa kejayaan Islam sehingga menjadi aliran yang terbesar-- yang pengaruhnya bukan hanya dirasakan oleh mereka yang hidup pada awal tampilnya, akan tetapi hingga kini masih dirasakan oleh sebagian besar umat Islam di seluruh dunia. Sehingga pendidikan Islam yang berlangsung hingga kini pun tidak bisa terlepas dari aliran ini.
Pemikiran ortodoks-konservatif yang diwarisi aliran ini (baca: Sunni) dari ulama'-ulama' ortodoks, dikembangkan oleh mayoritas tokohnya di awal-awal bangkitnya, di penghujung pemerintahan Bani Abbasiyyah, pada paroh kedua abad XI, dengan dukungan para penguasa Dinasti Saljuk yang memegang kendali kekhalifahan Bani Abbasiyyah ketika itu, bahkan ia menjadi kredo bagi mayoritas kelompok Sunni ketika itu. Sikap anti rasional dan penentangan terhadap ilmu-ilmu yang berbasis rasio yang dulu dikumandangkan kelompok ortodok, sekarang mendapatkan kemenangannya melalui aliran Sunni. Beberapa ilmuwan Sunni pada masa ini membatasi terhadap kajian ilmu-ilmu umum. Hal itu tampak dalam pendirian beberapa madrasah yang hanya mengajarkan kajian ilmu-ilmu agama.
Dalam kaitan ini, implikasi madrasah Nidlâmiyah yang didirikan penguasa Sunni, dan memiliki prestise tinggi serta menjadi standar bagi madrasah-madrasah yang lain, tidak bisa dielakkan. Pemberlakuan kurikulumnya yang didominasi oleh ilmu-ilmu agama yang kemudian diikuti oleh madrasah-madrasah lain merupakan indikasi bagi termarjinalkannya ilmu-ilmu umum dalam institusi pendidikan Islam. Sekurang-kurangnya, dalam hal ini madrasah Nidlâmiyah turut mempercepat dan melestarikan praktik dikotomi yang berlangsung di institusi-institusi di zamannya dan sesudahnya.
Sehingga penelitian ini menemukan beberapa faktor, yang saling mendukung, bagi munculnya praktik dikotomi dalam praksis pendidikan Islam. Faktor-faktor tersebut antara lain, pertama, sistem pemikiran ortodoks-konservatif yang dikembangkan oleh sejumlah ulama' Sunni, sehingga menjadi kredo bagi mayoritas pengikut Sunni. Kedua, adanya fanatik madzhab, yang merupakan tradisi yang berlangsung selama masa Abbasiyyah. Ketiga, pemberlakuan kurikulum yang didominasi ilmu-ilmu agama pada madrasah Nidlâmiyah.

KONSEP PENDIDIKAN DAN INTEGRALITAS ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

A. Pengertian Pendidikan Islam

Pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.1 Atau aktivitas interaktif antara pemberi dan penerima untuk mencapai tujuan baik, dengan cara baik dalam konteks positif.2 Jika kemudian kata (pendidikan) tersebut diikuti dengan kata Islam, maka pengertian sederhananya menjadi pendidikan yang berwarna Islam atau pendidikan yang Islami.3 Atau pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasar Islam, yaitu al-Qur'an dan hadits.4

Sementara pengertian pendidikan Islam secara efektif dan komprehensip serta dapat diterima oleh semua pihak, hingga kini belum dapat diformulasikan. Konferensi Internasional Pendidikan Islam Pertama (First World Conference on Muslim Education) yang diselenggarakan oleh Universitas King Abdul Aziz Jeddah pada tahun 1977 yang sedianya diharapkan dapat merumuskan pengertian pendidikan Islam secara efektif dan komprehensip serta dapat diterima oleh semua pihak justru berarkhir dengan kontroversi. Hal itu disebabkan oleh : 1) banyaknya jenis kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, 2) luasnya aspek yang dibina oleh pendidikan.5

Dalam konferensi tersebut, terdapat tiga kata yang diajukan dan dinilai cukup representatif untuk memaknai pendidikan. Yaitu tarbiyah, ta'lîm dan ta'dîb. Di antara ketiga kata tersebut, tarbiyah merupakan kata yang sering digunakan dalam menunjuk pendidikan di negara-negara Arab, terutama dalam dekade belakangan. Sehingga sering didengar kata-kata Kulliyyah Tarbiyyah, atau Fakultas Tarbiyah dalam konteks Indonesia. Term ini muncul pada perempat abad ke-20, berkaitan dengan gerakan pembaharuan pendidikan di dunia Arab.6 Oleh sebab itu, penggunaan istilah tarbiyah sebagai pendidikan tidak ditemukan dalam referensi-referensi lama. Pada masa lalu pendidikan lebih diidentikkan dengan term ta'lîm, adab dan tahdzîb.

Kata tarbiyah, bagi para pendukungnya, disinyalir berasal dari tiga kata dasar. Yaitu, pertama, rabâ yarbû yang berarti bertambah dan tumbuh, kedua, rabiya yarbâ yang berarti tumbuh dan berkembang, dan ketiga, rabba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara.7 Dalam al-Qur'an, kata ini dijumpai pada surat al-Isrâ' 17 : 24

...وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانيِ صَغِيْرًا.

Artinya: …dan ucapkanlah, Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.

dan dalam surat al-Syu'arâ' 26: 18

قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِيْنَا وَلِيْدًا وَلَبِثْتَ فِيْنَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِيْنَ.

Artinya: Fir'aun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.

Dengan demikian, simpul salah seorang pendukungnya, 'Abdurrahmân al-Nahlawî, pendidikan merupakan proses yang memiliki tujuan, sasaran dan target. Pendidik yang sebenarnya, lanjut al-Nahlawî, adalah Allah, karena Dialah yang mengatur segalanya. Sehingga orang yang bertugas mendidik harus mengikuti hukum-hukum penciptaan dan syari'at yang telah ditetapkan-Nya. Selanjutnya, pendidikan menghendaki penyusunan langkah-langkah sistematis yang harus dilalui secara bertahap oleh berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran.8

Namun pendapat di atas mendapat tentangan keras dari ahli pendidikan al-Azhâr, 'Abdul Fattâh Jalâl. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud tarbiyah dalam surat al-Isrâ' ayat 24 dan al-Syu'arâ' ayat 18 di atas, adalah pendidikan yang hanya berlangsung pada fase pertama pertumbuhan manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak. Masa ini sangat bergantung pada kasih sayang keluarga. Sehingga masa-masa setelah itu tidak lagi termasuk dalam pengertian pendidikan.9 Sanggahan senada juga disampaikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attâs. Beliau mengatakan bahwa kata rabâ dan rabba yang disinyalir sebagai akar kata tarbiyah, juga mengandung arti memberi makan, memelihara, mengasuh, menanggung, mengembangkan, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang, dan menjinakkan. Sehingga penerapannya tidak hanya terbatas pada manusia, tetapi juga spisies-spisies yang lain seperti mineral, tanaman, dan binatang. Di samping itu, istilah tarbiyah tidak secara alami mengandung unsur-unsur essensial, seperti pengetahuan, inteligensi, dan kebajikan, yang justru merupakan unsur-unsur pendidikan yang sebenarnya.10

Selanjutnya ta'lîm. Kata ini menurut Hasan Langgulung, disandarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 31:

وَعَلَّمَ ءَادَمَ اْلاَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلآَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِيْ بِأَسْمَآءِ هؤُلآَءِ إِنْ كُنْتُمْ صدِقِيْنَ (البقرة : ٣١)

Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Âdam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar (QS. al-Baqarah 2: 31)

Di antara tokoh yang menawarkan penggunaan term ini adalah 'Abdul Fattâh Jalâl. Menurutnya,11 konsep-konsep pendidikan yang terkandung di dalam kata ta'lîm, antara lain: pertama, ta'lîm adalah proses pembelajaran secara konsisten, istiqamah, sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan, dan hati. Hal ini didasarkan pada firman Allâh:

وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ (النحل : ٧٨)

Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur (QS. Al-Nahl 16: 78)

Kedua, proses ta'lîm tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah (domain) kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotor dan afeksi. Pengetahuan yang hanya berada pada batas kognisi tidak akan mendorong seseorang untuk mengamalkannya, dan pengetahuan semisal ini biasanya diperoleh atas dasar asumsi atau taqlîd. Pendapat ini didasarkan pada sebuah firman:

كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلاً مِنْكُمْ يَتْلُوْ عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكَّيْكُمْ وَيُعَلَّمُكُمُ اْلكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَالَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ (البقرة: ١٥١)

Artinya: Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah (sunnah), serta mengajar kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (QS al-Baqarah 2: 151)

Kata yatlû 'alaikum dalam firman di atas, oleh Jalâl diartikan bukan hanya membaca secara harfiyah, tetapi lebih luas dari itu, yaitu membaca dengan perenungan, yang sarat dengan pemahaman dan pada gilirannya melahirkan tanggung jawab moral terhadap ilmu yang diperoleh melalui bacaan itu. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap para shahabatnya. Pendidikan yang beliau berikan telah mengantarkan para shahabat menjadi orang yang menjadikan ilmu, perkataan dan prilaku terintegrasi dalam membentuk kepribadian yang kokoh.

Jadi, belajar yang diidentikkan dengan ta'lîm dalam al-Qur'an ini, dalam persepsi Jalâl, bukan hanya pendidikan yang menghasilkan kognisi, tetapi sekaligus afeksi dan psikomotorik. Berbeda dengan arti asal kata ta'lîm itu sendiri, yaitu pengajaran. Dengan sendirinya kata ta'lîm mengandung arti lebih luas dan universal daripada kata tarbiyah dan lebih tepat untuk menunjuk pendidikan.12

Namun, sebagaimana kata tarbiyah, kata ta'lîm juga belum mendapatkan kesepakatan dari para ulama'. Kata ini terlalu sempit untuk menunjuk sebuah aktivitas pendidikan, karena tidak semua ulama' dapat menerima pengartian ta'lîm lebih dari sekedar pengajaran.13

Berbeda dengan kedua tokoh di atas, Syed Naquib al-Attâs mengatakan bahwa term yang cukup representatif untuk menunjuk konsep pendidikan adalah kata ta'dîb. Kata ini disandarkan pada sebuah sabda Nabi:

أََدَّبَنِيْ رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ

Menurutnya, kata ta'dîb merupakan mashdar dari kata kerja addaba yang berarti pendidikan. Dari kata addaba ini muncullah kata adabun, yang berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakekat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakekat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun rohaniah seseorang.14

Berdasarkan pengertian tersebut, al-Attâs mendefinisikan pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut. Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa pendidikan menurut Islam adalah usaha agar orang mengenali dan mengakui tempat Tuhan dalam kehidupan.15

Berangkat dari kontroversi di atas, maka dalam rekomendasi konferensi tersebut, para peserta hanya membuat kesimpulan bahwa pengertian pendidikan menurut Islam ialah keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah tarbiyah, ta'lîm, dan ta'dîb.16 Sebagai konsekuensi, belakangan lahirlah definisi pendidikan Islam yang sangat variatif, sebagaimana yang dihimpun oleh Samsul Nizar.17

Menurut al-Syaibany, pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat. Menurut Fâdhil al-Jamaly, pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak peserta didik untuk hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatannya. Menurut Ahmad Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.

Menurut M. Arifin, sebagaimana dikutip Moh. Shofan, pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.18 Menurut Zakiah Daradjat pendidikan Islam adalah usaha dan kegiatan yang dilakukan dalam rangka membentuk kepribadian muslim.19

Menurut Zuhairini, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikirkan, memutuskan, dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.20 Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.21

Sementara Hery Noer Aly berpandangan bahwa pendidikan Islam adalah usaha berproses yang dilakukan manusia secara sadar dalam membimbing manusia menuju kesempurnaan berdasarkan Islam.22





B. Tujuan Pendidikan Islam

Sebagai usaha sadar dan terencana, pendidikan sudah barang tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut pada hakekatnya merupakan realisasi nilai-nilai ideal yang diinginkan dalam pribadi manusia., Menurut Ahmad Marimba,23 tujuan memiliki empat fungsi, pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha. Setiap usaha pasti memiliki permulaan dan akhir. Adalah sia-sia jika suatu usaha tidak berakhir pada sebuah tujuan. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha. Tanpa adanya arah, maka diyakini sebuah usaha akan mengalami distorsi dan tidak efisien.

Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lainnya, baik tujuan lanjutan maupun tujuan baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari satu segi tujuan itu membatasi ruang gerak usaha. Keempat, tujuan berfungsi memberi nilai (sifat) pada usaha itu. Seperti lebih mulia, lebih luhur, lebih luas dari usaha lainnya, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rumusan setiap tujuan selalu disertai dengan nilai-nilai yang hendak diusahakan perwujudannya. Dan nilai-nilai ini tentu saja bermacam-macam, sesuai dengan pandangan yang merumuskannya, subyektif. Jika yang merumuskan tujuan tersebut orang Islam yang taat dan luas wawasan keislamannya misalnya, tentu saja ia akan memasukkan nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Islam yang dianutnya, begitu dan seterusnya.

Selain memiliki fungsi, dalam konteks Islam, tujuan pendidikan juga memiliki karakteristik dan aturan-aturan tertentu yang membedakannya dengan pendidikan lain. Al-Syaibani misalnya, memberikan empat ciri pokok tujuan pendidikan Islam yang paling menonjol, yaitu : 1) sifat yang bercorak agama dan akhlak, 2) sifat komprehensif yang mencakup segala aspek pribadi pelajar (subjek didik), dan semua aspek perkembangan dalam masyarakat, 3) sifat keseimbangan, kejelasan, tidak adanya pertentangan antara unsur-unsur dan cara pelaksanaannya, dan 4) sifat realistik dan dapat dilaksanakan. Penekanan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku dan kehidupan, memperhitungkan perbedaan-perbedaan perorangan di antara individu, masyarakat dan kebudayaan di mana-mana dan kesanggupan untuk berubah dan berkembang bila diperlukan.24

Dengan demikian, lanjut al-Syaibani, prinsip-prinsip umum yang sangat penting yang mendasari tujuan pendidikan Islam meliputi : 1) prinsip menyeluruh, komprehensip, 2) keseimbangan dan kesederhanaan, 3) kejelasan, 4) tidak ada pertentangan, 5) realistik dan dapat dilaksanakan 6) perubahan yang diingini menerima perubahan dan perkembangan dalam rangka metode-metode keseluruhan yang terdapat dalam agama.25

Menurut Abuddin Nata,26 ciri-ciri tujuan pendidikan Islam antara lain :

  1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.

  2. Mengarahkan manusia agar seluruh tugas kekhalifahannya dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.

  3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak menyalahguna-kan fungsi kekhalifahannya.

  4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa, dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan; yang semuanya dapat dipergunakan untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.

  5. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Menurut Hasan Langgulung, tujuan pendidikan agama (Islam) harus mampu mengakomodasi tiga fungsi utama dari agama. Yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan akidah dan iman; fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individual, termasuk nilai-nilai akhlak yang mengangkat derajat manusia ke derajat yang lebih sempurna; dan fungsi sosial yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia lain atau masyarakat, di mana masing-masing menyadari hak-hak dan tanggung jawabnya untuk menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang.27

Menurut M. Arifin,28 tujuan pendidikan Islam harus berlandaskan pada tiga dimensi idealitas Islami. Pertama, dimensi yang mengandung nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia. Dimensi nilai kehidupan ini mendorong kegiatan manusia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia ini agar menjadi bekal atau sarana bagi kehidupan di akhirat. Kedua, dimensi yang mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang membahagiakan. Dimensi ini menuntut manusia untuk tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki, tetapi kemelaratan atau kemiskinan dunia harus diberantas, sebab kemelaratan duniawi bisa menjadi ancaman yang menjerumuskan manusia kepada kekufuran.

Ketiga, dimensi yang mengandung nilai yang dapat memadukan (mengintegrasikan) antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi. Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia.

Menurut Muhaimin, perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakekat pendidikan yang meliputi beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain : 1) tujuan dan tugas hidup manusia, 2) memperhatikan sifat-sifat dasar manusia, yakni sebagai khalifah, 3) tuntutan masyarakat, dan 4) dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam.29 Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi tujuan dasar pendidikan Islam adalah : 1) untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, 2) persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat, 3) persiapan untuk mencari rizqi dan pemeliharaan segi kemanfaatan, 4) menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu, dan 5) menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis dan perusahaan supaya ia menguasainya agar dapat mencari rizqi dan mendapatkan kemuliaan dalam hidup di samping memelihara kerohanian dan keagamaan.30

Dari beberapa karakteristik dan aturan-aturan tertentu tentang tujuan pendidikan tersebut, selanjutnya para tokoh merumuskan tujuan pendidikan Islam dengan sangat variatif. Hal ini diakui Kartini Kartono, bahwa tujuan pendidikan itu bermacam-macam sesuai dengan yang dikehendaki. Di antaranya : dalam rangka menjadikan manusia utama dan bijaksana, menjadi warga negara yang baik, menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, bisa hidup sejahtera, bahagia, dan seterusnya.31

Sementara menurut al-Attas tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia yang baik. Menurut Ahmad Marimba, adalah terbentuknya orang yang berkepribadian muslim. Menurut Munir Mursyi, adalah lahirnya manusia yang sempurna, al-insân al-kamîl, yaitu manusia yang antara lain: 1) bahagia di dunia dan akherat, 2) menghambakan diri kepada Allah 3) memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat Islam, dan 4) akhlak mulia. Menurut Quthb, adalah lahirnya manusia yang taqwa. Menurut 'Abdul Fattâh Jalâl, adalah untuk mewujudkan manusia sebagai hamba Allah.32

Menurut Ali Ashraf, adalah untuk menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, yakni spiritual, intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Sedangkan tujuan akhirnya adalah penyerahan mutlak pada Allah pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.33

Senada dengan Munir Mursyi di atas, Zakiah Daradjat mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya insan kamil, yaitu manusia yang utuh rohani dan jasmaninya, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah swt.34 Menurut M. Arifin, adalah mewujudkan manusia yang menghambakan diri pada Allah.35 Sementara Amir Faisal,36 menawarkan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut :

  1. Membentuk manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah mahdhah.

  2. Membentuk manusia muslim yang mampu melaksanakan ibadah, muamalah dalam kedudukannya sebagai seorang individu maupun anggota masyarakat dalam lingkungan tertentu.

  3. Membentuk warga negara yang bertanggung jawab kepada masyarakat dan bangsanya dalam rangka bertanggung jawab kepada Allah sebagai penciptanya.

  4. Membentuk dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan cukup terampil untuk memungkinkan memasuki tekno-struktur mayarakatnya.

  5. Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu agama dan ilmu-ilmu Islami lainnya.

Adapun kongres pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad menetapkan bahwa pendidikan Islam harus ditujukan ke arah pertumbuhan yang berkeseimbangan dari kepribadian manusia yang menyeluruh melalui latihan spiritual, kecerdasan dan rasio, perasaan dan panca indra. Tujuan terakhir pendidikan terletak dalam sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat dan pada tingkat kemanusiaan pada umumnya.37

Sedangkan dalam wacana Muzhoffar Akhwan,38 tujuan pendidikan Islam diklasifikasikan menjadi tujuan individu, tujuan sosial dan tujuan peradaban. Tujuan individual meliputi : realisasi pertumbuhan akal dan intelek, keilmuan, daya kreatif dan penalaran, ideologi dan keyakinan, aspek spiritual, nilai moral dan kemasyarakatn serta pertumbuhan aspek menejerial. Tujuan sosial meliputi : pembentukan semangat beraqidah Islamiyah, berakhlak terpuji, ukhwah Islamiyah dan solidaritas kemanusiaan, kesadaran akan kesatuan kehidupan umat dan kepentingan umum, tunduk kepada sistem Islam, komitmen terhadap Islam, semangat sosial Islami, saling menyayangi, menyintai dan melindungi berdasarkan Islam, saling tolong-menolong dan amar ma'rûf nahi munkar, berjihad untuk menjaga dan membela keutuhan umat dalam berdakwah, maju dalam sains dan peradaban.

Tujuan peradaban adalah untuk mencapai peradaban melalui pembangunan unsur material (pertanian, perniagaan, industri, pembangunan fisik), unsur spiritual (ideologi, akhlak, sains dan adab) dan unsur stuktural serta perundang-undangan (keluarga, masyarakat dan negara)

Formulasi-formulasi tujuan pendidikan Islam tersebut,39 pada hakekatnya adalah sama. Setidaknya persamaan tersebut tampak pada bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk merealisasikan tujuan hidup manusia, yaitu untuk beribadah (mengabdi) pada Allah. Yang mana hal ini telah ditegaskan Allah :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ (الذاريات ٥٦)

Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku (QS. al-Dzâriyât 56)

Selain itu, karena di satu sisi manusia berkedudukan sebagai khalifah Allah di bumi (baca QS. al-Baqarah ayat 30) yang harus mengemban amanat (baca QS al-Ahzâb ayat 72), maka ia harus memelihara berbagai potensi yang ada di dalam dirinya. Sementara di sisi lain, ia merupakan makhluk pedagogik dan makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan serta lingkungan. Maka, tidak mungkin ia dapat menjalankan peranan idealnya tanpa memiliki cukup pengetahuan yang berkaitan dengan peranan itu serta kemauan dan kemampuan untuk menjalankannya.

Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam pada dasarnya adalah membimbing dan mengantarkan manusia dalam meraih keberhasilan hidup di dunia serta meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup di akhirat kelak. Sebagaimana telah disinyalir Allah :

وَابْتَغِ فِيْمَآ اتكَ اللهُ الدَّارَ اْلآخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ... (القصص ٧٧)

Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi …(QS. Al-Qashash 28 : 77)

Serta ajaran doa dalam al-Qur'an :

رَبَّناَ اتِنَا فىِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفىِ اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (البقرة٢۰١)

C. Konsep Dasar Pendidikan Islam

Sebagai langkah awal untuk mengerti suatu konsep, definisi kiranya dapat digunakan. Namun, untuk mengetahui konsep sebagaimana mestinya, definisi selalu tidak representatif. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan bahasa dan kemampuan intelektual untuk merumuskan definisi, di samping subyektivitas perumus itu sendiri. Demikian Muhammad Noor Syam, sebagaimana dikutip Hery Noer Aly.40 Selain definisi, tujuan juga tidak bisa diabaikan dalam menentukan sebuah konsep. Karena (memang) tujuanlah yang mengarahkan dan menentukan pembentukan sebuah konsep. Dalam konteks pendidikan Islam, tujuan pendidikan merupakan entitas yang ada dalam definisi itu sendiri, sehingga tidak dapat dipisahkan.

Dengan demikian, konsep pendidikan dalam Islam dapat digali dari definisi pendidikan Islam itu sendiri. Karena, hasil konferensi tahun 1977 memutuskan bahwa pengertian pendidikan menurut Islam ialah keseluruhan pengertian yang terkandung di dalam istilah tarbiyah, ta'lîm, dan ta'dîb; yang menurut Hery Noer Aly dapat dirumuskan sebagai usaha berproses yang dilakukan manusia secara sadar dalam membimbing manusia menuju kesempurnaan berdasarkan Islam, maka dari situlah konsep dasar pendidikan Islam ditarik.

Berangkat dari definisi tersebut, dapat dijelaskan konsep dasar pendidikan Islam, yaitu :

  1. Usaha. Pendidikan adalah usaha, yaitu suatu aktivitas mengerahkan ke-mampuan untuk mencapai tujuan. Dalam pendidikan tentunya terdapat hambatan, karena itulah diperlukan usaha. Selain itu, suatu usaha tentunya memiliki tujuan. Karena adanya tujuan inilah yang membedakan antara manusia dengan ibnatang.

  2. Kemanusiaan. Pendidikan merupakan sesuatu yang khas bagi manusia, dan karenanya tidak diterapkan kepada ibnatang maupun tumbuh-tumbuhan. Ini sesuai dengan tabiat risalah Islam yang memang diperuntukkan bagi umat manusia.41

  3. Perkembangan. Yang diperlukan pendidikan terhadap manusia ialah mengembangkannya untuk menjadi pribadinya, bukan menjadi yang di luar pribadinya. Di sini implisit konsep Islam tentang manusia seutuhnya; bukan hanya makhluk jasmani, melainkan juga makhluk rohani dengan potensi berpikir dan berperasaannya. Dengan konsep ini dapat dibedakan antara pendidikan dan pengajaran, antara mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan dan memberi tahu seseorang apa yang belum diketahuinya.

  4. Proses. Perkembangan mengandung arti perubahan demi perubahan. Karenanya pendidikan merupakan usaha yang berproses, dilakukan mulai runtutan aktivitas langkah dan tahap demi tahap, bukan usaha sekali jadi. Mendidik berarti melibatkan diri dalam proses. Dan berpendidikan berarti mengalami proses pendidikan.

  5. Bimbingan . Tidak semua proses perkembangan diri manusia itu disebut pendidikan. Proses kematangan organis dan kemunculan daya-daya manusia dari potensial menjadi aktual adalah proses perkembangan. Namun, proses itu bukan pendidikan manakala tidak diarahkan, dibimibng, dan dibentuk. Dengan demikian bimbingan merupakan konsep lain yang mesti ada dalam pendidikan.

  6. Oleh manusia. Agen yang dimaksud adalah manusia. Proses pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. Lingkungan alam, pergaulan dengan teman-teman, dan berbagai peristiwa memang bisa berpengaruh terhadap perkembangan seseorang. Namun pengaruh itu baru bernilai pendidikan apabila diciptakan seseorang untuk mempengaruhi perkembangan orang lain. Pengaruh itu juga bernilai pendidikan apabila seseorang memanfaatkannya bagi perkembangan dirinya, dan usaha ini disebut pendidikan oleh diri sediri, self education. Apa yang dikatakan al-Nahlawi bahwa Allah adalah pendidik yang sebenarnya, tidak termasuk dalam pengertian pendidikan menurut konsep ini.

  7. Secara sadar. Pendidikan bukan suatu usaha yang berlangsung menurut insting. Dalam pendidikan harus ada kesengajaan atau niat mendidik dari pendidik. 42

Adanya konsep dasar pendidikan dalam Islam tersebut, sekaligus menolak statemen yang menyatakan bahwa Islam tidak memiliki konsep pendidikan, yang didasarkan pada realitas sejarah, bahwa Islam selalu menerima dan berasimilasi serta beradaptasi bahkan mengadopsi sistem dan lembaga kependidikan dari lingkungan sosial budaya dan peradaban masyarakat yang dijumpainya.43 Terhadap tuduhan tersebut, Sayyid Hossein Nashr memberikan penjelasan dengan mengatakan, bahwa dalam proses integrasi dan adaptasi tersebut, Islam tidak pernah kehilangan sama sekali identitas dan karakteristik dasarnya. Bahkan sebaliknya, kemudian tejadi proses Islamisasi terhadap sistem dan kelembagaan serta lingkungan sosial budaya yang dimasukinya itu sedemikian rupa sehingga berkembang menjadi sistem dan lingkungan sosial budaya yang Islami, dan hilang identitas serta karakteristik lamanya.44

Kemampuan mengadopsi dan mengadakan Islamisasi tersebut, tegas Muhaimin, menunjukkan bahwa Islam mempunyai prinsip dan pandangan serta konsep tersendiri tentang berbagai aspek dari sistem kehidupan sosial budaya masyarakat, termasuk di dalamnya konsep dan wawasan kependidikan. Dengan kata lain, Islam mempunyai konsep dan wawasan serta prinsip-prinsip tersendiri tentang pendidikan, setidaknya dalam bentuk konsep dan prinsip-prinsip dasar.45

D. Integralitas Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Islam dinyatakan Allah sebagai agama rahmah li al-'âlamîn (baca QS. al-Anbiyâ' 21: 107). Jika selanjutnya Islam diyakini mengandung seperangkat aturan dan nilai, maka, sebagai konsekuensi, aturan dan nilai Islam meliputi segala yang ada di alam ini. Dan --secara intrinsik-- aturan dan nilai tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan fitrah manusia dari pengaruh hawa nafsunya yang cenderung berbuat kejelekan (baca QS. al-Rûm 30 : 30). Telah disepakati umat Islam bahwa aturan dan nilai tersebut tersusun dalam al-Qur'an dan hadits Nabi (kecuali sebagian kecil yang tidak mengakui keberadaan hadits sebagai sumber hukum utama).46 Dengan demikian, untuk mengetahui ajaran, bimbingan maupun pesan-pesan moral Islam sudah barang tentu harus merujuk pada keduanya.

Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, terutama mengenai ontologi (apa yang harus dipelajari) maupun aksiologi (untuk apa dipelajari) dalam proses pendidikan, Islam dengan tegas memberikan ajaran dan paradigmanya. Dalam aksiologi umpamanya, statemen di atas (baca: Islam agama rahmah li al-'âlamîn) cukup menjadi jawaban. Yang secara singkat dapat diformulasikan sebagai, untuk mencapai keselamatan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat. Dua hal yang sangat diharapkan oleh setiap manusia untuk dapat diraihnya. Dalam al-Qur'an dua hal tersebut disinyalir dalam sebuah doa yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 20.

رَبَّناَ اتِنَا فىِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفىِ اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (البقرة٢۰١)

Dalam kasus ontologi, sudah jelas merupakan konsekuensi logis dari aksiologi di atas. Artinya, jika ingin mendapatkan keselamatan di dunia, ajaran dasar Islam membimbing agar manusia mempelajari ilmu keduniaan (umum). Dan jika ingin mendapatkan kebahagiaan hidup di akherat, hendaknya manusia mempelajari ilmu keakheratan (agama) Diyakini tanpa adanya ajaran dan bimbingan tentang kehidupan dunia, manusia tidak akan dapat meraih keselamatan dan kesuksesan di dunia. Begitu juga sebaliknya, mereka tidak mungkin dapat meraih keselamatan dan kebahagiaan di akhirat jika tidak dibekali dengan pengetahuan keakhiratan. Sehingga dalam Islam, ilmu (pengetahuan) dipandang sebagai suatu yang integral. Baik ilmu agama maupun ilmu umum harus dikuasainya.

Namun kasus selanjutnya adalah, apakah ajaran Islam yang ada dalam al-Qur'an dan hadits menyentuh segala sesuatu (baik tentang keberagamaan, terutama tentang keduniaan) sehingga darinya dapat ditarik ilmu pengetahuan, atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, di bawah ini penulis paparkan beberapa ayat-ayat dalam al-Qur'an dan hadits.

QS. al-Baqarah ayat 164:

اِنَّ فىِ خَلْقِ السَّموَاتِ وَاْلاَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِىْ تَجْرِيْ فىِ الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآاَنْزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَآءِ مِنْ مَآءٍ فَاَحْيَا بِهِ اْلاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِْيهَا مِنْ كُلِّ دَآبَّةٍ صلى وَتَصْرِيْفِ الرِّيحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَآءِ وَاْلاَرْضِ لَايةٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ (البقرة ١٦٤)

Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkannya. (QS. Al-Baqarah 2 : 164)

QS. al-Anbiya' 80-81

وَعَلَّمْنهُ صَنْعَةَ لَبُوْسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ اَنْتُمْ شَاكِرُوْنَ . وَلِسُلَيْمنَ الرِّيْحَ عَاصِفَةً تَجْرِيْ بِاَمْرِهِ آِلىَ اْلاَرْضِ الَّتِيْ برَكْنَا فِيْهَا وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْئٍ عَالِمِيْنَ

Arinya : Dan telah Kami ajarkan kepada Dawud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu, maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah). Dan (telah Kami tundukkan) untuk sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Mahamengetahui segala sesuatu.

QS. al-Kahfi 18: 95-96

قَالَ مَامَكَّنِّيْ فِيْهِ رَبِّي خَيْرٌ فَاَعِيْنُوْنِيْ بِقُوَّةٍ وَاجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا . اتُوْنِيْ زُبَرَ الْحَدِيْدِ قلى حَتَّى اِذَا سَاوى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوْا قلى حَتَّى اِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ اتُوْنِيْ اُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا

Artinya: Dzulqurnain berkata : "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.

berilah aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqurnain: "Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu".

QS. al-Rahman 55: 33

يمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّموَاتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْا قلىلاَ تَنْفُذُوْنَ اِلاَّ بِسُلْطَانٍ

Artinya: Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.

Sementara dalam hadits, sebagaimana diriwayatkan oleh Imâm Abû Dâwûd Nabi Muhammad saw. bersabda:

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فىِ إِنَاءِ اَحَدِكُمْ فَامْقُلُوْهُ فَإِنَّ فىِ اَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفىِ اْلأُخْرَ شَفَاءً وَاِنَّهُ يَتَّقِى بِجَنَاحِهِ الَّذِى فِيْهِ الدَّاءُ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ (رواه أبو داوود عن ابى هريرة)47

Artinya : Ketika seekor lalat jatuh di dalam bejana salah seorang dari kalian maka benamkanlah, sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lain terdapat obat. Sesungguhnya lalat berlindung pada sayapnya yang mengandung penyakit maka benamkanlah semuanya.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجَالِبُ مَرْزُوْقٌ وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُوْنٌ (رواه ابن ماجه عَنْ عمر بن الخطاب)

Artinya: Dari Umar ibn Khaththab dia berkata Rasulullah saw bersabda: orang yang mengedarkan dagagan diberi rizki dan orang yang menimbunnya dilaknat



Ayat pertama di atas mendeskripsikan masalah alam semesta (kosmologi).48 Ayat-ayat semacam ini di dalam al-Qur'an, menurut sebagian ulama', berjumlah sekitar 750.49 Penciptaan langit misalnya, dapat dilihat juga dalam al-Mulk 67: 3, penciptaan bumi dan silih bergantinya siang dan malam dapat dilihat juga dalam QS. al-Ra'd 13: 3, bumi dan gunung dapat dilihat juga dalam QS. Qâf 50: 7-8, laut dapat dilihat juga dalam QS. Yûnus 10: 22, hujan dapat dilihat juga dalam QS. al-Baqarah 2: 22, hujan (dan kilat) dapat dilihat dalam QS. al-Rûm 30: 24, binatang dapat dilihat juga dalam QS. al-Nahl 16: 5-6, QS. Hûd 11: 6, angin dapat dilihat juga dalam QS. al-Hijr 15: 22.

Ayat kedua memperbincangkan masalah teknologi. Dalam konteks ayat tersebut, Allah mengajari Nabi Dawud a.s. tentang pembuatan baju pelindung yang dapat digunakan dalam pertempuran. Ia (baca: Nabi Dawud a.s.) dilimpahi pengetahuan tentang cara membuatnya, ia memperoleh knowhow. Begitu juga Nabi Sulaiman a.s., Allah telah menundukkan angin baginya sehingga ia dapat melawan dengan dorongannya ke negeri di sekitarnya. Ia memperoleh teknologi pengendalian tenaga angin, sekaligus dapat memanfaatkannya. Teknologi yang diberikan kepada kedua Nabi tersebut, begitu Achmad Baiquni, dapat difahami dan langsung dipergunakan, karena tidak terlalu jauh dari tingkat kebudayaan umat mereka pada waktu itu.50

Ayat ketiga memperbincangkan masalah arsitektur, yang dalam ayat tersebut al-Qur'an menggambarkan betapa Dzulqurnain telah membangun dinding yang amat kokoh dengan menggunakan batang-batang besi dan logam tembaga cair. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan Achmad Baiquni, ia telah memperoleh pengetahuan teknologi sipil dan metalurgi yang juga siap pakai, karena tidak jauh dari tingkatan kebudayaan umat manusia pada saat itu.51

Ayat terakhir memperbincangkan masalah penjelajahan angkasa luar. Dalam ayat tersebut Allah merangsang jin dan manusia untuk dapat menerobos ke segenap penjuru langit dan bumi dengan melibatkan sesuatu yang tingkatannya berada jauh di atas kemampuan pengetahuan manusia pada saat ayat tersebut diturunkan, meskipun faktor yang menentukan keberhasilannya diberitakan kepada mereka sekaligus. Dalam abad-abad yang lalu umat Islam hanya dapat meraba serta menerka saja jawabannya. Namun pada abad XX, demikian Achmad Baiquni,52 mereka telah melihat bagaimana teknologi propulasi roket dan pengendalian elektronis yang canggih telah berhasil mengantarkan manusia sampai ke permukaan bulan dan mengembalikannya ke bumi, serta mengirimkan pesawat-pesawat antariksa, yang masing-masing mempunyai misi tertentu, ke planet-planet dalam tata surya. Sungguhpun bukan buku teknologi peroketan atau aerodinamika, namun ayat tersebut telah mengungkapkan faktor penentu tersebut.

Sedangkan hadits pertama di atas memperbincangkan masalah kesehatan. Dalam konteks di atas, lalat difahami sebagai identik dengan hal-hal yang menjijikkan, karenanya hanya membawa mudharat jika hinggap pada makanan dan minuman. Namun virus bufaj yang sangat berbahaya yang dibawa oleh lalat tersebut, obat penawarnya ada pada lalat itu sendiri. Sementara hadis kedua memperbincangkan perekonomian, yakni bagaimana merancang sistem perekonomian yang saling menguntungkan.

Berangkat dari deskripsi masing-masing ayat dan hadits di atas, dapat digeneralisir bahwa al-Qur'an dan hadits telah memberikan kajiannya terhadap ilmu umum. Selain ayat-ayat dan hadits-hadits di atas, masih banyak ayat maupun hadits lain (yang memperbincangkan hal lain pula) yang tidak penulis paparkan karena beberapa keterbatasan. Namun hal itu tidak berarti bahwa semua problem kehidupan di alam ini --termasuk di dalamnya segala yang berkenaan dengan manusia-- terhimpun secara rinci dalam kedua sumber pokok ajaran tersebut. Karena bagaimanapun juga, al-Qur'an dan hadits diwahyukan pada masa tertentu yang terbatas ruang dan waktu. Dan seringkali turunnya dilatarbelakangi oleh kasus tertentu yang terjadi di saat itu, yang tentunya berbeda dengan kasus-kasus yang terjadi pada masa-masa setelahnya. Karena setiap masa memiliki kasusnya sendiri-sendiri. Berangkat dari sinilah akhirnya realitas tersebut difahami secara kontroversial oleh para ilmuwan muslim.

Sementara diskursus Islam dalam ilmu agama, baik al-Qur'an maupun hadits menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan jalan yang harus ditempuh manusia dalam mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak-Nya. Jalan tersebut selanjutnya dikenal dengan term syari'ah. Menurut Fazlur Rahman, konsep syari'ah bahkan sangat penting dan komprehensif untuk menggambarkan Islam sebagai suatu fungsi.53 Sehingga ayat tentang syari'ah (yang selanjutnya diidentifikasi sebagai ilmu agama) sangat banyak ditemukan dalam al-Qur'an maupun hadits, bahkan lebih banyak daripada ayat tentang ilmu umum.54

Dalam konteks ilmu umum sebagaimana telah disinggung di atas, sungguhpun al-Qur'an telah mensinyalir bahwa pada hakekatnya ia diturunkan untuk menjelaskan segala sesuatu (dan karenanya ia mengandung segala ilmu pengetahuan), petunjuk, rahmat serta kabar gembira (baca: QS. al-Nahl 16: 89), akan tetapi hal itu difahami oleh para ilmuwan secara kontroversial. Sebagai implikasi, konklusi yang mereka tarik pun menunjukkan adanya kontroversi. Al-Ghazali (1059-1111 M.) misalnya, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, berkesimpulan bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur'an al Karîm. Sementara al-Imâm al-Syâthibi mengatakan, bahwa para shahabat tentu lebih mengetahui al-Qur'an dan apa-apa yang tercantum di dalamnya; tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa al-Qur'an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.55

Kontroversi tersebut pada akhirnya dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok pendapat. Begitu Munawir Sadzali sebagaimana dikutip oleh Malik Fajar.56 Keempat pendapat tersebut antara lain, pertama, mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ajarannya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Ia mengatur dari permasalahan yang paling kecil hingga permasalahan-permasalahan kenegaraan, kemanusiaan, sistem ekonomi dan lain-lain, termasuk juga masalah pendidikan. Kedua mengatakan bahwa Islam hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Sedangkan urusan-urusan keduniaan, termasuk pendidikan, manusia diberi hak otonomi untuk mengaturnya berdasarkan kemampuan akal budi yang diberikan kepada mereka.

Ketiga mengatakan bahwa Islam bukanlah sistem kehidupan yang praktis dan baku, melainkan sistem nilai dan norma (perintah dan larangan) yang secara dinamis harus dipahami dan diterjemahkan berdasarkan setting sosial dan dimensi ruang dan waktu tertentu. Karena itu, secara praktis, dalam al-Qur'an tidak terdapat sistem ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya secara tersurat dan baku. Keempat mengatakan bahwa Islam adalah petunjuk hidup yang menghidupkan. Islam tidak memberikan petunjuk kepada semua aspek kehidupan manusia yang bersifat baku dan operasional. Karena hal ini akan mematikan kreativitas dan memasung kebebasan manusia. Yang diberikan petunjuk secara rinci dan operasional oleh Islam hanyalah hal-hal tertentu yang dianggap khusus, krusial, dan memang tidak memerlukan kreativitas pemikiran manusia.

Dari keempat pendapat tersebut, menurut asumsi penulis, dua pendapat terakhir lebih dapat diterima. Terhadap kedua pendapat tersebut, selanjutnya para ilmuwan sepakat, bahwa perwujudan detailnya merupakan tanggung jawab manusia. Sebagaimana dijelaskan Seyyed Hossein Nasr, bahwa al-Qur'an mengandung benih dan prinsip semua pengetahuan. Untuk menemukan prinsip ini seseorang harus menghayati arti yang sebenarnya dari umm al-kitâb, dan kemudian menemukan dasar, bukan detail pengetahuan.57 Atau sekurang-kurangnya dapat dilihat dari, adakah jiwa ayat-ayat al-Qur'an yang menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan, atau adakah satu ayat al-Qur'an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan.58

Sebagaimana terhadap al-Qur'an, berangkat dari hadits di atas, selanjutnya para ilmuwan juga mengeneralisir dan mengakui bahwa di samping sebagai sumber tasyri', hadits juga merupakan sumber pengetahuan. Yûsuf al-Qardlawiy dalam hal ini mengatakan sungguhpun tidak secara implisit, hadits telah banyak menyampaikan pesannya tentang ilmu pengetahuan dan hakekat-hakekat kepribadian jiwa, sosial, pendidikan, ekonomi, dan kemanusiaan.59 Ungkapan senada juga disampaikan oleh Muh. Zuhri. Menurutnya hadits Nabi memberikan porsi bagi berbagai aspek kehidupan. Seperti masalah sosial, politik, ekonomi, hukum, fisika, sejarah, dan sebagainya di samping berkomunikasi dengan Allah atau ritual.60

Dengan demikian, sebagaimana disimpulkan Omar Mohammad al-Thoumi al-Syaibany, Islam adalah agama yang merangkul ilmu, menganggap suci orang-orang pandai, dan apa yang mereka temukan dalam fakta-fakta wujud dan rahasia alam jagat ini.61 Begitu juga pendapat al-Attas, sebagaimana dijelaskan Wan Mohd, bahwa Islam adalah agama yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Penyangkalan terhadap posibilitas dan obyektivitas ilmu pengetahuan akan mengakibatkan hancurnya fondasi dasar yang tidak hanya menjadi akar bagi agama, tetapi juga bagi semua jenis sains.62

Hal tersebut sangat logis manakala ditengok lagi wahyu pertama (QS. al-'Alaq ayat 1-5) yang diturunkan kepada seorang ummi, Muhammad. Kata pertama pada wahyu tersebut adalah iqra'. Dalam wacana Quraish Shihab,63 kata tersebut terambil dari akar kata yang memiliki arti menghimpun. Dan dari menghimpun ini selanjutnya lahir aneka makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Selain itu, wahyu pertama tersebut tidak menjelaskan apa yang harus dibaca; hal ini mengindikasikan bahwa al-Qur'an menghendaki umat Islam membaca apa saja yang dapat dijangkau, selama bacaan tersebut bermanfaat bagi kemanusiaan, bi ismi rabbik.64

Berangkat dari realitas tersebut, sangat tepat jika Charles Michael Stanton menyimpulkan, bahwa al-Qur'an mengandung semua kebenaran dan pengetahuan, pertama, prinsip-prinsip semua pengetahuan --tidak termasuk rinciannya-- ada dalam al-Qur'an; dan kedua, al-Qur'an dan hadits mendefinisikan lingkungan dan nilai-nilai yang inheren dalam pengembangan ilmu pengetahuan.65 Tuhan, makhluk dan pengetahuan, lanjut Stanton, adalah satu kesatuan yang dapat dipelajari sebagai bagian-bagian terpisah dengan menggunakan akal.

Fenomena ini telah membawa umat Islam menjadi umat yang terbaik, khaira ummat, umat yang memiliki peradaban tinggi, bahkan tertinggi, dalam perjalanan sejarah manusia. Namun evidensi ini berbalik seiring dengan runtuhnya kemegahan dan kekuasaan Abbasiyah. Bahkan hingga kini prediket khaira ummat terlalu jauh untuk disandarkan pada umat Islam. Adalah karena mereka memahami Islam sebagai identik dengan akhirat, sehingga mereka alergi dengan pengetahuan umum. Mempelajari pengetahuan umum diasumsikan sebagai keluar dari koridor ibadah (tidak berpahala) atau di luar konteks perintah Allah.

Berangkat dari integralitas ilmu (umum dan agama) dalam al-Qur'an dan hadits tersebut, sangat bijaksana para ilmuwan muslim dalam menyimpulkan ilmu pengetahuan yang harus diketahui umat Islam. Ibnu Sina (980-1037 M.) misalnya, sebagaimana dijelaskan HM. Arifin,66 membedakan ilmu menjadi dua jenis. Yaitu, pertama, ilmu nadhary (teoritis) yang meliputi ilmu alam dan matematika. Dan kedua, ilmu amaly (praktis). Termasuk ke dalam ilmu ini adalah ilmu akhlak dan politik. Ilmu teori tersebut, jelas M. Arifin, dalam konteks sekarang banyak sekali, hampir semua ilmu pengetahuan pada zaman modern sekarang memiliki bidang teoritis masing-masing, yang kemudian menimbulkan ilmu yang diamalkan (applied science).

Menurut Ibnu Khaldun (1332-1406 M), masih dalam ulasan M. Arifin,67 ilmu diklasifikasi menjadi tiga macam, yaitu : a) ilmu lisan, yaitu ilmu lughah, nahwu, bayan dan sastra (adab). b) Ilmu naqly, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunah Nabi. Termasuk ke dalam ilmu ini adalah ilmu membaca al-Qur'an, tafsir, hadits, ushul fiqh. c) Ilmu aqly, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir atau kecerdasannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk ke dalam ilmu ini adalah manthiq (logic), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik, hitung sosiologi.

Al-Ghazaly,68 tokoh sufi sekaligus ilmuan kontroversial yang dianggap sebagai tokoh pemarjinal ilmu umum dalam praksis pendidikan Islam berkaitan dengan doktrinnya, membagi ilmu kepada tiga macam. 1) Ilmu tercela. Ilmu ini tidak berguna baik di dunia maupun di akherat. Ilmu ini dimisalkan seperti ilmu sihir, nujum dan ilmu perdukunan. 2) Ilmu terpuji, seperti ilmu tauhid, ilmu agama. 3) Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh didalami karena dapat membawa kepada kegoncangan iman dan ilchad, kufur. Misalnya ilmu filsafat.

Ketiga macam ilmu tersebut, dilihat dari segi kepentingannya, dibagi menjadi dua, yaitu ilmu yang fardhu (wajib) diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu agama, yang bersumber dari kitab suci. Dan ilmu yang merupakan fardhu kifâyah untuk dipelajari setiap muslim. Ilmu ini adalah ilmu yang dipergunakan untuk memudahkan urusan dunia. Seperti matematika, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian, ilmu industri dan lain-lain.69

Pendapat al-Ghazali di atas mengindikasikan pentingnya ilmu umum, sungguhpun semasa hidupnya beliau hanya me-fardhu kifayah-kan. Menurut hemat penulis, penekanan ini bersifat kondisional, yakni bergantung pada kondisi dan konteks. Jadi, fardhu kifayah tersebut bisa menjadi sebuah kewajiban kolektif atau kewajiban bersama. Atau dalam bahasa Noeng Muhadjir, menjadi wajib kifayah, wajib menyebar ke seluruh bidang keahlian, karena kondisi keberagamaan yang dihadapi manusia.70

Menurut Ibnu Taimiyah,71 pengetahuan dalam Islam dibagi menjadi dua bagian : pertama, pengetahuan tentang segala yang ada (al-ilm bi al-kâ'inât), kedua, pengetahuan agama (al-ilm bi al-dîn). Berkenaan dengan pengetahuan tentang segala yang ada, dalam epistemologinya, Ibnu Taimiyah cenderung kepada aliran kritisisme. Menurutnya pengetahuan atau kebenaran hanya dapat diperoleh melalui pengamatan indra, tajribah (empirisme), selanjutnya, hasil pengamatan tersebut diolah oleh akal.

Sementara, pandangan Ikhwân al-Shafâ tentang ilmu dalam Islam dapat dilihat pada kurikulum yang ditawarkannya, sebagaimana disimpulkan oleh fredrich Dieterici dalam kutipan Stanton.

Disipilin-disiplin umum: tulis-baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra, ilmu tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang dan keterampilan tangan, jual-beli, komersial, pertanian dan peternakan, serta biografi dan kisah-kisah.

Ilmu-ilmu agama : ilmu al-Qur'an, tafsir, hadits, fiqh, dzikir, zuhud, tasawuf dan syahadah.

Ilmu-ilmu filosofis : matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika; ilmu alam dan antropologi; zat, bentuk, ruang, waktu, dan gerakan; kosmologi; produksi, peleburan dan elmen-elmen; meteorologi dan minerologi; esensi alam dan manifestasinya; botani, zoologi; anatomi dan antropologi; persepsi indrawi; embriologi; manusia sebagai mikrokosmos; perkembangan jiwa; tubuh dan jiwa; perbedaan bahasa-bahasa (filologi); psikologi; teologi-doktrin esoteris Islam, susunan alam spiritual; serta ilmu tentang alam ghaib.72

Terlepas dari perspektif representatif dan adanya perbedaan persepsi terhadap signifikan sebuah ilmu, pengetahuan dalam Islam telah disimpulkan oleh beberapa ilmuwan muslim yang memiliki bakgroun berbeda-beda, baik dalam bentuk klasifikasi maupun tawaran kurikulum. Dan hasilnya menunjukkan bahwa dalam Islam ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang esensial dan integral, tanpa ada indikasi pemarjinalan. Konsekuensi logisnya, meninggalkan salah satu dari keduanya merupakan sebuah kepincangan. Bahkan suatu penyimpangan dari petunjuk yang dibawa al-Qur'an, yang diakui mempunyai soliditas yang sangat tinggi, bahkan oleh kalangan non-muslim sendiri.73 Atau dengan kata lain --dengan meminjam bahasa Einsteins-- dapat dikatakan, ilmu tanpa agama adalah lumpuh sedangkan agama tanpa ilmu adalah buta.74



1 Lihat Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (tk, Difa Publisher, tt), hlm. 254.

2 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif, (Yogyakarta: Reke Sarasin, 2000), hlm. 4. Beberapa definisi lain tentang pendidikan dapat dilihat dalam Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, ­(Jakarta: Logos, 1999), hlm. 2, H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 13-14

3 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2001), hlm. 24

4 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2002), hlm. 29

5 Begitu sekurang-kurangnya Ahmad Tafsir berasumsi. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam …, hlm. 26

6 Begitu pendapat Muhammad Munir Mursy sebagaimana dikutip Hery Noer Aly. Lihat Hery Noer Aly Ilmu Pendidikan …, hlm. 4

7 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam … , hlm. 29. Lihat juga Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan …, hlm. 4

8 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan …, hlm. 5

9Abdul Fattah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali (Bandung: CV Diponegoro, 1988), hlm. 28-29

10 Ibid..Lihat juga Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan …, hlm. 6-7

11 Abdul Fattah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali (Bandung: CV Diponegoro, 1988), hlm. 31-33

12 Lihat Abdul Fattah Jalal, Azas-azas Pendidikan …, hlm. 27

13 Lihat Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000), hlm. 4

14 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam …, hlm. 29

15 Ibid.

16 Ibid., hlm. 28

17 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 31-32

18 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma …, hlm. 51

19 Zakiah Daradjad, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 28

20 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 152

21 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam…, hlm. 32

22 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan …, hlm. 13

23 Lihat Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 45-46, lihat juga Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma …, hlm. 55

24 Omar Mohammad al-Thoumi al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1979), hlm. 436-443

25 Ibid. hlm. 437-443

26 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan …, hlm. 53-54

27 Ibid., hlm. 46

28 M. Arifin, Filsafat Pendidikan …, hlm. 120

29 Baca selengkapnya Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 153-154

30 Lihat Omar Mohammad al-Thoumi al-Syaibany, Filsafat Pendidikan …, hlm. 416-417

31 Lihat Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma …, hlm. 55-56

32 Menurut Ahmad Tafsir tiga pendapat pertama tersebut bersifat umum. Sedangkan pendapat terakhir menurut Abdul Fattah Jalal akan mewujudkan tujuan-tujuan khusus. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan …, hlm. 46-49, Bandingkan Muhaimin, Paradigma Pendidikan …., hlm. 48

33 Lihat Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 2

34 Zakiah Daradjad, Ilmu Pendidikan …, hlm. 29

35 M. Arifin, Filsafat Pendidikan …, hlm. 119

36 Lihat Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma …, hlm. 63.

37 M. Arifin, Filsafat Pendidikan …, hlm. 132

38 Muzhoffar Akhwan, "Karakteristik, Tujuan, dan Sasaran Pendidikan Islam", dalam Muslih Usa dan Aden Wijdan, Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 39

39 Formulasi lain dapat dibaca Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam…, hlm. 156-166

40 Ibid., hlm. 3

41 Lihat pendapat al-Attâs ketika mengkritik penggunaan term tarbiyah. Bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang khas bagi manusia, sedangkan tarbiyah digunakan juga untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan.

42 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan …, hlm. 11-13

43 Muhaimin, Paradigma Pendidikan …, hlm. 31, Lihat juga Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma …., hlm. 37

44 Muhaimin. Paradigma Pendidikan …, hlm. 31

45 Ibid.

46 Diskursus tentang kelompok ingkar sunnah dapat dibaca Lattief Muchtar, "Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam: Tinjauan Ontologis dan Epistemologis", dalam Yunahar Ilyas dan M. Mas'udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), hlm. 114-118

47 Abû Dâwûd Sulaimân bin Asy'ats al Sijistani al Azdi, Sunan Abû Dâwûd, jld. 3 (Beirut: Dâr al Fikr, tt), hlm. 365

48 Dalam hal ini Ahmad Baiquni mengatakan bahwa al-Qur'an menjelaskan tentang kejadian alam semesta dan berbagai proses kealaman lainnya, tentang penciptaan makhluk hidup, sungguhpun al-Qur'an bukan buku pelajaran kosmologi atau biologi atau sains. Lihat Achmad Baiquni, "Sains dan Teknologi dalam Perspektif al-Qur'an", dalam Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar (ed.), Pendidikan dalam Perspektif al-Qur'an, (Yogyakarta: LPPI UMY), hlm. 106. Bandingkan M. Quraish Shihab, Mu'jizat al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 165-166

49 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 441

50 Achmad Baiquni, "Sains dan Teknologi dalam Perspektif al-Qur'an", dalam Yunahar Ilyas, Muhammad Azhar (ed), Pendidikan dalam Perspektif al-Qur'an, (Yogyakarta: LPPI UMY), hlm. 106

51 Ibid. hlm. 107

52 Ibid. hlm. 107-108

53 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 2003), hlm. 140

54 Kiranya tidak perlu bagi penulis untuk menunjukkan maupun membuktikan tentang adanya pandangan al-Qur'an maupun hadits terhadap ilmu agama.

55 Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 41.

56 Lihat A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hlm. 27-30

57 Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam Antara Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, (Yogyakarta: Pusaka, 2001), hlm. 29

58 Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, hlm. 41.

59 Yûsuf al-Qardlawiy, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 189-190

60 Lihat Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadits: Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta: LEFSI, 2003), hlm. 156

61 Omar Mohammad al-Thoumi al-Syaibany, Filsafat Pendidikan…, hlm. 261

62 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail, Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 122

63 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 433. Lihat juga M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an., hlm. 167

64 Muhaimin menjelaskan bahwa obyek yang harus dibaca adalah fenomena kauniyah (alam) dan qur'aniyah (wahyu). Yang pertama selanjutnya melahirkan ilmu kealaman (umum) seperti biologi, sosiologi, fisika dan lain-lain; dan yang kedua melahirkan ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqh dan lain-lain. Lihat Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam…, hlm. 83

65 Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos, 1994), hlm. 121

66 M. Arifin, Filsafat Pendidikan …, hlm. 90

67 Ibid., hlm. 91. Berbeda dengan M. Arifin, Warul Walidin dalam bukunya yang diangkat dari sebuah disertasi dengan judul Konsep Pedagogik Ibn Khaldun, menyatakan bahwa ilmu menurut Ibnu Khaldun secara umum diklasifikasikan menjadi dua, yaitu naqliyah (textual) dan aqliyah (rasional). Lihat Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun: Perspektif Pendidikan Modern, (Aceh: Nadiya Foundation, 2003), hlm. 218

68 Diskursus tentang ilmu keislaman dalam perspektif al-Ghazali, antara lain dapat dilihat dalam A. Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, (Departemen Agama RI: Derektorat Perguruan Tinggi Islam, 2003) hlm. 17

69 Yang dikehendaki dengan fardhu kifayah di sini adalah sebagaimana fardhu kifayah yang diterapkan dalam kaidah hukum yang lain. Yaitu kaum muslim gugur kewajibannya manakala salah seorang atau lebih dari mereka telah melaksanakan kewajiban tersebut.

70 Noeng Muhadjir, Mengkonstruk Filsafat Pendidikan Islam, makalah pada mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam, PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, hlm. 1

71 Lihat Loekman S. Thahir, "Epistemologi Ibn Taimiyyah" dalam Abdul Munir Mulkhan (ed.), Studi Islam dalam Percakapan Epistemologis, (Yogyakarta: Sipres, 1999), hlm. 9

72 Charles Michael Stanton Pendidikan Tinggi…, hlm. 56-57

73 Begitu Syafi'i Maarif. Lihat Ahmad Syafi'i Maarif, "Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Bangsa", dalam Muslih Usa dan Aden Wijdan S Z Pendidikan Islam …, hlm. 64

74 Lihat A.M. Saefuddin et al., Deskularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 24