Minggu, 30 November 2008

DIKOTOMI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Dikotomi adalah kasus yang tidak asing lagi bagi dunia pendidikan Islam. Selama berabad-abad, sejak menjelang runtuhnya Dinasti Abbasiyyah, pengutamaan ilmu-ilmu agama di atas ilmu-ilmu umum menghiasi institusi-institusi pendidikan Islam. Sehingga proses pendidikan yang diselenggarakan tidak mampu memberikan solusi bagi problem kehidupan (dunia) yang semakin kompleks, sekaligus tidak mampu melahirkan manusia yang siap menghadapi masa depan dengan segala konsekuensinya. Sebagai implikasi, Islam berada jauh di belakang kelompok lain bahkan menjadi agama yang termarjinal dalam kancah kehidupan. Begitu besar ekses yang ditimbulkan oleh sistem ini, maka upaya untuk melacak akar munculnya dikotomi sangat menarik bagi sejumlah ilmuwan. Karya-karya ilmiah mengenainya sejak lama telah bermunculan, bahkan beberapa di antaranya telah dipublikasikan. Namun kesimpulan yang mereka tarik tidak selamanya sama. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor penyebab dikotomi selalu terbuka untuk diteliti dan diperdebatkan. Itulah yang mengilhami penulis untuk ikut serta dalam melakukan penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan sosio-historis. Metode dan pendekatan ini berhubungan dengan perkembangan atau evolusi masyarakat dalam aturan kronologis yang tepat yang berdasarkan sejarah, otentik, nyata, faktual dan bukan legenda atau fiksi. Yang selajutnya digunakan untuk mengkaji tentang interaksi sosial masyarakat muslim pada masa klasik, terutama dalam relevansinya dengan pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Penelitian ini telah mengungkap bahwa, aliran agama yang dijadikan dasar bagi keberagamaan umat, terutama pada masa Daulah Bani Abbasiyah, turut menentukan dan mewarnai proses pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Tiga aliran besar yang berkembang pada masa Bani Abbasiyyah, yaitu Mu'tazilah, Syi'ah (Ismâ'îliyah), dan Sunni, telah membuktikan pengaruhnya tersebut. Sehingga apa yang menjadi doktrin dari aliran-aliran tersebut, terefleksi dalam pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Mu'tazilah misalnya, sebagai aliran rasional telah mengilhami munculnya ilmu-ilmu yang berbasis rasio. Demikian juga Syi'ah (Ismâ'îliyah), rasionalitas yang diadopsi dari aliran Mu'tazilah, menjadikan aliran ini sebagai pengembang ilmu-ilmu rasional yang telah ditumbuhkan sebelumnya. Dan Sunni --yang karena tampil lebih akhir pada masa kejayaan Islam sehingga menjadi aliran yang terbesar-- yang pengaruhnya bukan hanya dirasakan oleh mereka yang hidup pada awal tampilnya, akan tetapi hingga kini masih dirasakan oleh sebagian besar umat Islam di seluruh dunia. Sehingga pendidikan Islam yang berlangsung hingga kini pun tidak bisa terlepas dari aliran ini.
Pemikiran ortodoks-konservatif yang diwarisi aliran ini (baca: Sunni) dari ulama'-ulama' ortodoks, dikembangkan oleh mayoritas tokohnya di awal-awal bangkitnya, di penghujung pemerintahan Bani Abbasiyyah, pada paroh kedua abad XI, dengan dukungan para penguasa Dinasti Saljuk yang memegang kendali kekhalifahan Bani Abbasiyyah ketika itu, bahkan ia menjadi kredo bagi mayoritas kelompok Sunni ketika itu. Sikap anti rasional dan penentangan terhadap ilmu-ilmu yang berbasis rasio yang dulu dikumandangkan kelompok ortodok, sekarang mendapatkan kemenangannya melalui aliran Sunni. Beberapa ilmuwan Sunni pada masa ini membatasi terhadap kajian ilmu-ilmu umum. Hal itu tampak dalam pendirian beberapa madrasah yang hanya mengajarkan kajian ilmu-ilmu agama.
Dalam kaitan ini, implikasi madrasah Nidlâmiyah yang didirikan penguasa Sunni, dan memiliki prestise tinggi serta menjadi standar bagi madrasah-madrasah yang lain, tidak bisa dielakkan. Pemberlakuan kurikulumnya yang didominasi oleh ilmu-ilmu agama yang kemudian diikuti oleh madrasah-madrasah lain merupakan indikasi bagi termarjinalkannya ilmu-ilmu umum dalam institusi pendidikan Islam. Sekurang-kurangnya, dalam hal ini madrasah Nidlâmiyah turut mempercepat dan melestarikan praktik dikotomi yang berlangsung di institusi-institusi di zamannya dan sesudahnya.
Sehingga penelitian ini menemukan beberapa faktor, yang saling mendukung, bagi munculnya praktik dikotomi dalam praksis pendidikan Islam. Faktor-faktor tersebut antara lain, pertama, sistem pemikiran ortodoks-konservatif yang dikembangkan oleh sejumlah ulama' Sunni, sehingga menjadi kredo bagi mayoritas pengikut Sunni. Kedua, adanya fanatik madzhab, yang merupakan tradisi yang berlangsung selama masa Abbasiyyah. Ketiga, pemberlakuan kurikulum yang didominasi ilmu-ilmu agama pada madrasah Nidlâmiyah.

1 komentar:

muchtarch mengatakan...

Yah, kalao begitu kita umat Islam utamanya kalangan santri harus menghilangkan asumsi bahwa ilmu yang dapat menyelamatkan manusia itu hanya ilmu langit saja tetapi harus mengakui bahwa ilmu bumipun bisa menyelamatkan umat manusia dunia akhirat. Dan lebih cantik lagi jika di pesantren dimasukkan kurikulum ilmu terapan semisal fisika, kimia dan biologi. Jadi begitu keluar dari pesantren bahasannya tidak hanya masalah langit saja tetapi juga masalah-masalah keahlian keduniaan. Bukankah luar biasa jika ada alumni pesantren buka usaha bengkel, servic komputer, atau bikin pupuk organik.