Senin, 13 April 2009

POLITIK DAN PEMIMPIN

الْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ اْلاَحَدِ, اْلفَرْدِ الصَّمَدِ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ. نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ اَعْمَالِنَا, مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا وَعَظِيْمِنَا وَقُرَّةِ اَعْيُنِنَا اَحْمَدَ بَعَثَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى كُلِّ رَسُوْلٍ اَرْسَلَهُ اَمَّا بَعْدُ: عِبَادَ اللهِ اُوْصِي نَفْسِي وَاُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَاعْلَمُوْا اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَيِّدُ اْلقَوْمِ خَادِمُهُمْ
Hadirin Jama’ah Jum’at rahimakumullah
Marilah kita senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. dengan terus berusaha menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya.
Shalawat serta salam semoga Allah limpahkan kebangkuan baginda Rasul Muhammad saw, beserta keluarganya, para sahabatnya dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman kelak, termasuk kita yang hadir ini.
Jama’ah Jum’at rahimakumullah
Tidak lama lagi kita akan mengikuti pesta demokrasi bangsa ini, tepatnya insya Allah pada tanggal 9 April mendatang. Di mana kita akan menentukan masa depan bangsa ini sekurang-kurangnya 5 tahun ke depan. Ada 44 partai politik yang ikut meramaikan pemilu besuk. Baik buruknya pemerintahan kita ke depan akan bergantung pada kita, sebagai pemilih. Islam sebagai agama rahmat li al-alamin sangat peduli terhadap masalah ini. Kepedulian ini tampak sekali dari adanya bimbingan, arahan, dan pedoman dalam memilih pemimpin yang sampaikan oleh Islam. Pemimpin yang bagaimanakah yang baik menurut Islam. Ada beberapa ciri pemimpin yang baik yang disampaikan oleh Rasulullah, di antaranya, Rasulullah bersabda:
سَيِّدُ اْلقَوْمِ خَادِمُهُمْ
Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka.
Ciri pertama dari pemimpin yang baik adalah yang mau melayani umat (rakyatnya) dengan baik.
Pemimpin yang minta dilayani, minta dihormati, dan minta diperlakukan secara berbeda, bukanlah ciri pemimpin yang baik.
لَنْ نَسْتَعْمِلَ عَلىَ عَمَلِنَا مَنْ اَرَادَهُ
Kami tidak mengangkat orang yang berambisi kedudukan
Ciri kedua adalah, pemimpin yang memperoleh jabatan bukan karena ambisi, tetapi karena memang dipandang mampu
ثَلاَثٌ مِنَ اْلفَوَاقِرِ, إِمَامٌ إِنْ أَحْسَنْتَ لَمْ يَشْكُرْ وَاِنْ أَسَأْتَ لَمْ يَغْفِرْ, وَجَارٌاِنْ رَأَى خَيْرًا دَفَنَهُ وَاِنْ رَأَى شَرًّا أَشَاعَهُ وَامْرَأَةٌ اِنْ حَضَرَتْ آذَتْكَ, وَاِنْ غِبْتَ عَنْهَا خَانَتْكَ
Ada tiga hal yang termasuk musibah yang membinasakan, 1) Seorang penguasa yang ketika kamu berbuat baik kepadanya, dia tidak berterima kasih, dan ketika kamu berbuat kesalahan dia tidak memaafkannya; 2) Tetangga yang ketika melihat kebaikanmu dia pendam tapi ketika melihat keburukanmu dia sebarluaskan; 3) isteri yang ketika berkumpul dia mengganggumu dan ketika kamu pergi dia mengkhianatimu.
Ciri pemimpin baik yang ketiga adalah, pemimpin yang tahu berterima kasih dan mau memaafkan kesalahan orang lain.
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِي وَاْلمُرْتَشِي وَ الرَّائِشِ بَيْنَهُمَا
Allah melaknat penyuap, penerima suap dan yang memberi peluang bagi mereka.
Ciri keempat adalah, pemimpin yang tidak mau menyuap, tidak mau disuap dan tidak memberi kesempatan bagi terjadinya praktek suap
سَتَكُوْنُ عَلَيْكُمْ اُمَرَاءٌ مِنْ بَعْدِي يَعِظُوْنَ بِالْحِكْمَةِ عِلىَ مَنَابِرَ, فَإِذَا نَزَلُوْا أُخْتُلِسَتْ مِنْهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ اَنْتَنُ مِنَ الْجِيْفِ
Akan datang setelahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijkasana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai.
Ciri kelima adalah, pemimpin yang tidak hanya pandai berorasi dengan mengumbar janji tetapi ketika ada kesempatan dia korupsi.
مِنْ اَخْوَنِ الْخِياَنَةِ تِجَارَةُ اْلوَالىِ فىِ رَعِيَّتِهِ
Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya.
Ciri keenam adalah, pemimpin yang tidak berkhianat. Yaitu, yang tidak menjual rakyat untuk kepentingan pribadi.
Jama’ah Jum’at rahimakumullah
Itulah beberapa ciri pemimipin yang baik, yang telah dijelaskan Rasulullah kepada kita. Lalu bagaimana sikap kita terhadap pemerintah yang terpilih nanti ? Allah SWT dalam surat al-Nisa’ berfirman:
يَآأَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْآ اَطِيْعُوا اللهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولىِ اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul, dan pemegang kekuasaan.
Melalui ayat ini, Allah memerintahkan kita untuk taat kepada-Nya, kepada Rasul-Nya dan kepada pemerintah. Akan tetapi, satu hal yang harus kita kaji kembali dari ayat tersebut adalah, bahwa perintah Allah untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya dalam ayat di atas diikuti lafal ATHII’UU. اَطِيْعُوا اللهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ. Sementara, perintah taat kepada penguasa tanpa diikuti kata ATHII’UU. Bukan وَاَطِيْعُوا َأُولىِ اْلأَمْرِ tetapi وَأُولىِ اْلأَمْرِ. Ini megandung maksud bahwa kewajiban taat kepada Allah dan Rasul adalah mutlak. Kapanpun dan di manapun. Tetapi kewajiban taat kepada pemerintah tidak mutlak, melainkan relatif. Tergantung kebijakan pemerintah itu sendiri. Jika dalam memerintah ia berpegang pada kitab Allah dan sunnah Rasul. Ia menegakkan keadilan, menebarkan kebersamaan dan persaudaraan misalnya, wajib bagi kita mentaatinya. Akan tetapi jika pemerintah berpaling dari kitab Allah dan sunah Rasul-Nya. Mentradisikan kejahatan, menebarkan permusuhan misalnya, maka tidak boleh bagi kita mentaatinya.
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فىِ مَعْصِيَّةِ الْخَالِقِ
Jama’ah Jum’at rahimakumullah
Sebelum khatbah ini kita akhiri mari kita dengarkan pernyataan Rasul berikut.
إِذَا اَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ خَيْرًا وَلَّى عَلَيْهِمْ حُلَمَاءَهُمْ, وَقَضَى بَيْنَهُمْ عُلَمَاؤُهُمْ, وَجَعَلَ الْمَالَ فىِ سُمَحَائِهِمْ. وَإِذَا اَرَادَ بِقَوْمٍ شَرًّا وَلَّى عَلَيْهِمْ سُفَهَاءَهُمْ, وَقَضَى بَيْنَهُمْ جُهَّالَهُمْ, وَجَعَلَ الْمَالَ فىِ بُخَلاَئِهِمْ
Apabila Allah SWT. menghendaki kebaikan bagi suatu kaum maka dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang bijkasana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani hukum dan peradilan, juga Allah jadikan harta benda di tangan orang-orang yang dermawan. Namun jika Allah. menghendaki keburukan bagi suatu kaum maka Dia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang berakhlak rendah, dijadikannya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta benda di tangan orang-orang kikir.
يَآأَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْآ اَطِيْعُوا اللهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولىِ اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فىِ شَيْئٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ, ذلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
بَارَكَ اللهُ لىِ وَلَكُمْ فىِ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ

Kamis, 09 April 2009

Penerapan Hukum Islam di Indonesia (Sebuah Interpretasi Kontemporer terhadap Surat al Maidah ayat 38)

Oleh: Abd. Aziz, M. Ag.

Indonesia termasuk negara yang plural dan majemuk, terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan berbagai pemetakan, seperti organisasi keagamaan, partai politik, lembaga kemasyarakatan bahkan komunitas masyarakat menengah ke atas dan menengah ke bawah. Berangkat dari kepentingan yang berbeda-beda, antara satu dengan lainnya, maka timbullah semacam sekat dan sikap eksklusif, sehingga menimbulkan mental lanaa a’maalunaa wa lakum a’maalukum (bagi kami adalah apa yang kami kerjakan dan apa yang kalian kerjakan adalah untuk kalian).
Berangkat dari realitas di atas, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sangat lamban dalam mengalami perubahan (reformasi). Reformasi yang pernah didengungkan dan diharapkan, berlalu begitu saja bagai mimpi tanpa meninggalkan perubahan signifikan bagi bangsa ini. Mental bersatu dan saling menghormati dalam pemetakan dan penyekatan adalah hal yang pesimis untuk diharapkan.
Realitas ini juga mengindikasikan, bahwa sangat kecil kemungkinan, kalau tidak boleh dikatakan mustahil, apa yang disuarakan oleh komunitas kecil mengenai penggantian ideologi negara dari Pancasila ke ideologi Islam (negara Islam) akan terealisasi. Penggantian ini tidaklah semudah membalik telapak tangan, karena hal ini akan berbenturan dengan ideologi Pancasila yang telah lama menjiwai bangsa ini dan didukung oleh mayoritas.
Sebagai alternatif dari kontroversi ini adalah meng-Islam-kan masyarakat Indonesia dan bukan meng-Islam-kan negara Indonesia, dalam artian menerapkan ajaran-ajaran al-Qur'an dengan konteks ke-kini-an dan ke-Indonesia-an.
Al-Qur'an sebagai kalam Allah yang menjanjikan kebahagiaan di dunia dan akhirat serta menyatakan diri sebagai hudan li al-nas (petunjuk bagi manusia) sekaligus sebagai eksplanator dari petunjuk-petunjuknya, bukanlah sebuah kitab suci yang hanya diperuntukkan dan diberlakukan bagi bangsa Arab dengan alasan karena ia diturunkan di sana. Dalam mengimplementasikan kandungan al-Qur'an dalam kehidupan pada suatu daerah (negara) tidak harus menjadikan negara tersebut menjadi negara Islam yang hukum formalnya al-Qur'an. Karena itu juga bukan perintah al-Qur'an.
Takwil dan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur'an dengan tanpa keluar dari kaidah pentakwilan serta dapat menghasilkan pemahaman kondisional merupakan jalan yang efektif dan akurat. Seperti misalnya pemahaman terhadap surat al-Maidah ayat 38 yang arti tekstualnya “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Hukum yang terkandung, secara tekstual, dalam ayat tersebut, tidak mungkin terimplementasi di Indonesia yang telah mencitakan Kitab Undang-undang sebagai acuan dalam perkara pidana maupun perdata.
Tapi hukum itu bukan tidak berarti bagi bangsa yang berpenduduk mayoritas Islam ini. Kata “Al-Saariqu wa al-saariqatu” yang diartikan “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan” bisa ditakwilkan dengan “koruptor laki-laki dan koruptor perempuan” (pencuri dan koruptor memiliki kesamaan), “Faqtha’uu” yang diartikan “potonglah” bisa ditakwilkan dengan “putuslah atau pecatlah” (seperti ungkapan PHK) dan kata “aidiyahumaa” artinya “tangan keduanya” dapat ditakwilkan dengan “kekuasaan atau jabatan” (sebagian mufassir mentakwilkan kata yadun pada konteks yadullah dengan kekuasaan Allah). Sehingga arti takwil dari ayat tersebut adalah “Para koruptor laki-laki dan para koruptor perempuan, cabutlah jabatannya ......”. Dengan demikian, akan sangat akurat jika pentakwilan seperti itu diterima dan diimplementasikan bagi bangsa ini, tanpa mengubah ideologi bangsa di satu sisi dan tanpa mengesampingkan isi daripada kandungan al-Qur'an yang sangat luas ini, di sisi lain.
Pentakwilan di atas berlaku juga bagi pencuri kelas teri, dengan mentakwilkan kata “Faqtha’uu aidiyahumaa” dengan putuslah kemampuannya dalam artian batasilah kebebasannya (dipenjara), sebagaimana yang telah diberlakukan. Demikian seterusnya.
Selain terhadap ayat di atas, pentakwilan serta interpretasi dapat dilakukan terhadap ayat-ayat lain, karena Kitab yang terdiri dari 114 surat dan 6000 lebih ayat ini merupakan penuntun, bukan penuntut, hidup tidak hanya bagi umat Islam tetapi bagi manusia secara umum (hudan li al-nas) sampai akhir zaman, yang mana tiap-tiap zaman dan tempat memiliki problem sendiri-sendiri yang tentu berbeda antara satu dengan lainnya, sehingga takwil dan interpretasi merupakan konsekuensi.
Demikianlah al-Qur'an, sebuah kitab yang unik, yang setiap sudutnya menyimpan banyak mutiara. Setiap ayatnya dapat diberlakukan bagi setiap komunitas yang berbeda, yang sering diformulasikan dengan term shalih li kulli zaman wa makan, layak pakai bagi tiap masa dan tempat secara elastisitas dan plastisitas. Wa Allah a’lam