Rabu, 03 Desember 2008

KEHIDUPAN DUNIA HANYALAH SEMENTARA
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ اْلإِنْسَانَ وَعَلَّمَهُ اْلبَيَانَ وَأَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلىَ سَائِرِ اْلأَدْيَانِ. أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ الْوَاحِدُ الْمَنَّانِ. وَأَشْهَدُ اَنَّ سَيَّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اْلمَبْعُوْثُ اِلَى كَافَةِ اْلاَنَامِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى هَذَا النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ اْلمُمَجَّدِ وَالرَّسُوْلِ السَّنَدِ الْعَظِيْمِ سَيِّدَنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ عَلَى مَمَرِّ الدُّهُوْرِ وَالْاَيَّامِ. اما بعد. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوا اللهَ فِى كُلِّ مَكَانٍ وَاُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِطَاعَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فىِ كُلِّ زَمَانٍ. قال الله تعالى فى كتابه الكريم: كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ اْلمَوْتِ
Jama’ah Jum’at rahimakumullah
Marilah kita senantiasa meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. dengan terus berusaha menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Karena hanya dengan demikianlah, kita akan memperoleh ketenangan, kebahagiaan dan lebih-lebih, kemuliaan di hadapan Allah SWT. baik di dunia maupun di akhirat.
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah
Keberadaan kita di dunia ini bukanlah tujuan akhir dari penciptaan manusia, yang dalam arti, setelah kita meninggal dunia maka selesai sudah semua urusan dan tanggung jawab kita. Sebagaimana makhluk lain, seperti binatang atau tumbuh-tumbuhan, yang mana ketika ia mati maka berakhir pula cerita kehidupannya. Kehadiran kita di dunia ini, adalah satu dari lima tahapan dari perjalanan hidup manusia. Dua tahapan telah kita lalui, yaitu, pertama, alam arwah atau alam ruh. Di mana, di alam tersebut semua ruh manusia dikumpulkan. Baik ruh manusia yang sekarang sudah meninggal dunia maupun ruh manusia yang hingga sekarang belum lahir. Kedua, alam kandungan. Yaitu dalam kandungan ibu kita. Setelah itu barulah kita diturunkan ke alam dunia ini. Kemudian setelah alam dunia ini kita masih akan menempuh dua alam lagi. Masing-masing adalah alam barzakh (alam kubur) dan alam akhirat.
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa di alam dunia ini kita hanyalah sementara. Di alam akhiratlah kita akan mendapatkan keabadian hidup. Sementara alam kubur hanyalah pintu gerbang menuju alam akhirat tersebut. Dan untuk menuju alam kubur, semua manusia akan melewati pintu yang disebut kematian. Setelah ia masuk alam kubur maka ia akan dihidupkan kembali –tentunya berbeda dengan kondisi kita sekarang. Paparan ini menggambarkan betapa sebentarnya sebuah kematian bagi manusia. Allah SWT. sendiri telah mensinyalir hal itu dalam sebuah firman-Nya:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ اْلمَوْتِ
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.
Allah menggunakan kata “dza`iqatun” dalam menjelaskan kematian ini, yang berarti “merasakan”. Dalam pemahaman kita, kata “merasakan” mengandung makna sedikit. Atau yang dalam hal kematian ini berarti sebentar. Lebih jelas, dalam surat Ali Imran kembali Allah SWT. menegaskan:
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيآءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah SWT. itu mati. Sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mendapatkan rizki.
Sejak di alam kubur inilah, bahkan sejak meninggal, terlepas sudah semua kewajiban kita sebagai hamba Allah SWT. Manusia tidak lagi harus menjalankan perintah Allah SWT. dan meninggalkan larangan-Nya. Di alam kubur ini hanya ada dua kemungkinan. Pertama, merasakan nikmat kubur sebagai gambaran awal dari nikmat surga. Atau, kedua, mendapatkan siksa kubur sebagai gambaran awal dari siksa neraka kelak.
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah
Lalu apa yang dapat kita persiapkan untuk sebuah kehidupan yang abadi? Apa yang harus kita kerjakan sebelum maut menjemput kita? Itulah mungkin pertanyaan yang pantas kita ajukan. Dalam memberi jawaban atas pertanyaan tersebut, Rasulullah SAW. bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mau mendoakannya.
Ketika kita meninggal dunia, maka semua amal perbuatan kita tidak akan ada yang bermanfaat, kecuali hanya tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah, pertama, shadaqah jariyah. Yaitu sumbangan yang memiliki nilai manfaat yang abadi. Seperti membangun masjid, mendirikan lembaga pendidikan, panti-panti asuhan, rumah sakit, membuat jalan, membangun pondok pesantren dan lain-lain. Selagi apa yang disumbangkan tersebut masih dimanfaatkan untuk beribadah pada Allah SWT. maka selama itu pula orang yang menyumbang akan mendapatkan pahala. Sungguhpun ia telah mati. Kedua, ilmu yang bermanfaat. Yaitu, ilmu yang diamalkan dalam tingkah laku serta diajarkan kepada orang lain. Selagi orang yang diajar tersebut mengamalkan ajarannya, atau bahkan mengajarkannya pula pada orang lain, maka selama itu pula ia akan mendapatkan pahala. Dan yang ketiga adalah anak shalih yang selalu mendo’akannya.
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah
Membentuk anak shalih adalah pekerjaan yang teramat sulit dan berat. Bahkan lebih sulit daripada mencetak anak cerdik-pandai. Lebih-lebih di zaman sekarang ini, zaman yang, kalau boleh kita katakan, sebagai zaman jahiliyah modern. Begitu besar hambatan kita orang tua untuk membawa anak kepada derajat shalih. Anak shalih adalah anak yang memiliki ilmu dan mau mengamalkan ilmunya. Sedangkan ilmu yang dimiliki tersebut haruslah ilmu yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT., bukan ilmu yang justru membuat anak semakin jauh dari Allah SWT. Anak shalih yang mau mendoakan inilah yang akan bermanfaat bagi orang tua ketika dia telah meninggal.
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah
Lewat mimbar ini kembali saya mengajak, marilah ketiga hal di atas benar-benar kita pegang. Benar-benar kita upayakan sebelum maut menjemput kita. Janganlah anak-anak dan harta benda kita justru menjadi penghalang kita untuk ingat pada Allah SWT. sebagaimana peringatan Allah SWT. dalam al-Qur'an:
يأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta-bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah
Marilah kita kenalkan nilai-nilai Islam pada anak-anak kita sedini mungkin. Janganlah kita menunda-nundanya sehingga mereka tercemari oleh dampak negatif globalisasi, karena masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter dan jati diri. Kekurangtepatan kita dalam mendidik anak bukanlah hal yang tak beresiko. Dampaknya akan kita rasakan bahkan sampai kita meninggal. Semoga ketiga hal di atas dapat kita wujudkan dalam rangka perjalanan panjang kita menuju ke alam baqa yaitu alam akhirat. amin
يأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ
بَارَكَ اللهُ لىِ وَلَكُمْ فىِ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمِ
NABI MUHAMMAD ADALAH NABI TERAKHIR
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ اْلإِنْسَانَ وَعَلَّمَهُ اْلبَيَانَ وَأَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلىَ سَائِرِ اْلأَدْيَانِ. أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ الْوَاحِدُ الْمَنَّانِ. وَأَشْهَدُ اَنَّ سَيَّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اْلمَبْعُوْثُ اِلَى كَافَةِ اْلاَنَامِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى هَذَا النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ اْلمُمَجَّدِ وَالرَّسُوْلِ السَّنَدِ الْعَظِيْمِ سَيِّدَنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ عَلَى مَمَرِّ الدُّهُوْرِ وَالْاَيَّامِ. اما بعد. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوا اللهَ فِى كُلِّ مَكَانٍ وَاُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِطَاعَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فىِ كُلِّ زَمَانٍ. قال الله تعالى فى كتابه الكريم: مَاكَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وِلكِنْ رَسُوْلَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْماً
Jama’ah Jum’at rahimakumullah
Marilah kita senantiasa meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. dengan terus berusaha menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Karena hanya dengan demikianlah, kita akan memperoleh ketenangan, kebahagiaan dan lebih-lebih, kemuliaan di hadapan Allah SWT. baik di dunia maupun di akhirat.
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah
Sungguh keimanan dan ketaqwaan adalah benteng terkuat bagi manusia dalam menghadapi segala bentuk problem kehidupan. Orang yang hampa jiwanya dari keimanan dan ketaqwaan sulit untuk mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan, sungguhpun hidupnya berlimangan materi dunia. Kehampaan spiritual dapat memicu lahirnya sikap frustasi bagi manusia dalam menghadapi permasalahannya. Karena orang yang demikian tidak mempunyai sandaran vertical. Kehampaan spiritual juga memicu bagi munculnya sikap menghujat dan menggugat, karena orang yang gersang jiwanya tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang didapat dan dimilikinya. Dan yang pasti, kegersangan spiritual ini merupakan lahan subur bagi program syaitan dalam rangka menghancurkan masa depan manusia itu sendiri, baik yang berekses pada kehidupan dunia maupun kehidupan di akherat kelak. Munculnya fenomena korupsi, pencurian, perampokan dan lain-lain adalah refleksi dari kekurangpuasan hati manusia terhadap materi yang telah dimiliki. Begitu juga bunuh diri dengan cara apapun adalah refleksi dari ketiadaan sandaran baginya, seolah hidup ini dia sendiri yang mengatur dan menentukannya.
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah
Hal-hal tersebut adalah sebagian kecil contoh akibat kegersangan hati manusia dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dan di akhir-akhir ini, syaitan kembali menemukan lahan subur pada manusia di bidang yang berbeda. Syaitan datang dalam tidurnya orang-orang yang frustasi dengan mengaku sebagai Allah yang akan mengutusnya. Karena kurangnya keimanan dan ketaqwaan di hati orang tersebut serta minimnya pengetahuan dan pemahaman keagamaan, maka setelah bangun, dengan penuh percaya diri ia kemudian mengikrarkan diri sebagai nabi utusan Allah SWT. yang diperintah-Nya untuk menegakkan ajaran agama, na’udzu billah tsumma na’udzu billah. Mungkin kalau sebagai utusan bisa dibenarkan, tetapi bukan utusan Allah melainkan utusan syaitan, yang memerintahkannya untuk menghancurkan Islam. Jika ia mengaku sebagai nabi dan rasul utusan Allah SWT., maka haram bagi kita untuk mempercayainya. Bahkan meragukannya pun haram, karena di dalam sikap ragu ada unsur percaya. Yang benar adalah kita harus yakin, haqul yaqin bahwa ia bukanlah nabi dan bukan pula rasul utusan Allah SWT.
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah
Allah SWT. telah memberikan pernyataan yang sangat jelas secara tekstual, yang seakan tidak mungkin menimbulkan multi tafsir. Dalam al-Qur'an Allah SWT. menyatakan:
مَاكَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وِلكِنْ رَسُوْلَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْما
Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Di dalam ayat tersebut, dengan jelas Allah menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para nabi. Sehingga untuk menangkap substansi makna dari kalimat tersebut kita tidak perlu bertele-tele. Karena kalimatnya sudah sangat jelas. Jika kemudian ada orang yang mengakui adanya nabi setelah nabi Muhammad, itu bukanlah buah penafsiran lain dari kalimat tersebut, tetapi itu adalah kesesatan yang nyata. Dengan demikian dari ayat tersebut dapat kita yakini, bahwa sampai kapanpun dan di manapun Allah SWT. tidak akan pernah mengutus lagi seorang manusia untuk menyebarkan ajaran-Nya. Sehingga wajib bagi umat muslim untuk menolak dan mengingkari siapa saja yang mengaku sebagai nabi maupun mengingkari orang yang dianggap sebagai nabi setelah Nabi Muhammad SAW. tanpa harus melalui pertimbangan.
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah
Sungguhpun kita wajib menolak dan mengingkari terjadinya distorsi kenabian ini, akan tetapi, tidak dibenarkan jika penolakan kita tersebut kita refleksikan secara anarkhis. Penolakan secara fisik bukanlah satu-satunya solusi dan bukan pula solusi terbaik. Hendaknya kita menolak kebatilan dengan tanpa harus melahirkan permasalahan baru. Dalam hal ini Allah SWT. pun telah mengajari kita:
أُدْعُ إِلى سَبِيْلِ رَبِّكَ بالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik.
Bagaimanapun, sebuah keyakinan adalah hasil dari sebuah pemikiran. Dan pemikiran tidak akan mati jika diserang secara fisik. Karena pemikiran adalah kreatifitas rohani bukan kreatifitas fisik manusia. Sehingga untuk menandinginya kita juga harus melalui pemikiran. Dalam hal ini kembali Allah SWT. mengajari kita melalui sebuah firman-Nya:
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتيِ هِيَ أَحْسَنُ
Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah
Yang terpenting bagi kita kemudian adalah, mari kita kembali kepada Allah SWT., kembali kepada ajaran-Nya yaitu al-Qur'an, dan mari kita terus meneladani Rasul-Nya Muhammad saw. Itulah shirath al-mustaqim (jalan lurus yang diridhai oleh Allah, yang akan menghantarkan kita kepada ketenangan dan kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akherat), sebagaimana yang diharapkan oleh setiap kita. Janganlah kita terkecoh oleh argumen-argumen batil orang-orang yang mengaku sebagai utusan Allah hanya karena mereka merasa memperjuangkan agama Allah. Dan perlu kita ketahui, adalah salah jika ada orang yang memperjuangkan agama Allah SWT. kemudian dia mengaku sebagai nabi. Nabi Muhammad sendiri menyatakan bahwa, yang meneruskan perjuangan para nabi adalah ulama’. Sebagaimana yang pernah disabdakannya:
الْعُلَمَآءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَآءِ
Ulama adalah pewaris para Nabi
Dari sabda tersebut tersirat sebuah makna bahwa sepeninggal beliau Allah tidak akan mengutus lagi seorang Nabi. Dan satu-satunya penerus perjuangan para nabi adalah para ulama’.
Hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah
Semoga kita senantiasa dalam lindungan dan bimbingan Allah SWT. dan diselamatkan dari segala fitnah yang memang akhir-akhir ini mulai bermunculan sebagai tanda-tanda datangnya hari kiamat, amin.
مَاكَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وِلكِنْ رَسُوْلَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْماً. بَارَكَ اللهُ لىِ وَلَكُمْ فىِ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمِ

KHUTHBAH KEDUA

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي جَعَلَ يَوْمُ الْجُمْعَةِ اَفْضَلَ اَيَّامِ اْلاُسْبُوْعِ وَاخْتَصَّهُ بِسَاعَةٍ الدُّعَاءِ فِيْهَا مُجَابٌ مَسْمُوْعُ أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً مُحْتَوِيَةً عَلَى كَمَالِ اْلإِخْلاَصِ وَالْحُضُوْعِ. وَأَشْهَدُ اَنَّ سَيَّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبُ الْمَقَامِ الْمَحْمُوْدُ وَالذِّكْرِ الْمَرْفُوْعِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ ذَوِى الزُّهْدِ وَالْخُشُوْعِ. اما بعد. فَيَاأَيُّهَا النَّاسِ اِتَّقُوا اللهَ فِى جَمِيْعِ الْحَالاَتِ, وَقَالَ جَلَّ جَلاَلُهُ: إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نُوْرِ اْلاَنْوَارِ وَسِرِّ اْلاَسْرَارِ وَتِرْيَاقِ اْلاَغْيَارِ وَمِفْتَاحِ بَابِ اْليَسَارِ سَيَّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْمُخْتَارِ وَآلِهِ اْلأَطْهَارِ وَأَصْحَابِهِ اْلأَخْيَارِ عَدَدَ نِعَمِ اللهِ وَاِفْضَالِهِ وَارْحَمْنَا وَاحْشُرْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اْلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ, اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ, يَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ وَيَا عَالِمَ السِّرِّ وَالْخَفِيَّاتِ, رَبَّنَااغْفِرْ لَنَا وَلِِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فىِ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْارَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ. رَبَّناَ آتِنَا فىِ الدُّنْياَ حَسَنَةً وَفىِ اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
عِبَادَ اللهِ, إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهَ أَكْبَرُ

Senin, 01 Desember 2008

SEJARAH DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KLASIK

A.Sejarah Pendidikan pada Masa Klasik (610–1250 M.)
1.Pendidikan pada Masa Rasulullah saw. (610-632 M.)
Sejarah pendidikan manusia adalah sepanjang sejarah kehidupannya. Sejarah ini dimulai sejak kemunculan manusia --sekaligus Rasul Allah--pertama, Âdam as., di surga. Di sana Allah mengajari Âdam as. seluruh nama benda (barang) yang ada, sebagai bentuk pendidikan. Hal mana, pada gilirannya itu menjadi bekal ketika Allah menunjuknya sebagai khalifah (wakil) di bumi. Sejak itu --dan juga sebab itu-- Allah melebihkan derajat manusia di atas para malaikat bahkan semua makhluk. Dan karena itu Allah memerintahkan para malaikat dan iblis untuk bersujud (hormat) kepada Âdam as.1
Begitu juga dalam Islam, sejarah pendidikannya dimulai sejak kehadiran Islam itu sendiri. Di saat Muhammad menjauhkan diri dari pergaulan ramai dan tenggelam dalam tafakkur di dalam gua Hira' (610 M.),2 beribadah, merenungi keagungan Allah, moral dan nasib masyarakatnya, di saat itu juga, muncul kerinduan akan kebenaran dalam hatinya yang sedang diliputi keragu-raguan. Datanglah kemudian sebuah seruan untuk membaca (iqra' bi ismi rabbik)3 kepada hamba yang ummi tersebut.4 Itulah awal munculnya Islam sekaligus pendidikan yang dibawanya. Tentu saja, hal itu adalah kali pertama bagi Muhammad saw. dalam hidup. Sejak itulah, dalam usianya yang ke-40 beliau diangkat Allah sebagai seorang Nabi, sekaligus awal kerasulannya,5 yang kelak akan mendidik dan menyampaikan ajaran Allah kepada umat manusia.
Pada masa sebelumnya (pra-Islam), di negeri Arab --tempat Muhammad dilahirkan dan dibesarkan-- telah ada sebuah pendidikan. Pendidikan tersebut lebih didominasi oleh pengajaran tentang puisi. Kehadiran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. --dan disertai kitab suci-- tersebut, selanjutnya menentukan arah pendidikan bagi dunia Arab yang baru, setelah suku-suku dari gurun dan para pedagang dari desa-desa pantai masuk Islam.6 Sebagai konsekuensi, Nabi Muhammad saw. bertugas menata kembali unsur-unsur budaya yang telah ada dan meletakkan unsur-unsur baru yang akan menjadi dasar bagi perkembangan budaya berikutnya. Karena beliau diutus untuk seluruh umat manusia (baca QS. Saba' 34: 28), maka tugas ini tidak hanya tertuju pada bangsa Arab, melainkan pada seluruh umat manusia.
Bentuk pendidikan yang pertama-tama dilakukan oleh Nabi Muhammad saw., adalah menanamkan dasar-dasar kepercayaan Islam, tauhid, atau meluruskan akidah. Yakni dari paganisme (penyembahan terhadap berhala yang merupakan tradisi ritual masyarakat di saat itu) menuju akidah monoteisme (penyembahan terhadap Allah, Tuhan Yang Mahaesa), serta mengajarkan al-Qur'an. Abdurrahman Mas'ud lebih menyebut pendidikan, yang dikenal dalam sejarah sebagai periode Mekkah ini, sebagai pendidikan yang fleksibel. Artinya segala usaha dalam rangka mengembangkan mental, intelektual ataupun moral, yang bertujuan untuk meraih perbaikan atau peningkatan relegius.7
Hal ini dilakukan Nabi Muhammad saw. dengan jalan sembunyi-sembunyi. Dan tidak semua orang pada waktu itu mau menerima seruannya, bahkan kebanyakan mereka mengejek dan menertawakannya. Jumlah orang yang mau mengakui --dan selanjutnya menerima-- ajarannya masih dalam hitungan jari. Mereka antara lain Khadîjah, istri beliau, 'Alî ibn Abî Thâlib (anak pamannya), dan Zaid ibn Haritsah (seorang pembantu rumah tangganya, yang kemudian dijadikan anak angkat). Setelah itu, shahabat karib yang telah lama bergaul dengannya, yaitu Abû Bakar al-Shiddîq. Baru kemudian, dengan bantuan Abû Bakar, meluas pada masyarakat suku Quraisy, terutama masyarakat rendah. Mereka di antaranya: 'Utsmân ibn 'Affân, Zubair ibn Awwâm, Sa'ad ibn Abî Waqas, 'Abd al-Rahmân ibn 'Auf, Talhah ibn 'Ubaidillâh, Abû 'Ubaidillâh ibn Jarrâh, Arqam ibn Abi al-Arqam, Fâthimah binti Khaththâb bersama suaminya Sa'îd ibn Zaid, dan beberapa orang lainnya. Mereka semua itulah yang dalam al-Qur'an dikenal dengan sebutan al-sâbiqûn al-awwalûn (baca: QS. al-Taubah 9: 100).8 Sementara kaum aristokratis atau oligarki dan mereka yang besar pengaruhnya, yang dimisalkan seperti Abû Sufyân, justru menjauhkan diri dari seruan Nabi Muhammad saw. dan menjadi penentang utama.9
Tempat berlangsungnya pendidikan pertama kali adalah di rumah salah seorang shahabat, yaitu al-Arqam ibn al-Arqam, yang selanjutnya dikenal dengan nama Dâr al-Arqam, di samping rumah Nabi Muhammad saw. sendiri. Di sana Nabi Muhammad saw. mengajarkan dasar-dasar atau pokok agama Islam, membacakan wahyu dan menerima orang-orang yang hatinya cenderung pada Islam atau menayakan hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam. Bahkan di sanalah Nabi bersembahyang bersama para shahabat (bukan sembahyang lima waktu). Sehingga disepakati oleh para ahli, bahwa Dâr al-Arqam merupakan sekolah pertama dalam Islam, dan Nabi Muhammad saw. adalah guru dan pendidik pertama.10 Hal ini berlangsung lebih dari tiga tahun, sampai akhirnya turun perintah untuk melakukan pengajaran secara terbuka (baca: QS. al-Hijr 15: 94). Hal itu, di satu sisi, membuat pendidikan menjadi meluas (hingga ke luar Makkah, terutama pada mereka yang datang ke Makkah untuk berdagang), dan di sisi lain, membakar semangat perlawanan bagi kelompok-kelompok yang menentang ajaran Nabi Muhammad saw.
Materi pendidikan pada periode Makkah, jelas Zuhairini,11 dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama pendidikan tauhid (teori dan praktek). Kedua, pengajaran al-Qur'an. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa penyembahan dan pemujaan terhadap berhala, serta perbuatan syirik lainnya, merupakan tradisi masyarakat Arab jâhiliyah yang berlangsung secara turun- temurun. Sungguhpun nama Allah, sebagai Pencipta alam, bumi, langit dan seisinya, masih merupakan kepercayaan mereka, namun larut dalam nama-nama berhala dan sesembahan lainnya. Maka tugas mulia Nabi Muhammad saw. adalah memancarkan kembali sinar tauhid dalam kehidupan umat manusia pada umumnya. Dan yang pertama kali dihadapi adalah bangsa Arab pada masanya.
Metode yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saw. dalam mengajarkan tauhid sangat bijaksana, sesuai dengan bimbingan Allah (baca: QS. al-Nahl 16: 125). Beliau menuntun akal pikiran untuk mendapatkan dan menerima pengertian tauhid yang diajarkan, dan sekaligus memberikan tauladan bagaimana pelaksanaan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara konkrit. Kemudian beliau memerintahkan agar umatnya mencontohnya. Karena itulah Allah swt menyebut beliau sebagai uswah al-hasanah, role model (baca: QS. al-Ahzâb 33: 21). Sehingga tidak aneh jika dalam sebuah risetnya, James E. Royster dari Cleveland State University menyimpulkan, bahwa mungkin tidak ada seorang pun dalam sejarah manusia yang lebih banyak diikuti daripada Nabi umat Islam (baca: Muhammad saw).12
Dengan jelas dan rinci, Zuhairini mendeskripsikan metode Nabi Muhammad saw. dalam melaksanakan tugasnya.13 Pertama-tama Nabi Muhammad saw. dalam memberikan pendidikan tauhid ini, mengajak umatnya untuk membaca, memperhatikan dan memikirkan kekuasaan dan kebesaran Allah dan diri manusia sendiri. Kemudian beliau mengajarkan cara bagaimana merealisasikan pengertian tauhid tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Semua kebiasaan kehidupan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan pengertian tauhid diubah dan diluruskan secara berangsur-angsur, sehingga sesuai dengan kebenaran ajaran tauhid.
Selanjutnya, kalau selama ini memulai pekerjaan dengan menyebut nama berhala, maka Nabi Muhammad saw. mengajarkan agar hal itu diganti dengan menyebut basmalah.14 Kebiasaan membaca syair-syair yang indah yang berisi puji-pujian kepada tuhan-tuhan mereka, diganti oleh Nabi Muhammad saw. dengan membaca al-Qur'an. Begitulah di antara metode yang ditempuh Nabi Muhammad saw. dalam rangka menegakkan tauhid pada umatnya.
Bentuk selanjutnya adalah pengajaran al-Qur'an. Sebagai inti sari dan sumber pokok dari ajaran Islam, al-Qur'an diajarkan Nabi Muhammad saw. kepada umatnya berdampingan dengan pengajaran tauhid, dengan tujuan agar al-Qur'an secara utuh dan sempurna menjadi milik umatnya, yang selanjutnya menjadi warisan ajaran secara turun-temurun dan menjadi pegangan serta pedoman hidup bagi kaum muslimin sepanjang zaman.
Metode yang ditempuh Nabi Muhammad saw. dalam mengajarkan al-Qur'an lebih menggunakan hafalan, mengingat mayoritas penduduk Arab, termasuk para pengikut beliau adalah ummi, di samping shahabat-shahabat tertentu yang menulis atas perintahnya.15 Penulisan tersebut dilakukan secara terpisah-pisah pada berbagai lembaran kulit dan daun, tulang-tulang unta dan kambing yang kering atau pada pelepah kurma.16 Entitas tidak kenal baca dan tulis inilah yang disinyalir sebagai pemicu bagi kuatnya tingkat hafalan mereka, sehingga tradisi budaya mereka adalah tradisi lisan.17
Metode ini didukung pula oleh turunnya al-Qur'an yang berangsur-angsur dan sedikit demi sedikit. Karena bagaimanapun, hal ini di satu sisi, memberi kemudahan pada Nabi Muhammad saw. dalam mengajarkan al-Qur'an dan meneguhkan hatinya (baca: QS. al-Furqân 25: 32). Sementara di sisi lain, membantu memudahkan para shahabat dalam menghafalnya.18 Setiap turun wahyu, begitu Zuhairini menulis,19 yang biasanya terdiri dari beberapa ayat al-Qur'an, Nabi Muhammad saw. langsung menyampaikan ayat-ayat tersebut kepada para shahabatnya, dengan jalan membacakan bunyi ayat (wahyu) tersebut sebagaimana yang ia terima dari Allah. Setelah itu (baca: membacakannya secara lengkap), Nabi Muhammad saw. memerintah-kan kepada mereka agar membaca dan menghafalnya sesuai dengan yang dibacanya. Pengaturan dan penetapan urutan ayat-ayat dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. sendiri sesuai dengan petunjuk Allah, tauqîfî. Jika satu surat telah sempurna turunnya, maka Nabi Muhammad saw. memberi nama surat sebagai tanda yang membedakan antara satu surat dengan surat lain. Beliau memerintahkan untuk meletakkan basmalah di permulaan surat yang baru atau di akhir surat yang terdahulu.20
Pengajaran ini berlangsung di rumah al-Arqam dengan sembunyi-sembunyi. Mereka berkumpul membaca al-Qur'an, memahami kandungan setiap ayat yang turun dengan jalan bermudarasah dan bertadarrus. Tidak jarang Nabi Muhammad saw. mendengarkan pembacaan al-Qur'an oleh shahabatnya untuk dibenarkan jika ada kekeliruan. Setelah 'Umar ibn Khaththâb memeluk agama Islam, akhirnya aktivitas ini mereka lakukan dengan bebas. Dan hal ini terus berlangsung hingga kaum muslimin berhijrah ke Madinah.
Secara umum, materi al-Qur'an dan fatwa-fatwa Nabi Muhammad saw. menerangkan tentang kajian keagamaan yang menitikberatkan pada teologi dan ibadah, seperti beriman kepada Allah, para rasul-Nya, dan hari kiamat serta amal ibadah, yaitu shalat. Zakat sendiri waktu itu belum menjadi materi pendidikan, karena zakat pada waktu itu lebih difahami sebagai sedekah pada fakir miskin dan anak-anak yatim. Selain itu, materi akhlak juga diajarkan untuk membentuk kepribadian yang mulia. Adapun materi scientific belum dijadikan sebagai mata pelajaran. Nabi Muhammad saw. ketika itu hanya memberikan dorongan untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam raya.21
Sementara pengajaran baca tulis belum merupakan budaya mereka, mengingat pada masa itu adalah masa penanaman dan pelurusan aqidah, di samping pengajaran dan penghafalan al-Qur'an. Namun tidak berarti tak seorang pun shahabat Nabi yang mampu membaca dan menulis. Karena, sebelum kelahiran Islam telah ada institusi pendidikan, sungguhpun belum tersiar. Dan di antara orang yang sudah mampu membaca adalah Sufyân ibn Umaiyah ibn 'Abd Syâm dan Abû Qais ibn 'Abdi Manâf ibn Zuhrah ibn Kilâb, yang telah belajar dari Bisyr ibn 'Abd al-Mâlik di Hirah. Oleh karena itu, agaknya dapat dipahami ketika Nabi Muhammad saw. menyiarkan Islam, pada masyarakat Quraisy telah ada 17 laki-laki dan 5 wanita yang pandai baca-tulis.22
Mereka antara lain: 'Umar ibn Khaththâb, 'Alî ibn Abî Thâlib, 'Utsmân ibn 'Affân, Abû 'Ubaidah ibn Jarrâh, Thalhah, Yazîd ibn Abû Sufyân, Abû Hudzaifah ibn 'Utbah, Hatib ibn 'Amr, Abû Salamah, 'Abdul As'ad al-Makhzumi, Aban ibn Sa'd ibn al-'Ash ibn Umayyah, Khâlid ibn Walîd dan saudaranya, 'Abdullâh ibn Sa'd ibn Abû Sarh al-Amiry, Huwathib ibn 'Abd al-'Uzza, Abû Sufyân ibn Harb, Mu'awiyah ibn Abû Shufyân dan Juhaim ibn Shalt. Sedangkan kelima wanita tersebut adalah Hafshah, Ummi Kultsum binti 'Uqbah, 'Â`isyah binti Sa'd, al-Syifâ binti 'Abdullâh al-Adawiyah dan Karimah binti al-Miqdâd.23
Secara umum --dan lebih konkrit-- pendidikan pada periode Makkah, sebagaimana dijelaskan Mahmud Yunus, 24 meliputi hal-hal:
1)Pendidikan keagamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan dipersekutukan dengan nama berhala, karena Tuhan itu Mahabesar dan Mahapemurah, sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jauhnya.
2)Pendidikan aqliah dan ilmiah, yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan kejadian alam semesta. Allah akan mengajarkan demikian itu kepada orang-orang yang mau menyelidiki dan membahasnya, sedangkan mereka dahulu belum mengetahuinya. Untuk mempelajari hal-hal itu haruslah dengan banyak membaca dan menyelidiki serta memakai pena untuk mencatat.
3)Pendidikan akhlak dan budi pekerti, Nabi Muhammad saw. mengajar shahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid.
4)Pendidikan jasmani (kesehatan), yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempat kediaman.
Periode selanjutnya adalah periode Madinah (mulai tahun 622-632 M. / tahun 1-11 H.). Periode ini berawal dari dakwah Nabi Muhammad saw. selama 12 tahun 5 bulan 21 hari di Makkah. Yang mana selama di sana beliau mendapatkan tekanan, ancaman, cacian, dan tuduhan, seperti sebagai tukang sihir, orang gila, ayan dan sebagainya, dari pihak yang tidak menghendaki terjadinya reformasi terhadap ajaran nenek moyangnya. Sungguhpun semuanya dihadapi dengan sabar, tabah serta pantang mundur, namun akhirnya pada tahun 622 M. beliau memutuskan untuk hijrah bersama para pengikutnya ke Madinah. Hal ini dilakukan bukan semata-mata untuk menghindarkan diri dari tekanan dan ancaman kaum Quraisy tersebut, tapi yang terpenting adalah untuk menyusun kekuatan dan mengatur strategi dalam menghadapi tantangan-tantangan lebih lanjut.
Kehadiran mereka (kaum Muhâjirîn) ke Madinah disambut dengan baik oleh penduduknya (kaum Anshâr) yang sebagian mereka telah memeluk agama Islam.25 Sehingga optimistis Islam untuk mendapatkan tempatnya yang baru semakin konkrit. Islam cukup mendapatkan dukungan untuk melebarkan sayapnya, dan harapan Nabi Muhammad saw. untuk melanjutkan pendidikannya semakin prospektif.
Untuk merealisasikan hal tersebut, langkah pertama yang diambil Nabi Muhammad saw. adalah membentuk masyarakat baru, dengan mempersatu-kan dan mempersaudarakan dua faksi yang memiliki background berbeda tersebut. Abû Bakar misalnya, dipersaudarakan dengan Khariyah ibn Zubair, 'Umar dengan Itbân ibn Mâlik, Abû 'Ubaidah dengan 'Abdurrahmân ibn 'Auf serta Sa'ad ibn Râbi', 'Utsmân ibn 'Affân dan 'Aus ibn Tsâbit dengan keluarga Bani al-Najjâr, Thalhah ibn 'Ubaidillâh dengan Ka'ab ibn Mâlik, dan seterusnya.26
Melanjutkan tradisi di Makkah, belajar, menghafal dan menulis wahyu terus berlanjut ketika kaum muslimin mulai terbentuk di Madinah, hingga berakhirnya wahyu. Dan indikasi kemajuan mulai tampak pada periode ini. Aktivitas pendidikan yang berlangsung di rumah salah seorang shahabat ketika di Makkah, sekarang sudah mengambil tempatnya di masjid, yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw. bersama kaum muslimin setelah kaum Muhâjirîn mendapatkan kelayakan hidup. Eksistensi masjid ketika itu memiliki multi fungsi. Selain digunakan untuk melaksanakan shalat berjamaah, juga dijadikan sebagai institusi pendidikan serta sebagai markas dan tempat menyelenggarakan segala aktivitas keagamaan dan kemasyarakat-an.27 Situasi di masjid, tegas Langgulung, bahkan lebih bebas dan sangat cocok untuk dijadikan sebagai tempat belajar daripada di rumah, karena di masjid seseorang tidak perlu meminta izin untuk memasukinya.28 Masjid pertama yang didirikan Nabi Muhammad saw. di Madinah adalah masjid Nabawi.
Dari segi status kelembagaan, pendidikan masjid tersebut lebih merupakan pendidikan non-formal. Sebagai seorang guru, dalam melaksanakan tugasnya, Nabi Muhammad saw. duduk dengan dikelilingi oleh para shahabat (halaqah). Pelajaran yang telah disampaikan diulanginya, bahkan sampai tiga kali sehingga mereka mengingatnya. Selain seorang guru, beliau juga seorang da'i dan fasilitator yang penuh antusias terhadap masalah belajar. Beliau memperkenalkan pengetahuan dengan sangat mempertim-bangkan tingkat inteligensi para pendengarnya.29
Selain di masjid, pendidikan juga mengambil tempat lain yang lebih dikenal dengan nama Suffa atau al-Zilla (pada perkembangan berikutnya dikenal dengan nama Kuttâb). Abdurrahman Mas'ud menggambarkan Suffa sebagai bagian dari masjid dengan panggung tinggi serta atap sebagai ciri. Ia dibangun untuk dijadikan sebagai tempat pelaksanaan pendidikan, khususnya untuk belajar membaca, menulis, menghafal al-Qur'an dan belajar tajwid. Disediakan pula pemondokan bagi para pendatang dan orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal.30 Langgulung menambahkan, jumlah mata pelajaran yang dipelajari di sana, antara lain: dasar-dasar Islam, seni khat, sejarah, menunggang kuda, memanah, dan bahasa asing.31 Menurutnya, ini adalah profil pendidikan formal di masa itu, ia lebih sistematik daripada pendidikan yang berlangsung di masjid. Hamidallâh, jelas Abdurrahman, bahkan menyebut Suffa ini sebagai universitas Islam pertama.32
Nabi Muhammad saw. juga mengangkat beberapa shahabat untuk ditempatkan di Suffa, seperti 'Abdullâh ibn Rawahah, 'Ubadah ibn Shâmit, dan Abû 'Ubaidah al-Jarrâh.33 Sebelumnya, beliau pernah meminta kepada para tawanan perang Badar (624 M.) untuk mengajar baca-tulis kepada anak-anak Madinah sebagai penebus. Secara kontekstual hal ini sekaligus sebagai bentuk kepedulian Nabi Muhammad saw. terhadap pendidikan umat Islam.
Pada masa itu sudah terdapat sembilan masjid di Madinah yang masing-masing juga digunakan sebagai institusi pendidikan. Penduduk mengirimkan anak-anak mereka ke masjid-masjid setempat. Kadangkala Nabi Muhammad saw. mengunjungi dan mengawasi sekolah yang ada di masjid Quba. Tindakan Nabi Muhammad saw. dalam pendidikan ini selanjutnya diikuti oleh para shahabat dan pengikutnya, juga kaum muslimin kemudian. Semakin berkembang wilayah Islam semakin banyak pula masjid didirikan untuk memainkan peranannya yang penting dalam masyarakat.
Secara umum, mata pelajaran yang disampaikan pada periode Madinah, berkisar pada empat bidang, yaitu: pendidikan keagamaan, pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan jasmani, dan pendidikan sosial. Pendidikan keagamaan berkisar pada masalah keimanan dan ibadah, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Pendidikan akhlak lebih menekankan pada penguatan basis mental yang telah dimulai sejak di Makkah. Pendidikan kesehatan jasmani lebih menekankan pada penerapan nilai-nilai yang dipahami dari amaliyah ibadah, seperti makna wudhu, shalat, puasa, dan haji. Sedangkan pendidikan sosial meliputi pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Masyarakat diajar Nabi Muhammad saw. tentang kehidupan berumah tangga, warisan, hukum perdata dan pidana, kenegaraan dan lain-lain.34
Kegiatan Nabi Muhammad saw. ini pada gilirannya melahirkan ulama'-ulama' besar pada bidangnya masing-masing. Dalam bidang Fiqh dan Qadha, seperti 'Alî ibn Abî Thâlib, 'Abdullâh ibn 'Abbâs dan Mu'âdz ibn Jabal. Dalam bidang hadits, Anas ibn Mâlik, Abû Hurairah dan 'Abdullâh ibn 'Umar. Dalam bidang tafsir, 'Alî ibn Abî Thâlib, 'Abdullâh ibn Mas'ûd dan 'Abdullâh ibn 'Abbâs. Dalam bidang ilmu Qirâ'at, Abû Ka'ab. Dalam bidang ilmu Farâ'idh, Zaid ibn Tsâbit. Dan ulama'-ulama' lainnya, seperti 'Abdullâh ibn 'Umar, 'Abdullâh ibn Amr ibn 'Ash, Abû Darda', Abû Sa'îd al-Khudri, Abû Mûsâ al-Asy'arî, 'Âisyah. Merekalah ulama', first batch, dari pendidikan Nabi Muhammad saw. yang berlangsung di Makkah dan Madinah. 35

2.Pendidikan pada Masa Khulafâ' al-Râsyidîn (12-41 H. / 632-661 M.)
Setelah melalui masa pembinaan, yaitu masa Nabi Muhammad saw., maka pada masa Khulafâ' al-Râsyidîn merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan. Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw., 8 Juni 632 M., hingga wafatnya khalifah terakhir dari Khulafâ' al-Râsyidîn, 'Alî ibn Abî Thâlib, tahun 661 M. Sebelum masa 'Alî ada tiga khalifah yang mendahuluinya. Mereka antara lain Abû Bakar (632-634 M.), sebagai khalifah pertama,36 'Umar ibn Khaththâb (634-644 M.), sebagai khalifah kedua, dan 'Utsmân ibn 'Affân (644-656 M.), sebagai khalifah ketiga.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa pendidikan pada masa Nabi Muhammad saw. telah melahirkan ulama'-ulama' besar. Sebagai konsekuensi, merekalah yang selanjutnya meneruskan dan mengembangkan pendidikan di negeri Arab, sebagai tanggung jawab moral. Tidak hadirnya Guru agung di tengah-tengah aktifitas pendidikan disinyalir Langgulung sebagai pembeda tersendiri antara periode ini dengan periode sebelumnya, sekaligus sebagai ujian apakah sekolah itu akan menghasilkan manusia raksasa atau manusia-manusia kerdil.37
Seiring dengan ekspansi yang terus dilancarkan oleh para khalifah, perkembangan institusi pendidikan, baik masjid maupun Kuttâb semakin hari semakin menemukan momentumnya. Sejak masa Abû Bakar, institusi Kuttâb telah menunjukkan tingkat kemajuannya yang berarti. Selain karena ekspansi yang terus meluas ke beberapa daerah,38 hal itu juga disebabkan para khalifah menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Sehingga pada masa ini pusat-pusat pendidikan telah menyebar di beberapa kota, seperti Madinah, Makkah (Hijaz), Bashrah dan Kufah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam) dan kota Fistat (Mesir).39 Untuk penaklukan di daerah-daerah di mana bahasa Arab bukan bahasa pertama, pembangunan Kuttâb sebagai sekolah pengajaran bahasa Arab menjadi tujuan utama para khalifah dan gubernur setempat. Dan pentingnya kemampuan berbahasa Arab untuk mengakomodasi tatanan sosial yang baru dalam satu dunia berbahasa Arab melahirkan motivasi yang kuat bagi muslim maupun non-muslim untuk masuk Kuttâb.40
Pendidikan yang dilangsungkan oleh para shahabat,41 lebih mengambil sistem individual atau tidak ada campur tangan pemerintah dalam pengelolaannya. Kecuali pada masa khalifah 'Umar ibn Khaththâb, yang turut campur tangan dalam menambah kurikulum di lembaga Kuttâb. Para shahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majlis ta'lim, dengan diikuti oleh kaum muslimin dari golongan tâbi'în42 sebagai muridnya. Sebagaimana ditulis Mahmud Yunus,43 di Makkah misalnya ulama' yang mengajar pertama kali adalah Mu'âdz ibn Jabal, yang mengajarkan al-Qur'an serta hukum-hukum halal dan haram. Di Madinah misalnya, para shahabat yang mengajar, 'Umar ibn Khaththâb, 'Alî ibn Abî Thâlib, Zaid ibn Tsâbit (ahli qirâ'at dan fiqh), dan 'Abdullâh ibn 'Umar (ahli hadits). Selain itu, Râbi'ah al-Râyi, sebagaimana dijelaskan Langgulung, juga membuka halaqah di Madinah (di masjid Nabawi). Di antara muridnya yang terkenal adalah Mâlik ibn Anas al-Ashbahi (Imâm Mâlik) dan Hasan al-Bashri (w. 110 H / M).44
Di Bashrah adalah Abû Mûsâ al-Asy'ari (ahli fiqh, hadits dan ilmu al-Qur'an), dan Anas ibn Mâlik (ahli ilmu hadits). Di Kufah diajar oleh 'Alî ibn Abî Thâlib dan 'Abdullâh ibn Mas'ûd (ahli tafsir, fiqh, juga seorang râwi hadits). 'Alî mengurus masalah politik dan pemerintahan. Sementara Ibnu Mas'ûd (utusan khalifah 'Umar ibn Khaththâb) sebagai guru agama. Di antara murid-muridnya yang terkenal dan kemudian menjadi guru di Kufah adalah Alqamah, al-Aswad, Masrûq, al-Hârits ibn Qais dan Amr ibn Syurahbil. Di sinilah selanjutnya tempat Imam Abû Hanîfah muncul.
Sementara ulama' yang diperintahkan khalifah 'Umar ibn Khaththâb menjadi pengajar di Damsyik antara lain: Mu'adz ibn Jabal yang ditugaskan di Palestina, 'Ubadah ditugaskan di Hims, dan Abû Darda' di Damsyik. Di antara murid mereka yang kelak menjadi penggantinya adalah Abû Idrîs al-Khailany, Makhûl al-Dimsyikî, 'Umar ibn 'Abdul 'Azîz, dan Raja' ibn Haiwah. Lembaga ini juga melahirkan 'Abdurrahmân al-'Auza'i. Sedang di Fistat (Mesir) yang menjadi guru adalah 'Abdullâh ibn Amr ibn al-'Ash (seorang ahli hadits) yang selanjutnya diteruskan oleh Yazîd ibn Abû Habîb al-Nuby dan 'Abdillâh ibn Abû Ja'far ibn Rabi'ah. Di antara murid Yazîd yang terkenal adalah 'Abdullâh ibn Lahi'ah dan al-Laits ibn Sa'îd.
Secara keseluruhan, materi pendidikan yang diajarkan pada periode ini, sebagaimana dijelaskan Mahmud Yunus,45 sebelum masa 'Umar ibn Khaththâb, untuk Kuttâb adalah a) membaca dan menulis, b) membaca dan menghafal al-Qur'an, c) pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, shalat, puasa dan sebagainya. Ketika 'Umar menjabat khalifah, beliau menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajari berenang, mengendarai unta, memanah, membaca dan menghafal syair-syair yang mudah serta peribahasa. Sedang pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari: a) al-Qur'an dan tafsirnya, b) hadits dan pengumpulannya, dan c) fiqh (tasyrî'). Sementara ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu filsafat belum dikenal, sehingga pada masa Khulafâ' al-Râsyidîn belum ada. Hal ini sangat logis, mengingat konstruk sosial-masyarakat ketika itu masih dalam pengembangan wawasan keislaman terutama pemahaman al-Qur'an dan hadits.
Walaupun bersahaja, pendidikan telah mengenal sistem penjenjangan. Ketika peserta didik telah selesai mengikuti pendidikan di Kuttâb, mereka melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi, yakni masjid. Sementara di masjid sendiri terdapat dua tingkat, yaitu tingkat menengah dan tingkat tinggi. Perbedaan antara keduanya adalah terletak pada status guru, apakah dia ulama' besar dan memiliki prestise tinggi atau belum mencapai derajat itu.46 Pada lembaga pendidikan Kuttâb dan masjid tingkat menengah, metode pengajaran dilakukan secara seorang demi seorang, sorogan. Sedang pendidikan di masjid tingkat tinggi dilakukan dalam salah satu halaqah yang dihadiri oleh para pelajar secara bersama-sama.
Selain mengalami kemajuan dalam pendidikan, baik segi aktivitas maupun kelembagaannya, hal yang tidak kalah menariknya pada masa Khulafâ' al-Râsyidîn adalah terjadinya dinamika pemikiran Islam, sebagaimana dijelaskan Moh. Nurhakim.47 Pada masa Abû Bakar misalnya, pemahaman umat Islam terhadap ajarannya lebih didominasi oleh pemahaman tekstual. Artinya, semua permasalahan harus dicarikan hukumnya dalam nash al-Qur'an maupun hadits secara tersurat, eksplisit. Sikap ini ditunjukkan oleh Abû Bakar sendiri. Dia selalu hati-hati dalam mencetuskan sebuah hukum dan sangat selektif dalam menerima hadits, bahkan dia terlihat tidak banyak membuat kebijakan baru. Demikian juga dalam hal kodifikasi al-Qur'an, betapa takutnya dia dalam membukukan al-Qur'an, hanya karena tidak pernah mendengar Nabi Muhammad saw. memerintahkan secara tegas dalam hal itu.
Pola pikir ini mengalami transformasi ketika 'Umar ibn Khaththâb naik menjadi khalifah. Pada masa ini pemahaman bi al-ra'yi, kontekstual, mulai muncul sebagai dasar ke arah pemikiran ijtihadi. Dan 'Umarlah yang memberikan contoh sekaligus meletakkan kerangka dasar berijtihad dengan akal, yang sudah barang tentu didasarkan pada ruh nash al-Qur'an dan hadits. Hal ini dilakukan 'Umar dengan penuh pertimbangan, yaitu kemaslahatan yang dapat ditarik, atau melihat fenomena kontekstual yang berkembang pada masanya. Sikap 'Umar dalam hal ini, misalnya, tidak memberlakukan hukum potong tangan terhadap pencuri yang dilatarbelakangi oleh keterpaksaan. Atau dia tidak memberikan zakat kepada kaum mu'allaf karena pada saat itu relatif tidak ada kaum mu'allaf, tidak memberlakukan pembagian harta perang (ghanimah) kepada para prajurit sesuai dengan ukuran yang ditentukan oleh Nabi Muhammad saw., dengan alasan karena pemerintahan pada waktu itu sangat membutuhkan uang pembangunan, dan seterusnya.
Pola pikir ini semakin berkembang pada masa dua khalifah setelahnya, terutama sejak kodifikasi al-Qur'an dilakukan dan disebarkan ke berbagai daerah, yakni Madinah, Kufah, Bashrah, Mesir dan Makkah. Maka saat itu al-Qur'an mulai dipahami oleh kalangan yang lebih luas yang memiliki kondisi kultural yang berbeda-beda. Sebagai contoh, produk pemikiran shahabat- shahabat Kufah relatif lebih bersifat rasional daripada di Madinah. Kondisi Madinah jelas secara kultural lebih banyak diwarnai oleh pemikiran sunnah, sebab dia adalah kota Nabi, sedang Kufah secara kultural lebih majemuk, di samping letaknya lebih jauh dari kota Nabi, atau karena Kufah lebih banyak kemasukan budaya-budaya luar.
3.Pendidikan pada Masa Khalifah Bani Umayyah (41-132 H. / 661-750 M.)
Masa Bani Umaiyah lebih dikenal dengan era agresif, di mana perhatian khalifah lebih tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang telah terhenti sejak zaman kedua Khulafâ' al-Râsyidîn terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Suriah, Palestina, separoh daerah Anatolia, Irak, Persia, Afghanistan, India, dan negeri-negeri yang sekarang disebut Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk Rusia.48
Besarnya perhatian terhadap ekspansi, dan stabilitas politik yang secara intern terus diwarnai dengan gejolak, membuat lemahnya perhatian khalifah terhadap pendidikan. Sehingga pendidikan berjalan secara natural, tanpa adanya aturan dari pemerintah. Perhatian lebih diberikan oleh para ulama', secara non-formal. Pendidikan dilaksanakan di masjid oleh para qurrâ' (sebutan bagi pengajar al-Qur'an di masa itu) untuk mengajar al-Qur'an dan hadits. Nilai-nilai utama yang ditanamkan dalam pendidikan adalah keberanian, daya tahan ketika tertimpa musibah (shabr), menaati hak dan kewajiban tetangga, menjaga harga diri (muru'ah), kedermawanan dan keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan, dan pemenuhan janji.49
Sementara pendidikan bagi putra-putra khalifah, sebelum masa 'Abdul Mâlik (685-705 M.), biasanya, dilaksanakan di badiyah, gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa Arab murni dan mendalami puisi, sebagaimana yang dilakukan Mu'âwiyah. Selain itu, kecakapan berenang dan memainkan busur serta panah, sebagaimana pada masa Khulafâ' al-Râsyidîn, juga merupakan suatu tuntutan. Sehingga pendidikan di masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya (baca: Khulafâ' al-Râsyidîn).
Sungguhpun demikian, ia tetap memiliki dinamikanya sendiri yang menjadi karakteristik dan cukup menjadi pembeda dengan masa sebelumnya. Hal ini terjadi pada masa lima khalifah dari dua belas khalifah yang memimpin Bani Umayyah. Yaitu: Mu'âwiyah ibn Abî Sufyân (661-680 M.), 'Abdul Mâlik ibn Marwân (685-705 M.), Walîd ibn Marwân (705-715 M.), 'Umar ibn 'Abdul 'Azîz (717-720 M.) dan Hisyâm ibn 'Abdul Mâlik (724-743 M.).50
Muncul dan berkembangnya wacana kalam (baca: teologi) di tengah-tengah masyarakat serta kemajuan seni dan ilmu pengetahuan yang terus meningkat, menjadi indikasi dinamika tersebut. Dalam konstruksi sejarah Bani Umayyah, wacana kalam merupakan realitas aktual yang berakar pada politik yang pada gilirannya melahirkan beberapa kelompok yang memiliki paradigma berpikir secara mandiri. Seperti Mu'tazilah, Qadariyah, Ahl al-Sunnah, Jabariyah, Murji'ah di samping Syiah dan Khawarij yang telah muncul pada masa Khulafâ' al-Râsyidîn. Dua kelompok pertama tersebut, pada masa-masa selanjutnya berhasil menumbuhkan spirit berpikir rasional dan melahirkan pemikiran teologi Islam. Selain itu, mereka juga menulis beberapa buku, khususnya tentang sarana berpikir ilmiah, seperti logika (manthiq), tata bahasa Arab (balâghah) dan matematika.51 Tokoh dari sekte ini dimisalkan seperti Washîl ibn 'Athâ'.
Dalam lapangan seni, terutama seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah juga telah mencatat suatu pencapaian yang adi luhung, seperti Dome of the Rock (Qubah al-Sakhra) di Yerusalem, yang menjadi monumen terbaik dan hingga kini masih terus dikagumi orang.52 Perhatiannya terhadap seni sastra (syair) melahirkan tokoh-tokoh besar semisal 'Abd. Hamîd al-Kâtib (w. 750 M.), Ibn al-Amid, al-Akhtâl (w. 710 M.) yang menjabat sebagai kepala sekolah puisi di ibu kota, Farazdaq (w. 732 M.), Jarîr (w. 792 M.) keduanya juga sebagai kepala sekolah puisi di provinsi; 'Umar ibn Abî Râbi'ah (w. 719 M.) penulis puisi erotis atau bernuansa cinta, Jâmil al-'Udhri (w. 701 M.) penulis puisi yang bernuansa cinta murni tanpa hasrat, Qays al-Mulawwah (w. 699 M.) yang terkenal dengan nama Majnûn Laila, penulis puisi liris, Miskîn al-Dârimî, penulis puisi benuansa politis dan lain-lain.53
Selain itu, bidang-bidang lain seperti tafsir, hadits dan fiqh juga tidak luput dari perhatian. Perhatian terhadap tafsir, di satu sisi, dilatarbelakangi oleh semakin meluasnya wilayah Islam yang berakibat pada melemahnya rasa seni sastra Arab. Di sisi lain, karena banyaknya orang yang masuk Islam yang berekses pada tercemarnya bahasa al-Qur'an dan pemaknaannya demi kepentingan golongan tertentu. Di samping itu, faktor interpretasi yang didasarkan pada kisah-kisah Isrâiliyyât dan Nasrâniyyât juga turut menjadi pertimbangan tersendiri. Dalam kaitan ini Langgulung mengatakan bahwa munculnya tafsir lebih dimotivasi untuk memberi proteksi agar tidak diselundupi fikiran-fikiran lain dan perubahan-perubahan yang merusak, yang indikasinya sudah muncul pada waktu itu. Karena musuh Islam berusaha menghancurkan Islam dari dalam setelah mereka gagal menghancurkan dengan kekuatan tentara.54
Perhatian terhadap hadits terutama diberikan oleh khalifah 'Umar ibn 'Abd al-'Azîz (99-101 H. / 717-720 M.). Beliau pernah mengirim surat kepada gubernur Madinah, Abû Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm, dan beberapa gubernur lainnya di wilayah kekuasaannya supaya mengkodifikasi-kan hadits. Di antara ulama' besar yang menulis hadits (pertama kali) atas perintah tersebut adalah Abû Bakar Muhammad ibn Muslim ibn 'Ubaidillâh ibn Syihâb al-Zuhri, seorang tabi'în yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits.55 Perintah ini telah melahirkan metode pendidikan alternatif, yaitu para ulama' mencari hadits kepada orang-orang yang dianggap mengetahuinya di berbagai tempat yang kemudian dikenal dengan metode rihlah.
Dalam bidang (hukum) fiqh, sebagaimana ditulis Mahmud Yunus, secara garis besar muncul dua aliran, yaitu aliran ahl al-ra'yi dan aliran ahl al-hadits.56 Aliran pertama mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi, qiyâs, bila terdapat masalah yang belum diketemukan hukumnya. Aliran ini berkembang di Irak yang dimotori oleh Syuri'ah ibn al-Hârits (w. 78 H. / 697 M.), Alqamah ibn Qais (w. 62 H. / 681 M.), Masrûq al-Ajda' (w. 63 H. / 682 M.) al-Aswad ibn Yazîd (w. 95 H. / 713 M.), yang kemudian diikuti oleh Ibrâhîm al-Nakha'i (w. 95 H. / 713 M.), dan Amr ibn Syurahbil al-Sya'by (w. 104 H. / 722 M.). Sesudah itu digantikan oleh Hammad ibn Abû Sulaimân (w. 120 H. / 737 M.) guru Abû Hanîfah.
Aliran kedua lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa manakala tidak ditemukan dasarnya dalam al-Qur'an atau hadits. Aliran ini berkembang di Madinah. Di antara pelopor aliran ini adalah Ibnu Syihâb al-Zuhri (w. 124 H. / 741 M.) dan Nâfi' Maula 'Abdullâh ibn 'Umar (117 H. / 735 M.), keduanya merupakan guru Imam Mâlik ibn Anas (w. 117 H. / 735 M.). Dinamika pemikiran fiqh ini pada masa-masa berikutnya melahirkan sejumlah mujtahid fiqh. Hal itu telah diawali dengan lahirnya dua tokoh madzhab fiqh kenamaan di akhir masa ini, yakni Imâm Abû Hanîfah (lahir 80 H. / 699 M.) di Irak dan Imâm Mâlik (lahir 96 H. / 714 M.) di Madinah.
Sementara dalam ilmu pengetahuan muncul gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Namun terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, ilmu tata laksana dan seni bangunan. Pada umumnya gerakan ini terbatas pada orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara, dan tidak dilembagakan. Menurut Fihrist, orang pertama yang melakukan penerjemahan adalah Khâlid ibn Yazîd, cucu Mu'âwiyah.57
Aktivitas keilmuan lain, yang bisa dikatakan sebagai embrio gerakan intelektual Islam, adalah penulisan sejarah. Kajian historiografi Arab, yang tumbuh pada masa ini, dimulai dari kajian hadits. Dengan demikian, ia merupakan salah satu disiplin ilmu paling awal yang dihasilkan muslim Arab. Keinginan para khalifah terdahulu untuk mengetahui tindakan para raja dan penguasa sebelum mereka, minat orang Islam untuk mengumpulkan kisah tentang Nabi dan para shahabatnya --yang kemudian menjadi landasan bagi penulisan buku-buku tentang penaklukan (maghâzî) dan biografi (sîrah), kebutuhan untuk mengetahui rangkaian geneologi orang arab Islam--digunakan untuk menentukan jumlah santunan yang akan mereka terima dari bendahara negara. Keinginan untuk mengetahui penjelasan tentang bait-bait puisi Arab dan mengetahui orang serta tempat yang disebutkan dalam karya-karya keagamaan, semangat orang taklukan untuk mencatat prestasi masa lalu suku mereka dengan tujuan menandingi chauvinisme orang Arab, merupakan hal-hal yang memicu lahirnya kajian sejarah. Disiplin ini melahirkan tokoh semisal 'Âbid ('Ubayd) ibn Syaryah.58
Secara spesifik, disiplin ilmu yang muncul pada periode ini adalah ilmu nahwu, yang digunakan untuk memberikan tanda baca, pencatatan kaidah-kaidah bahasa, dan periwayatan bahasa. Sungguhpun terjadi perbedaan mengenai penyusunannya, namun hal ini menjadi ciri kemajuan tersendiri.59 Fenomena-fenomena (kemajuan) di atas tidak terlepas dari beberapa hal yang telah mempengaruhi. Hal-hal tersebut antara lain: pertama, warisan sejarah pola dasar pemikiran ijtihadi yang banyak ditampilkan 'Umar ibn Khaththâb. Kedua, semakin meluasnya wilayah Islam ke berbagai negara hingga memungkinkan persinggungan budaya. Dan ketiga, pengaruh dinamika intern.60
Menurut Hasan Langgulung, di antara jasa dinasti Umayyah dalam bidang pendidikan adalah menekankan ciri ilmiah pada masjid, sehingga masjid menjadi pusat perkembangan ilmu perguruan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini, di masjid diajarkan beberapa macam ilmu, di antaranya syair, sastra, sejarah, dan teologi dengan menggunakan metode debat. Dengan demikian periode ini merupakan zaman pendidikan masjid yang paling cemerlang.61
Periode ini (baca: Masa Bani Umayyah) merupakan akhir dari periode pembinaan (periode pertama) perkembangan pendidikan Islam yang dimulai sejak zaman Nabi Muhammad saw. Langgulung memberikan ciri-ciri umum periode ini sebagai: 62
a)merupakan pendidikan Islam yang tulen
b)bertujuan meneguhkan dasar-dasar agama baru
c)bergantung penuh pada ilmu naql dan lisan
d)menggunakan bahan tertulis sebagai alat komunikasi
e)membuka peluang mempelajari bahasa-bahasa asing
f)menggunakan kuttab dan masjid sebagai pusat pendidikan.
4.Pendidikan pada Masa Khalifah Bani Abbasiyyah (132-656 H. / 750-1240 M.)
Setiap masa memiliki kelebihan --kemajuan-- dan kekurangannya sendiri. Jika dua masa sebelumnya (baca: masa Khulafâ' al-Râsyidîn dan Bani Umayyah) merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, maka masa Khalifah Abbasiyyah merupakan masa kejayaannya. Jika pada masa Bani Umayyah Islam mendapatkan wilayahnya yang sangat luas, maka pada masa Khalifah Abbasiyyah Islam mendapatkan peradabannya yang adiluhung. Tak satu pun peradaban dunia, ketika itu, yang lebih tinggi dari peradaban Islam. Sehingga ia patut dikatakan sebagai super power yang berkuasa di sebagian besar negara-negara yang mencakup di tiga benua.
Bani Abbasiyyah berkuasa selama kurang lebih lima abad. Suatu masa yang jauh lebih panjang dibanding masa kekuasaan Bani Umayyah, yang hanya mampu bertahan selama 90 tahun. Masa yang panjang ini dipimpin oleh 37 orang khalifah.63 Masing-masing khalifah memiliki masa kekuasaan, problematika, gejolak politiknya sendiri-sendiri. Berangkat dari hal itu, Syalabi mengklasifikasi masa ini menjadi tiga periode. Periode pertama tahun 132-232 H. (sejak Abû al-'Abbâs al-Saffah hingga Abû Ja'far Hârûn al-Wâtsiq), di mana para khalifah Abbasiyyah berkuasa penuh. Periode kedua tahun 232-590 H. (sejak Abû al-Fadhl Ja'far al-Mutawakkil hingga Abû al-'Abbâs Ahmad al-Nâshir), tatkala kekuasaan Abbasiyyah sebenarnya berada di tangan orang lain. Dan periode ketiga 590-656 H. (sejak Abû al-'Abbâs Ahmad al-Nâshir hingga Abû Ahmad 'Abdullâh al-Musta'shim) kembalinya kekuasaan Abbasiyyah di tangan mereka tetapi hanya di sekitar Bahgdad saja.64
Kemajuan Bani Abbasiyyah diawali oleh ekspansi yang terjadi pada masa Bani Umayyah; yang pada gilirannya menimbulkan persentuhan peradaban antara Islam (Arab) dengan daerah-daerah taklukan. Khazanah intelektual Yunani klasik yang terdapat di Mesir (Aleksandria), Syria (Antakia), Irak (Judisapur), Mesopotamia dan Persia (Bactra) pada masa ini mulai dipelajari oleh para ilmuwan (muslim), dengan dukungan para khalifah periode awal yang memiliki corak pemikiran rasional, sebagai pengaruh teologi Mu'tazilah.65 Hal ini pada gilirannya menyuburkan semangat ilmiah di kalangan umat Islam, dan akhirnya lahirlah para ilmuwan --disertai karya-karya mereka-- dalam berbagai disiplin ilmu, baik ilmu agama maupun profan.
Setelah para khalifah periode pertama berlalu, maka naiklah para khalifah periode kedua sebagai penerus, yang jauh berbeda sifat dan karakternya --di samping perbedaan aliran teologi, yang dalam hal ini para khalifah periode kedua (dan ketiga) adalah para pengikut aliran Sunni-- dengan para khalifah pendahulunya. Gerakan sparatis yang berhasil ditekan pada masa sebelumnya, muncul kembali bahkan semakin meluas, sehingga disintegrasi tidak dapat dielakkan lagi.66 Di saat inilah muncul kekuatan lain yang naik ke atas panggung kekuasaan untuk mengendalikan tampuk pemerintahan, namun tidak disertai dengan penurunan para khalifah dari kursi kekuasaannya. Sikap yang berimplikasi pada hilangnya peran seorang khalifah. Para khalifah tidak lebih dari sebuah simbol, yang tidak punya wewenang apa-apa dalam pemerintahan. Bahkan kedudukan tersebut berada dalam kontrol mereka. Sehingga mereka dapat menaikkan dan menurunkan khalifah sesuka hatinya.
Sejarah telah mengabadikan tiga kekuatan yang berhasil mengambil alih kendali pemerintahan Abbasiyyah tersebut. Yaitu: kaum Turki (232-334 H.), golongan Bani Buwaihi (334-447 H.) dan golongan Bani Saljuk (447-590 H.). Dengan demikian, sungguhpun sejarah mencatat bahwa masa berkuasa Bani Abbasiyyah adalah kurang lebih lima abad (132-656 H. / 750-1240 M.) dan disaksikan sejarah sebagai dinasti yang mampu melahirkan peradaban Islam adiluhung yang tak terkalahkan oleh kekuatan manapun di zamannya, akan tetapi kemajuan-kemajuan yang merupakan produk orisinil dari Dinasti Abbasiyyah hanyalah kemajuan yang muncul dalam 132-232 H., yang disebut sebagai periode pertama.
Kekuatan pertama (kaum Turki) selama berkuasa, relatif tidak memiliki prestasi dalam membangun peradaban terutama dalam pendidikan. Hanya kekejamannyalah yang menghiasi sejarah kekuasaannya. Yang ditunjukkan dengan sikapnya yang membunuh dengan didahului oleh penyiksaan tak manusiawi terhadap para khalifah Abbasiyyah di masanya, di samping munculnya disintegrasi yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan kecil. Sementara pada masa Dinasti Buwaihi yang Syi'ah, kehidupan ilmiah yang terjadi pada masa periode pertama, mampu muncul kembali --dalam format yang lebih sederhana-- terutama pada masa kejayaan dinasti ini yang berada dibawah kepemimpinan 'Adûd al-Dawlah (949-983 M.) dan kedua putranya, Syaraf al-Dawlah (983-989 M.) dan Bahâ' al-Dawlah (989-1012 M.).67
Kekuatan terakhir adalah Dinasti Saljuk, yang mempunyai hubungan baik dengan para khalifah, karena keduanya sama-sama berpegang pada aliran Sunni. Prestasi yang diraih oleh dinasti ini adalah pendirian madrasah, sebagai institusi pendidikan tinggi, oleh wazir Nidlâm al-Mulk dibawah sultan Alb Arslân dan Mâliksyah. Madrasah ini bukan saja didirikan di Baghdad, tetapi juga di kota-kota lain. al-Subki menjelaskan bahwa Nidlâm al-Mulk mempunyai sekolah di setiap kota di Iraq dan Khurasan.68
Setelah berakhirnya dinasti Saljuk, maka berakhir pula intervensi asing terhadap pemerintahan Abbasiyyah dan akhirnya exis kembali, dengan wilayah kekuasaannya (pada periode ketiga) yang sangat terbatas. Masa ini berlaku hingga tentara Mongol dan Tartar datang di tahun 656 H. menyerbu masuk ke dalam Islam, membunuh khalifah dan keluarganya, dan mengumumkan tamatnya pemerintahan Abbasiyyah .
Semangat ilmiah yang tumbuh subur pada masa ini (baca: Bani Abbasiyyah), sebagaimana disinggung di atas, pada gilirannya menjadi motivator bagi majunya pendidikan. Terjadilah di saat itu revolusi ilmu pengetahuan. Pendidikan non-agama, profan, yang telah ditanam 'Umar ibn Khaththâb dalam kurikulum pendidikan di zamannya, telah mengalami perluasan sedemikian rupa sehingga meliputi berbagai bidang. Sebagai konsekuensi, adalah menjamurnya kegiatan pendidikan, dengan banyak mengambil tempat untuk pelaksanaannya.
Sampai abad ke-4 H., begitu Hasan 'Abd. al 'Al dalam kutipan Suwendi,69 telah berdiri tujuh lembaga pendidikan yang masing-masing memiliki karakteristik dan kajiannya sendiri-sendiri. Ketujuh lembaga tersebut adalah: a) kuttab, b) masjid, c) toko kitab, d) rumah, e) sanggar seni dan sastra, f) perpustakaan, dan g) madrasah.70
Dengan mempertimbangkan materi pendidikan (mata pelajaran) yang diajarkan, selanjutnya institusi-institusi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkat rendah atau dasar, yang meliputi: kuttab, rumah, toko, istana, dan, terkadang berlangsung juga di pasar. Kedua, tingkat menengah, yang meliputi: masjid serta sanggar seni dan sastra. Ketiga, tingkat perguruan tinggi yang meliputi: masjid, perpustakaan, dan madrasah.71
Pada tingkat pertama atau dasar, mata pelajaran secara keseluruhan terdiri dari: a) membaca dan menghafal al-Qur'an, b) pokok-pokok agama Islam, seperti wudhu, shalat, puasa, c) menulis, d) sejarah tokoh e) membaca dan menghafal syair-syair, f) berhitung, dan g) pokok-pokok nahwu dan sharaf. Kurikulum seperti ini tidak dapat diketemukan dalam sebuah institusi, akan tetapi setiap daerah mempunyai kurikulumnya sendiri. Di Maroko misalnya, hanya diajarkan al-Qur'an dan rasm (tulisan)-nya. Di Andalusia diajarkan al-Qur'an, menulis, syair, pokok-pokok nahwu dan sharaf dan khat. Di Tunisia diajarkan al-Qur'an, hadits dan pokok-pokok ilmu agama terutama hafalan al-Qur'an.72
Sedang pada jenjang menengah, kurikulumnya meliputi: a) al-Qur'an, b) bahasa Arab dan sastra, c) fiqh, d) tafsir, e) hadits, f) nahwu, sharaf, serta balaghah, g) ilmu-ilmu eksakta, h) manthiq, i) falak, j) tarikh, k) ilmu-ilmu kealaman, l) kedokteran, m) musik. Mata-mata pelajaran tersebut diajarkan pada daerah-daerah yang berbeda-beda, sebagaimana pada pendidikan dasar. Adapun metode pengajarannya dilakukan secara kondisional. Artinya: bergantung pada masing-masing siswa dan pelajaran.73
Berbeda dengan kedua jenjang sebelumnya, pendidikan tinggi lebih fleksibel dan berbeda antara satu institusi dengan yang lain. Secara umum pendidikan tinggi ini mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama, serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mempelajari antara lain: a) tafsir al-Qur'an, b) hadits, c) fiqh dan ushul fiqh, d) nahwu / sharaf, e) balaghah, f) bahasa dan sastra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari antara lain: a) manthiq, b) ilmu-ilmu alam dan kimia, c) musik, d) ilmu-ilmu eksakta, e) ilmu ukur, f) falak, g) ilmu teologi, h) ilmu hewan, i) nabati, j) ilmu kedokteran. Selama masa itu belum dikenal spesialisasi mata pelajaran.74 Hal terakhir ini ditentukan setelah seorang siswa tamat dari pendidikan tinggi. Yang didasarkan pada bakat dan kecenderungan masing-masing, sesudah praktek mengajar selama beberapa tahun.
Metode pengajaran yang diambil, sebagaimana dijelaskan Stanton, yakni sebelum guru menyampaikan materi, ia terlebih dahulu menyusun ta'liqah. Ta'liqah ini memuat silabus dan uraiannya yang disusun oleh masing-masing tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Ta'liqah mengandung rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka waktu empat tahun. Mahasiswa menyalin ta'liqah itu dalam proses dikte, bahkan kebanyakan mereka betul-betul menyalin. Namun, sebagian yang lain, menambahkan pada salinan ta'liqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ta'liqahnya merupakan refleksi pribadi tentang materi kuliah yang disampaikan gurunya.75
Kelulusan mahasiswa ditentukan oleh kemampuannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasah. Setelah dinyatakan lulus, mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah, yang terkadang diwujudkan dalam bentuk lisan dan tulisan. Ijazah ini lebih diberikan oleh guru daripada sekolah. Pemberian ijazah ini sekaligus merupakan pemberian izin (pada yang bersangkutan) untuk meriwayatkan atau menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa yang lain.76
Menurut Hasan Langgulung, periode ini disebut periode keemasan bagi pendidikan Islam, yang mempunyai ciri antara lain: a) masuknya ilmu-ilmu akal, b) pembinaan sekolah-sekolah, dan c) timbulnya fikiran-fikiran pendidikan yang istimewa.77
B.Lembaga-lembaga Pendidikan pada Masa Klasik
1.Lembaga Pendidikan Dasar
Selama masa klasik, lembaga pendidikan yang dijadikan sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan dasar antara lain: rumah, kuttab, istana, toko dan (terkadang) pasar.
Rumah, sebagaimana dikatakan Ahmad Syalabi, dijadikan sebagai tempat berlangsungnya pendidikan lebih karena kondisi yang mendesak atau karena alasan tertentu dan bukan tempat yang layak.78 Hal ini terjadi pertama kali pada masa awal turunnya Islam. Dan rumah yang pertama kali digunakan adalah rumah seorang shahabat Nabi Muhammad saw. yang bernama al-Arqam ibn Abî al-Arqam, yang dikenal dengan nama Dâr al-Arqam. Selain itu, pendidikan juga berlangsung di rumah Nabi Muhammad saw. sendiri. Guru agung yang mengajar di institusi tersebut adalah Nabi Muhammad saw., dan siswanya adalah para pengikut beliau yang jumlahnya masih sangat terbatas. Pendidikan ini dilakukan secara diam-diam dan proses pelaksanaannya lebih bersifat fleksibel. Artinya tidak dilaksanakan dalam waktu yang pasti. Sedangkan yang dipelajari adalah ayat-ayat al-Qur'an yang berisi tentang aqidah atau ideologi Islam, karena tujuan pendidikan di masa itu adalah untuk meluruskan aqidah umat.
Sementara pada masa Khalifah Abbasiyyah, rumah yang dijadikan sebagai tempat berlangsung pendidikan antara lain: rumah Ibnu Sînâ, al-Abû Sulaimân al-Sijistani (w. 390 H.), al-Ghazâlî, 'Alî ibn Muhammad al-Fasihi, Ya'kûb ibn Killis seorang Wazîr Khalifah al-'Azîz al-Fâthimy, Ahmad ibn Muhammad Abû Thaher (w.576 H.) dan lain-lain. Disiplin ilmu yang pelajari di institusi sini meliputi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, dengan tempatnya sendiri-sendiri.79 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rumah (para ulama') ikut serta ambil bagian dalam mencerdaskan umat, terutama di saat sekolah-sekolah belum banyak berdiri.
Kuttâb sebagai tempat belajar, sudah ada sejak masa pra-Islam. Karena Islam menekankan pendidikan (di antaranya baca-tulis) bagi umatnya, maka kehadiran Islam mendesak perkembangan Kuttâb. Pada mulanya Kuttâb digunakan sebagai tempat belajar baca-tulis, terutama bagi anak-anak, dan seringkali dilakukan oleh orang-orang Kristen (kafir dzimmi dan tawanan-tawanan perang Badar), dan berlokasi di luar masjid. Pengajaran ini dilakukan dengan menggunakan syair-syair yang terkenal pada masanya. Hal itu, untuk menghindarkan diri dari menggunakan al-Qur'an. Sebab penggunaan al-Qur'an untuk belajar menulis dipandang kurang etis.
Sementara pengajaran al-Qur'an serta masalah keagamaan dilaksanakan di masjid secara non-formal. Karena anak-anak (sebagai bagian dari murid yang belajar di masjid) tidak dapat menjaga kebersihan dan kesucian masjid, maka bagi mereka dibuatkan tempat khusus (kuttâb) di samping masjid. Sejak itulah pendirian kuttâb semakin meningkat (di setiap desa terdapat satu atau lebih), sehingga muncullah dua jenis kuttâb. Satu kuttâb untuk pendidikan sekuler (secular learning), dan yang lain untuk pendidikan agama (religious learning). Perbedaan tersebut berimplikasi pada perbedaan honorarium guru. Guru yang mengajar ilmu-ilmu sekuler mendapatkan gaji (meskipun sederhana), sedangkan guru yang mengajar ilmu-ilmu agama tidak digaji. Kecuali jika mereka juga mengajar ilmu-ilmu umum.
Pada perkembangan berikutnya (baca: pada akhir abad I H.), pemisahan disiplin keilmuan dalam Kuttâb mulai hilang. Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama lainnya mulai dipelajari berdampingan dengan pengetahuan-pengetahuan dasar yang lain (baca: umum). Hal ini, tulis Stanton, terjadi ketika seorang guru Kuttâb adalah juga seorang hâfidl. Dengan demikian Kuttâb tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal. Dan al-Qur'an belum dijadikan sebagai kurikulum pokok, hingga dikodifikasi dan disebarluaskan, yakni di zaman 'Usmân ibn 'Affân (651 M.).80 Pada masa Abbasiyyah, sebagai kurikulum utama al-Qur'an dipelajari bersama dengan pelajaran baca-tulis, tata bahasa Arab, kisah-kisah Nabi (terutama hadits-hadits Nabi Muhammad saw.), aritmatika serta puisi. Inilah yang disaksikan ibn Jubayr ketika mengunjungi Damaskus pada 1184 M.81 Dengan demikian secara umum, sebagaimana dijelaskan Mahmud Yunus, kurikulum pendidikan kuttab meliputi: membaca al-Qur'an, pokok-pokok agama (seperti wudhu, shalat, puasa) menulis, aritmatika, kisah orang-orang besar dan nahwu sharaf. Dalam praktiknya, mata pelajaran yang dipilih tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain.82
Di antara kuttâb-kuttâb tersebut, begitu 'Izzudîn 'Abbâs, ada yang mengharuskan bagi siswanya untuk membayar biaya pendidikan, yakni bagi yang kaya, dan ada yang bebas biaya, tentunya bagi para murid yang miskin. Jenis kuttâb yang terakhir ini dikenal juga dengan nama Kuttâb al-sabîl (pondok orang dalam perjalanan).83 Waktu belajar di Kuttâb adalah pada pagi hingga sore hari; dari hari Sabtu sampai hari Kamis. Hari libur selain hari Jumat juga terjadi pada tiap tanggal 1 syawwâl dan tiga hari pada hari raya 'Idul Adhâ kadang-kadang sampai lima hari. Jam pelajaran dibagi tiga. Pertama, pelajaran al-Qur'an dimulai dari pagi hari hingga waktu dhuhâ (jam 9-an). Kedua, pelajaran menulis dari waktu dhuhâ hingga waktu Dluhur, kemudian istirahat. Ketiga, pelajaran ilmu lain, seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung dan lain-lain dimulai setelah istirahat sampai waktu Ashar. Proses belajar ini tanpa menggunakan kelas, bangku, meja dan papan tulis. Guru mengajar murid dengan bergantian one by one, sehingga lama belajar bergantung pada kegeniusan dan kedisiplinan siswa. Pendidikan tidak menggunakan buku standar. Sedangkan metode yang dipakai adalah metode membaca (pengulangan) dan hafalan. Dan ini berlaku pada semua mata pelajaran.84
Sementara istana --dan atau kediaman para bangsawan-- secara khusus dijadikan sebagai lembaga pendidikan oleh kalangan elit khalifah atau kaum bangsawan, yang diilhami oleh halaqah-halaqah yang ada di masjid. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa pendidikan harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa. Oleh karena itu, rencana pelajaran yang akan diajarkan disusun oleh orang tua murid (para pembesar di istana), diselaraskan dengan anak dan disesuaikan dengan tujuan yang dikehendakinya.85 Namun pada dasarnya, jenis pelajarannya tidak jauh beda dengan yang ada di kuttâb. Hanya saja terjadi penambahan atau pengurangan.
Pengajaran di istana bukan saja tingkat rendah tapi sampai tingkat tinggi. Di antara mata pelajaran-mata pelajaran yang diajarkan adalah membaca, menulis, pelajaran agama (al-Qur'an dan hadits, sejarah hukama'), puisi atau syair, menunggang kuda, berenang dan aritmatika.86 Lebih jelasnya, di bawah ini penulis cuplikkan diantara pesan khalifah (Hârûn al-Râsyid) pada muaddib (sebutan bagi guru istana) tentang apa yang harus diajarkan pada putranya (al-Amîn):
"Hai Ahmar ! Sesungguhnya Amîr al-Mu'minîn telah memberikan kepadamu buah hatinya, maka jadikanlah tanganmu terbuka kepadanya dan ketaatannya kepadamu wajib. Janganlah berdosa kepadanya agar engkau selalu berada di tempat kedudukanmu yang telah ditentukan Amîrul Mu'minîn. Bacakanlah kepadanya al-Qur'an. Ceritakanlah kepadanya peristiwa-peristiwa. Riwayatkan kepadanya syair-syair. Ajarkanlah kepadanya sunnah-sunnah Nabi Muhammad saw. Tunjuk-kan kepadanya bagaimana menyusun perkataan dan memulainya. Laranglah dia tertawa kecuali di waktunya. Biasakanlah ia menghor-mati orang-orang besar Bani Hâsyim bila mereka mengunjunginya, dan meninggikan tempat duduk panglima-panglima tentara, bila mereka menghadiri majlisnya. Jangan dibiarkan waktu berlalu walaupun sesaat tanpa engkau ikhtiarkan sesuatu yang berfaedah baginya, tetapi dengan tidak menyusahkan hatinya, karena bila hatinya susah terpukullah otaknya. Janganlah engkau terlampau berlapang dada terhadapnya, karena dengan demikian dia akan malas bekerja dan terbiasa menganggur. Asuhlah dia dengan baik dan lemah lembut sedapat mungkin, akan tetapi kalau yang demikian tidak mempan terhadapnya, pakailah kekuatan dan kekerasannya.87
Dengan kurikulum di tangan para wali murid, adalah wajar jika honorarium yang diterima para guru istana dalam nominal yang relatif besar (namun bergantung pada kekayaan satu keluarga). Syalabi menulis, bahwa gaji yang diterima guru rata-rata 1.000 dirham perbulan, bahkan seringkali lebih. Jumlah ini jauh lebih banyak daripada guru yang mengajar di Kuttâb yang hanya mampu mencapai 500-1000 dirham pertahun. Selain itu, guru juga mendapat tunjangan, seperti (untuk bisa mangasuh dan mendidik dengan sempurna) penginapan, makanan, mungkin juga dihadiahi kuda, perabotan, rumah, gundik dan kesempatan untuk bepergian dan bergaul dengan kelompok elit masyarakat.88
Toko, pada dasarnya merupakan tempat jual-beli kitab yang mulai menjamur pada awal masa Daulah Bani Abbasiyyah, tepatnya di saat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam mulai tumbuh dan berkembang. Al-Ya'qûbî meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar 891 M.) ibukota negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama. Sebagian toko-toko tersebut, sebagaimana toko-toko yang kemudian muncul di Damaskus dan Kairo, lebih kecil dari ruangan samping masjid, tetapi ada juga yang berukuran sangat besar, cukup besar untuk pusat penjualan sekaligus sebagai pusat aktivitas para ahli dan penyalin naskah.89 Di saat ini mulai bermunculan para ulama' yang menulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kitab-kitab tersebut selanjutnya dibeli oleh pemilik toko untuk dijual kembali.
Saudagar-saudagar tersebut bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan dan laba, dengan berjualan. Akan tetapi kebanyakan mereka adalah para sastrawan yang cerdas, yang telah memilih jalan ini dengan harapan agar mereka mendapatkan kesempatan yang baik untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama' dan pujangga.90 Dan, sebagaimana dikatakan Stanton, selain menjadi tuan rumah seringkali mereka sekaligus menjadi pemimpin lingkaran studi, halaqah. Dan tidak jarang juga, mereka mengundang orang-orang pandai dari masyarakat sekitarnya untuk memimpin jalannya diskusi tentang masalah intelektual dan keagamaan.91 Selain itu, mereka dapat menyalin kitab-kitab yang penting dan menyodorkannya kepada mereka yang memerlukan dengan mendapatkan imbalan. Hitti memisalkan hal ini seperti Yaqût, yang telah memulai kariernya sebagai pegawai di sebuah toko buku; Âlî ibn 'Îsa, yang oleh Yaqût dikatakan sebagai saudagar kitab, di samping seorang sastrawan yang telah menulis sejumlah buku. Begitu juga al-Nâdim --dikenal juga dengan nama al-Warraq (lembar kertas)-- (w. 995 M.) yang memulai kariernya sebagai pustakawan dan penjual buku yang kemudian menulis sebuah karya besar berupa katalog berjudul al-Fihrits, yang diakui oleh kalangan akademisi dan ilmuwan sebagai karya yang sangat baik.92
Dengan demikian, toko-toko kitab memiliki multi fungsi. Selain sebagai tempat transaksi, juga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para ulama', pujangga dan para ilmuwan lain, untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah.
2.Lembaga Pendidikan Menengah
Yang termasuk dalam lembaga pendidikan menengah adalah masjid dan sanggar seni. Masjid sebagai lembaga pendidikan menengah, muncul sekitar abad VIII M. Pada mulanya masjid merupakan lembaga pendidikan dasar. Pada zaman Nabi Muhammad saw. dan Khulafâ' al-Râsyidîn, masjid merupakan lembaga pendidikan pokok. Ketika ilmu-ilmu asing memasuki masyarakat Islam, ia juga memasuki masjid dan harus dipelajari bersama-sama dengan ilmu-ilmu agama. Di Madinah, begitu Syalabi mencontohkan, Nabi Muhammad saw. menggunakan masjidnya (Nabawi) sebagai tempat memberi pelajaran kepada para shahabatnya tentang urusan-urusan agama dan dunia.93 Dalam perkembangan selanjutnya, dengan alasan tertentu, ia dijadikan sebagai lembaga pendidikan menengah dan --dalam waktu yang sama-- pendidikan tinggi.94
Lembaga pendidikan kedua setelah rumah semenjak kehadiran Islam ini, jelas Stanton,95 dibedakan menjadi dua; yaitu masjid jâmi' dan masjid non-jâmi'. Masjid tipe pertama, yang memiliki jumlah sangat terbatas (di Baghdad hanya terdapat lima atau enam masjid, sementara di Mesir hanya terdapat enam buah), dibangun oleh khalifah dengan ukuran relatif besar dan dihiasai secara indah. Selain dijadikan sebagai tempat melaksanakan shalat jum'at, masjid ini juga dijadikan sebagai penghubung antara khalifah dengan rakyat banyak. Sedang tipe yang kedua bersifat lokal dan eksklusif serta memiliki jumlah banyak. Masjid tipe ini biasanya lebih kecil dan dibangun untuk kepentingan sekelompok masyarakat muslim tertentu atau sekelompok penganut madzhab tertentu, dengan dukungan dana dari jama'ahnya sendiri, dari satu patronase atau dari satu wakaf. Masjid (tipe) ini sering disebut sebagai masjid-akademi.
Terlepas dari jâmi' atau non-jâmi', masjid merupakan institusi pendidikan, dalam dua jenjang.96 Pendidikan yang berlangsung di sana menggunakan sistem halaqah. Yakni, seorang syaikh duduk dengan dikelilingi para murid(nya). Dalam konteks masjid jâmi', sebagaimana dikatakan Stanton,97 seorang syaikh diangkat --dan seringkali merupakan pengaruh dari pemuka masyarakat serta para bangsawan-- oleh khalifah untuk mengajarkan fiqh atau bidang kajian agama tertentu. Pengangkatan syaikh biasanya berlaku seumur hidup. Kecuali jika ia memiliki kasus tertentu, seperti memiliki ajaran yang menyimpang atau persoalan moralitas, maka tidak menutup kemungkinan ia akan dipecat. Tidak jarang juga jabatan ini diwariskan oleh seorang ayah atau guru kepada anak atau muridnya.
Sebuah halaqah mengambil tempat di sebuah sudut atau di seputar satu pilar dalam satu masjid, dan biasanya dilaksanakan pada pagi hari. Nama halaqah seringkali disesuaikan dengan nama syaikh-nya atau nama disiplin ilmu yang diajarkan. Untuk menghindari kebingungan bagi murid, seorang syaikh tidak diperbolehkan memimpin lebih dari satu halaqah, kecuali dalam masjid yang berbeda.
Berbagai halaqah di masjid (jâmi') menawarkan pelajaran dalam berbagai disiplin. Di antaranya hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh, nahwu, sharaf, dan sastra (syair) Arab. Halaqah yang berlangsung dalam masjid jâmi', lebih bersifat fleksibel-nonformal. Sehingga lembaga ini bebas menerima siswa (baik terdaftar maupun tidak) dari segala umur dan tanpa terikat kapan seorang siswa harus hadir dan halaqah mana yang hendak diikuti, sehingga dia dapat datang dan pergi serta pindah dari satu halaqah ke halaqah yang lain; dari satu masjid ke masjid yang lain; bahkan dari satu kota ke kota yang lain. Selain itu, para siswa tidak perlu membayar biaya pendidikan.
Berbeda dengan masjid jâmi', masjid-akademi lebih formal dalam melaksanakan pendidikannya. Seorang siswa sebelum masuk dalam lembaga ini harus mendaftarkan diri terlebih dulu (pada mudarris). Dalam pengangkatan seorang mudarris (sebutan bagi pengajar fiqh di masa itu) yang idealnya dilakukan oleh khalifah atau wakilnya, sebagaimana dalam masjid jâmi', tidak dilaksanakan dalam masjid-akademi, terutama dalam kasus masjid-masjid yang lebih kecil. Pejabat setempat dan pemuka agama melakukan hal itu dengan persetujuan qâdhi, hakim. Jika sebuah masjid dibangun dan dibiayai oleh sebuah kelompok tertentu untuk kepentingannya sendiri, maka merekalah yang akan mengangkat seorang mudarris, yang mewakili pandangan keagamaan mereka.
Begitu juga sebuah masjid yang dibiayai oleh satu sistem wakaf, dokumen wakaf --waqfiyyah-- biasanya mencantumkan bagaimana seorang pengurus harus diangkat. Patron (pemberi wakaf) biasanya menyatakan kualifikasi mudarris yang dapat diterima, terutama tentang madzhab yang dia ikuti. Bahkan, pemberi wakaf mungkin telah menunjuk seseorang. Disiplin ilmu yang mendapat perhatian lebih dalam institusi ini adalah fiqh (dalam semua madzhab).
Seorang mudarris, yang biasanya hanya satu orang dalam satu masjid, seringkali merangkap juga sebagai imâm. Dengan demikian, dalam satu masjid hanya terdapat seorang imâm yang sekaligus merangkap mudarris. Dialah yang menentukan kurikulum dan sifat pengajaran. Sehingga masjid-akademi dapat dikatakan sebagai manifestasi dari diri mudarris sendiri.
Karena masjid --jâmi' maupun akademi-- merupakan lembaga yang dikelola oleh masing-masing syaikh atau mudarris, maka konsekuensi logisnya, masing-masing masjid memiliki kewenangan untuk menentukan disiplin ilmunya sendiri-sendiri. Sungguhpun secara umum disiplin ilmu yang diajarkannya, sebagaimana dijelaskan di atas, adalah fiqh dan ilmu-ilmu agama, namun hal itu tidak selamanya berlaku secara konsisten pada semua masjid. Bahkan ada (juga) masjid yang cenderung mengajarkan ilmu-ilmu umum (al-'ulûm al-'aqliyyah).
Kasus terakhir ini, sebagaimana dideskripsikan Ahmad Syalabi,98 dimisalkan seperti masjid jâmi' al-Tuluni (berdiri 256 H.) dan masjid jâmi' al-Azhâr. Pada masjid pertama, dengan mengutip al-Suyuthi, beliau menjelaskan, bahwa di masjid ini dipelajari tafsir, hadits, fiqh dalam empat madzhab, qira'at, kedokteran dan hisab. Dalam masjid terakhir, dengan mengutip Abdul Lathif al-Baghdadi, beliau menjelaskan, bahwa di al-Azhar juga diajarkan ilmu kedokteran, yang diselenggarakan pada waktu tengah hari pada tiap-tiap hari.99
Lebih lanjut Said Mursi Ahmad dan Hasan 'Abd al-'Al dalam uraian Maksum, mengatakan bahwa pada awalnya di masjid diajarkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah agama. Kemudian mencakup juga al-'ulûm al-ajnabiyyah sebagai hasil dari pertemuan dengan budaya asing, tetapi masih sangat minor. Di antara al-'ulûm al-ajnabiyyah tersebut adalah ilmu bumi, matematika, mantiq, filsafat dan thîbb, yang semuanya diajarkan di sejumlah kecil masjid.
Sanggar seni (sastra) muncul pertama kali pada masa khalifah Bani Umaiyah dalam formatnya yang bersahaja, sebagai perkembangan dari majlis-majlis yang telah ada pada masa Khulafâ' al-Râsyidîn yang diselenggarakan di masjid. Institusi ini mendapat kemegahannya dibawah imperium khalifah Bani Abbasiyyah dengan dinamikanya sendiri.100 Dalam periode kedua masa ini, institusi ini mulai dikenal di kalangan para penguasa dan kaum bangsawan yang lebih rendah baik di Damaskus maupun di Baghdad, seperti yang diselenggarakan oleh Sultan Mahmûd al-Ghaznawi dan Nidlâm al-Mulk.101
Namun berbeda dengan masa Khulafâ' al-Râsyidîn, sanggar sastra ini lebih bersifat eksklusif (berdasarkan undangan dari penyelenggara). Hari dan waktu pelaksanaan juga sepenuhnya bergantung pada khalifah sebagai penyelenggara. Selain itu, ada beberapa etika tertentu yang harus dipenuhi dalam menghadiri majlis ini. Seperti harus berpakaian rapi, menggunakan wangi-wangian, meninggalkan sesuatu yang tidak disuka khalifah dan lain-lain.102 Prestise dan popularitas sanggar, terutama, bergantung pada kekayaan dan kekuatan patron (penyelenggara) dalam mengundang para cendekiawan atau kaum intelek. Di antara sanggar (lingkaran) di istana yang paling terkenal karena kualitas diskusinya, adalah yang diselenggarakan oleh khalifah al-Râsyid dan al-Ma'mûn. Sanggar al-Râsyid sebagaimana dijelaskan Mahmud Yunus, telah melahirkan beberapa ilmuwan interdisipliner. Dalam bidang syair misalnya, muncul Abû Nuwas, bidang musik muncul Ibrâhîm al-Mausili, bidang bahasa Sibaiwi dan bidang fiqh, Abû Yûsuf dan beberapa ilmuwan lainnya.103
Munculnya beberapa ilmuwan tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa ilmu yang didiskusikan pada institusi ini meliputi berbagai disiplin. Walaupun status dan penghargaan sosial tetap dikuasai para khalifah dan gubernur, tetapi para penguasa dan kaum bangsawan yang lebih rendah serta kelompok saudagar terus berusaha keras untuk memperoleh dukungan dan pengakuan dengan tampilnya ilmuwan di sekitar mereka dan kecanggihan wacana yang ditampilkannya. 104
Orang-orang yang diundang untuk hadir mewakili kelompok cerdik-pandai pada masa itu adalah dari kelompok tertentu. Para astronom, ahli matematika, filosof, teolog, pemimpin keagamaan dan pejabat politik misalnya, sangat ingin ikut terlibat dalam sanggar sastra yang lebih selektif. Dan yang paling diharapkan adalah undangan dari khalifah atau gubernur. Kehormatan dan tanda penghargaan yang khusus bertambah bagi orang-orang yang diundang dalam perdebatan atau diskusi seperti itu. Tidak mengherankan jika para ilmuwan muda berusaha keras untuk mendapatkan undangan tersebut, dengan harapan dapat meraih pengakuan apabila mereka menyelenggarakan sendiri forum keilmuan itu.105
Topik-topik yang didiskusikan, begitu Stanton,106 lebih bersifat intelektual dan aktual di masanya, yang sudah ditetapkan (terutama) oleh penyelenggara. Namun terkadang seorang penyelenggara meminta pertimbangan kepada para intelektual yang diundang dalam menentukan topik yang akan didiskusikan. Diskusi (debat) biasanya diawali dengan pembacaan teks (baca: makalah) terlebih dahulu; dan para peserta diharap telah membaca beberapa referensi yang berkaitan dengan topik diskusi sebagai persiapan. Sungguhpun metode ini sangat terbatas, bagi para partisipan di sebuah sanggar, namun sekurang-kurangnya aktifitas itu memberikan kesempatan (bagi mereka) untuk melakukan refleksi tentang masalah-masalah penting, dan menunjukkan keterampilannya dalam diskusi.
Seperti halnya dalam halaqah yang bersifat individual yang diselenggarakan oleh seorang ilmuwan, sanggar-sanggar itu cenderung mendorong pengkajian karya-karya filsafat dan sains Yunani. Para pengunjung ditantang untuk memperdebatkan topik-topik yang berkaitan dengan subyek-subyek itu dan peranannya di dalam kehidupan intelektual Islam. Sebuah topik yang sangat serius, apakah al-Qur'an termasuk makhluk atau bukan, telah mendapatkan perhatian dari sanggar-sanggar di Baghdad.
Setelah tekanan terhadap gerakan Mu'tazilah dan pemutusan aliran rasional bangsa Yunani dalam kehidupan intelektual Islam, sanggar-sanggar sastra ini cenderung mengukuhkan kembali ajaran-ajaran tradisional, memperlemah dorongan-dorongan bagi kemajuan intelektual yang luas. Sungguhpun demikian, tidak dapat diabaikan kontribusi sanggar tersebut, terutama perannya sebagai media bagi masuknya pemikiran intelektual dan sains Yunani ke dalam peradaban Islam. Yang pada gilirannya melahirkan lembaga-lembaga tinggi lain yang lebih formal, ketika aneka ragam lingkaran studi di istana mengembangkan perpustakaan, observatori, dan pusat penerjemahan.
3.Lembaga Pendidikan Tinggi
Di antara lembaga-lembaga pendidikan tinggi adalah masjid, perpusta-kaan dan madrasah. Masjid, sebagai lembaga pendidikan tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah. Dengan demikian, dari sudut disiplin ilmu yang dipelajari sama dengan yang ada pada jenjang sebelumnya (penulis tidak mendapatkan data konkrit, yang membedakan antara kedua jenjang dari sudut ini). Perbedaan antara keduanya, sebagaimana disinggung di atas, lebih terlihat pada status guru (syaikh), apakah dia ulama' besar dan memiliki prestise tinggi atau belum mencapai derajat itu. Kualifikasi tersebut tentunya berimplikasi pada kualitas seorang syaikh, dan pada batas-batas tertentu, ilmu yang diperoleh siswa.
Perpustakaan sebagaimana dikatakan Syalabi, didirikan karena mahalnya harga manuskrip ketika itu. Sehingga alternatif yang dianggap efektif bagi pengajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan di masa itu adalah perpustakaan.107 Perpustakaan, begitu Hitti, menyimpan beberapa buku dalam berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat, astronomi dan lain-lain di samping ilmu agama. Selain digunakan untuk membaca, perpustakaan juga dijadikan sebagai tempat diskusi dan debat ilmiah, sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan tinggi sekarang.108 Di sinilah orang (bisa) menemukan titik permulaan dari pusat keilmuan yang sangat kompleks.
Dalam pandangan orang-orang Arab, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Pengaruh tulisan al-Jahiz dalam hal ini tidak dapat diabaikan. Buku itu diam bila engkau menghendaki dia diam, berbicara bila engkau menghendakinya. Dia tidak akan mengganggu kalau engkau sedang bekerja, tetapi bila engkau merasa kesepian dia akan menjadi temanmu yang baik. Engkau tidak perlu berminyak air terhadapnya dan juga tidak akan berkecil hati. Dia adalah teman yang tidak menipu atau bermuka dua, begitu al-Jahiz menulis.109 Dengan demikian, bagi mereka perpustakaan lebih berharga dari segalanya. Bukan hanya ulama' dan para khalifah yang mendirikannya. Tetapi orang-orang awam pun ikut menyemarakkan dalam pembangunannya.
Dalam perpustakaan, lanjut Syalabi,110 selain terdapat ruangan-ruangan tempat buku, juga terdapat kamar-kamar dan ruangan-ruangan yang dilengkapi dengan permadani dan tikar-tikar yang bagus serta perabot-perobot untuk berbagai macam kepentingan lain. Seperti membaca, menyalin, dan lain-lain. Bahkan ada yang menyediakan kamar-kamar untuk musik. Untuk kemudahan dalam mencari buku, dibuatlah manajemen yang rapi. Selain disediakan katalok, juga terdapat tulisan tentang nama dan nomor-nomor buku yang di tempel di setiap almari, dan keterangan tentang halaman yang sudah hilang. Perpustakaan-perpustakaan tersebut juga memberikan fasilitas pinjaman, bahkan hal itu diutamakan, dengan persyaratannya sendiri-sendiri, seperti terbatas masanya, harus dijaga keotentikan isi buku dan lain-lain. Sehingga tidak perlu lagi orang yang ingin membaca buku, membelinya terlebih dahulu.
Untuk bisa memberikan pelayanan yang memuaskan, perpustakaan memiliki beberapa petugas dengan jabatannya masing-masing, dan berbeda antara satu perpustakaan dengan perpustakaan lain. Beberapa jabatan yang secara umum terdapat pada setiap perpustakaan antara lain pemimpin perpustakaan, penerjemah, penurun, penjilid dan pembantu. Pada umumnya, segala biaya perpustakaan, seperti bangunan, mendatangkan buku baru, gaji pegawai dan lain-lain, ditanggung oleh dana wakaf dari pemerintah. Sehingga dalam hal gaji, besar kecilnya gaji pegawai perpustakaan bergantung pada besarnya dana wakaf.
Di antara perpustakaan-perpustakaan tersebut, ada yang diperuntukkan bagi masyarakat umum, semi-umum dan ada yang khusus. Perpustakaan jenis pertama didirikan oleh khalifah, wazir, maupun penguasa lokal di masjid-masjid dan di madrasah-madrasah, dengan tujuan untuk mempromosikan kegiatan baca-tulis dan memajukan tingkat pendidikan di wilayah kekuasaan mereka. Perpustakaan ini jumlahnya amat banyak. Selain berkembang di Baghdad (yang memiliki 36 perpustakaan) dan kairo (yang memiliki lima lembaga perpustakaan yang terkemuka), perpustakaan ini juga berkembang di ibu kota-ibu kota propinsi (termasuk di Bukhara, Marw, Samarkand, dan Nishapur) dan sepanjang wilayah Afrika Utara, terutama di pusat-pusat utama kebudayaan Islam di Andalusia.111
Di antara perpustakaan tersebut, sebut Syalabi, adalah Bait al-Hikmah, yang didirikan khalifah Hârûn al-Râsyid di Baghdad, perpustakaan al-Haidariyah di Najaf yang mendapatkan perhatiannya dari 'Adûd Daulah dari dinasti Buwaihi, perpustakaan Ibn Sawwar yang didirikan di Basrah oleh Abû 'Alî ibn Sawwar orang dekat 'Adûd Daulah, perpustakaan di masjid al-Zaidi yang pendiriannya disponsori oleh 'Adûd al-Dîn Muhammad, seorang wazir dari khalifah al-Mustadhi' bi Amrillâh, Dâr al-Hikmah yang didirikan oleh khalifah al-Hâkim bi Amrillâh di Kairo.112 Jumlah seri yang ada di perpustakaan-perpustakaan (umum) tersebut, tegas Stanton, sulit diprediksi, karena data-data dari abad-abad itu (baca: klasik) cenderung melebih-lebihkan. Tetapi banyak perpustakaan dilaporkan memiliki antara 100.000 dan 1.000.000 volume.113
Dalam Bait al-Hikmah terdapat pula sanggar sastra, lingkaran studi, observatori; penerjemahan dan penerbitan yang semuanya berada dalam pengawasan khalifah. Perpustakaan yang dianggap juga sebagai "Akademi Ilmu Pengetahuan" ini, merupakan lembaga pendidikan tinggi pertama di dunia yang mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Di sanalah al-Kindi (w. 873 M.) mendirikan sekolah berbahasa Arab yang mengajarkan filsafat peripatetik yang kemudian dikembangkan oleh al-Fârâbi, Ibn Sînâ, dan Ibn Rusyd. Di tempat ini juga al-Khawârizmî tidak hanya memberikan kontribusinya bagi filsafat, teologi, matematika, tetapi juga melakukan penelitian di laboratorium perbintangan.114
Sementara perpustakaan semi-umum, tidak diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat, tetapi bukan pula khusus bagi pendirinya, karena memang bukan itu tujuannya. Perpustakaan jenis ini didirikan oleh para khalifah dan raja dengan maksud memuliakan dan menghargai serta agar dekat dengan ilmu pengetahuan. Dan diperuntukkan bagi mereka yang mendapatkan izin. Sebagaimana dikatakan al-Maqdisi: tidak dibolehkan mengunjungi perpustakaan ini kecuali mereka yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Perpustakaan jenis ini, begitu Stanton, seringkali melayani kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukan para ilmuwan dan mahasiswa, di samping menyediakan kamar-kamar untuk belajar mandiri dan untuk penggunaan buku-buku dalam jumlah yang sangat banyak. Sejarah mencatat bahwa para patron yang kaya raya tidak saja menyediakan kertas, tinta dan pena, tetapi juga makanan, tempat menginap bahkan pesangon bagi orang-orang yang terbatas sumber keuangannya.115
Perpustakaan ini dimisalkan seperti perpustakaan al-Nâshir li Dînillâh, yang memerintah pada 575-622 H. / 1179-1225 M. Perpustakaan ini memuat buku yang amat banyak. Sebagian buku yang ada, diceritakan telah memenuhi tiga perpustakaan yang besar-besar. Selanjutnya, perpustakaan al-Musta'shim Billâh, seorang khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiyyah, yang dikenal dengan Khizânah al-Kutub. Bahkan al-Musta'shim mendirikannya di dua tempat. Dan perpustakaan-perpustakaan para khalifah Fathimiyah di Kairo. Terdapat banyak pendapat tentang jumlah buku dalam perpustakaan tersebut. Abû Syamah menyebutkan terdapat 2.000.000, sementara al-Maqrizi menyatakan terdapat 1.600.000 buku.116
Sedangkan perpustakaan khusus, selain didirikan oleh bangsawan juga didirikan oleh para ulama' dan sastrawan, khusus untuk kepentingan mereka sendiri. Perpustakaan jenis inipun memiliki jumlah yang amat banyak. Di antara perpustakaan ini adalah perpustakaan al-Fath ibn Khaqan (w. 247 H. / 861 M.), seorang wazir dari khalifah al-Matawakkil yang juga seorag ulama' yang memiliki kegemaran membaca; perpustakaan Hunain ibn Ishâq (w. 264 H. / 877M.), seorang dokter dan penerjemah besar pada masa al-Ma'mûn, yang menguasai bahasa Yunani, Suryani dan Persia; perpustakaan Ibn al-Khasysyab (w. 567 H. / 1171 M.), seorang ulama' yang pandai dalam disiplin bahasa (Arab), tafsir, hadits, dan nasab; perpustakaan al-Muwaffaq ibn Mathran (w. 587 H.), yang disebut Syalabi sebagai seorang yang berotak tajam dan pandai dalam ilmu kedokteran; perpustakaan Jamaluddîn al-Qifthi (w. 646 H.), seorang wazir yang mahir dalam ilmu nahwu, bahasa, fiqh, 'ulûm al-Qur'an, ushûl, manthiq, astronomi, ilmu ukur dan sejarah; perpustakaan al-Mubasysyir ibn Fatik (w. abad V), salah seorang pangeran Mesir yang terkemuka, dan lain-lain.117
Karena perpustakaan-perpustakaan tersebut tidak berjalan di bawah pengawasan pemimpin-pemimpin pemerintah dan keagamaan, maka karya-karya sains dan filsafat Yunani terus berkembang di perpustakaan ini, sekalipun pada masa pemberantasan ide-ide asing yang mulai selama kekhalifahan al-Mutawakkil (abad ke-IX). Hal tersebut pada gilirannya memberikan kepuasan tersendiri bagi para ilmuwan, sebagaimana yang dirasakan oleh Ibn Sînâ yang terungkap dalam catatan hariannya. Bahwa ia memiliki kebanggaan khusus di perpustakaan milik seorang ratu di propinsinya. Demikian juga ilmuwan-ilmuwan lain, mereka mengakui kemajuan intelektualnya dengan dihadirkannya perpustakaan oleh para hartawan dan majikan yang lebih ningrat.118
Perpustakaan-perpustakaan yang merupakan tradisi pendidikan tinggi dalam dunia Islam tersebut, dicatat para sejarawan Barat, sebagai warisan intelektual dan kebudayaan Islam yang paling berharga dan sangat memengaruhi kemajuan peradaban Eropa. Herbert A. Devies dalam An Outline History of the World, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra,119 mengatakan, umat Islam telah mendirikan universitas-universitas besar yang selama beberapa abad melebihi apa yang dipunyai Eropa Kristen. Universitas di Baghdad, Kairo, dan Kordova khususnya, merupakan pendidikan tinggi yang termasyhur. Banyak orang Kristen yang belajar pada universitas-universitas Islam, terutama di universitas Kordova. Orang-orang Kristen tersebut kemudian membawa ilmu dan kebudayaan ke negeri-negeri asal mereka serta pengaruh universitas Spanyol atas universitas Paris, universitas Oxford dan universitas-universitas lainnya yang mereka bangun di Itali.
Madrasah sebagai institusi pendidikan tidak bisa lepas dari institusi sebelumnya, terutama masjid. Pendidikan yang terus berkembang memaksa bertambahnya jumlah halaqah yang diselenggarakan di masjid-masjid. Sudah pasti hal itu menimbulkan suasana ricuh. Terutama ketika proses pendidikan menggunakan sistem tanya jawab, debat dan diskusi, sebagai implikasi perkembangan pendidikan. Semua itu menyebabkan terganggunya fungsi utama masjid, yakni untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. Sebagai solusi, ditambahlah masjid itu dengan ruangan-ruangan khusus untuk pendidikan ('iwân), pemondokan dan lain-lain, yang terus mengalami perkembangan sesuai kebutuhan. Inilah yang menjadi ciri madrasah ketika itu dan yang sekaligus membedakannya dengan masjid.120 Makdisi menyebut madrasah ini sebagai masjid-khan.
Ketika Bani Saljuk berkuasa atas kekhalifahan Abbasiyyah, di bawah kekuasaan Alp Arslân (1063-1072) M.) dan Mâliksyah (1072-1092 M.), seorang wazir, Nidlâm al-Mulk, pada 1065 M. mendirikan madrasah yang lebih independen, tidak tergabung dengan masjid, di Baghdad. Sebuah prototipe madrasah yang didirikan pertama kali sepanjang sejarah pendidikan umat Islam, yang diberi nama madrasah Nidlâmiyah.121 Madrasah tersebut memiliki prestise yang tinggi dan menjadi model bagi pendirian madrasah di zamannya dan sesudahnya. Stanton mengilustrasikan madrasah tersebut sebagai madrasah yang paling unggul pada abad XI, yang menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi dan model bagi pembangunan lembaga-lembaga serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam.122 Sehingga, menurut Hasan 'Abd al-'Al, munculnya madrasah Nidlâmiyah ini merupakan indikasi bagi lahirnya era baru dari tahapan perkembangan institusi pendidikan Islam. Melihat corak kajiannya, madrasah (Nidlâmiyah) dapat dianggap sebagai tradisi sistem pendidikan yang bercorak fiqh dan hadits, setidaknya pada masa Abbasiyyah di Baghdad.123
Dengan kekhasannya sendiri, madrasah lebih unggul dibanding dengan institusi yang lain. Segera setelah perkembangan masjid dan Kuttâb, madrasah berkembang pesat sesuai dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat muslim di masanya, yang ditandai dengan berkembangnya ilmu dan kebutuhan.124 Pada abad ke-11 M. pola dasar pembangunan lembaga pendidikan tinggi yang terpisah dari masjid (baca: madrasah) --dengan implikasi kontrol otoritas keagamaan yang melekat padanya-- namun tetap diabdikan kepada pandangan teologis tertentu sangat populer, dan hal ini berlangsung terus hingga saat sekarang di negara-negara Islam.125
Ibn Jubayr, sebagaimana dikatakan Hitti, menjelaskan bahwa di Baghdad terdapat sekitar tiga puluh madrasah, di Damaskus terdapat dua puluh madrasah, di Mosul terdapat sekitar enam madrasah dan di Hims terdapat satu madrasah. Madrasah-madrasah tersebut didirikan secara pribadi oleh para saudagar, ulama' maupun penguasa.126 Nidlâm al-Mulk sendiri, jelas Ahmad Syalabi, telah membuka cabang madrasahnya di beberapa wilayah, seperti Baghdad, Balkh, Nisabur, Harat, Asfahan, Bashrah, Marwu, Amal dan Mausil. Bahkan al-Subki mengatakan Nidlâm al-Mulk mempunyai madrasah di setiap kota di Iraq dan Khurasan.127 Setelah itu, ide ini masuk ke wilayah Syam, dan pada tahun 491 H. / 1097 M. didirikanlah madrasah dengan mengambil Damaskus sebagai tempat. Dari situ meluas lagi ke Mesir di bawah kendali Shalâhuddîn al-Ayyûbi, yaitu mulai tahun 567 H. / 1171 M.128
Pertumbuhan dan perkembangan madrasah tersebut, sekurang-kurangnya diwarnai oleh tiga faktor. Pertama, faktor transformasi madrasah. Sebagaimana disinggung di atas, madrasah adalah transformasi dari masjid, maka madrasah tetap menampakkan elemen masjid meskipun menunjukkan perubahan dari segi kekhususan dalam penyelenggaraan pendidikan sampai tingkat lanjutan. Kedua, faktor aliran keagamaan. Madrasah merupakan lembaga pendidikan aliran Sunni. Sebagai reaksi terhadap doktrin dan kepercayaan-kepercayaan Syi'ah yang ditanamkan sebelumnya oleh Dinasti Buwaihi dan Fathimiyah yang dinilai batil. Sehingga untuk meluruskan keberagamaan umat, pelajaran yang dinilai efektif adalah ilmu agama, al-'ulûm al-naqliyyah. Yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur'an seperti Tafsir, Qira'at, Hadits, Ushul Fiqh dan Fiqh sebagai kajian inti; serta al-'ulûm al-lisâniyyah, seperti bahasa dan sastra, nahwu, sharaf.129 Dan tidak mengajarkan mantiq serta tradisi berpikir filsafat. Keadaan ini menyebabkan madrasah kurang mendapat motivasi untuk memperhatikan ilmu-ilmu yang membutuhkan basis logika dan filsafat, seperti ilmu pasti dan kealaman, kedokteran, kimia, fisika dan lain-lain. Kecuali di madrasah al-Dikhwariyah, yang dibangun pada 621 H. / 1224 M. oleh Muhadzdzab al-Dîn al-Dikhwâr (w. 628 H. / 1231 M.) dan madrasah al-Dunaysariyah yang didirikan oleh Imâd al-Dîn al-Dunaisari, keduanya adalah pakar dalam ilmu kedokteran. Di sekolah tersebut dipelajari ilmu kedokteran.130
Ketiga, faktor politik pemerintah.131 Keterlibatan pemerintah dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah tidak dapat dielakkan. Bahkan pendidikan (madrasah) merupakan bagian dari institusi pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuannya. Beberapa pejabat pemerintah yang disinyalir sebagai memiliki kaitan dengan ide dan penyebaran madrasah adalah: Nidlâm al-Mulk (456-485 H. / 1063-1092 M.), Nûr al-Dîn Zanky (541-569 H. / 1146-1174 M.), Shalâhuddîn al-Ayyûbi (564-589 H. / 1169-1193 M.), dan al-Mustanshir bi Allâh (623-640 H. / 1226-1242 M.).132 Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan dan kepentingan mereka dalam pemerintahan merupakan sesuatu yang sangat menentukan. Dengan kata lain, madrasah merupakan kebijakan religio-politik bagi penguasa.
Keterlibatan pemerintah tersebut tampak dalam beberapa aspek. Di antaranya, pertama aspek keilmuan. Dalam hal ini pengaruh pemerintah tampak dalam mengarahkan madrasah kepada ilmu yang mendukung satu dari empat madzhab fiqh. Sungguhpun secara umum, sebagaimana dikatakan Syalabi, di madrasah diajarkan fiqh empat madzhab,133 akan tetapi dalam konteks madrasah Nidlâmiyah, sebagaimana dikatakan Hitti, penekanan terhadap ajaran-ajaran madzhab Syâfi'î --dan teologi Asy'ariyah-- tidak dapat dielakkan.134 Kedua, dalam pengajaran hadits. Pilihan terhadap pengajaran hadits yang dilakukan oleh Nûr al-Dîn Zanky merupakan bagian untuk menghidupkan ajaran Sunni di satu pihak, dan melawan Syi'ah (yang hanya percaya pada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ahl al-bait) di pihak lain. Selain itu, materi pelajaran hadits yang lebih banyak mendapatkan perhatian untuk diajarkan adalah yang berkaitan dengan kepahlawanan dan jihad. Hal itu dimaksudkan terutama untuk membakar semangat perlawanan terhadap pendudukan orang-orang Kristen atas daerah-daerah di Syam (Siria), termasuk al-Quds.
Ketiga, dalam metode pengajaran. Karena pemilihan materi pelajaran memiliki kaitan dengan tujuan-tujuan politis atau sektarian, maka teknik penyampaiannya cenderung tertutup dan bersifat indoktrinasi, tidak mengembangkan cara berpikir bebas. Ekses dari metode ini adalah peralihan madzhab oleh sebagian besar siswa. Sebuah degradasi pendidikan, sekurang-kurangnya bila dibanding dengan masjid. Karena di masjid seseorang bebas mengeluarkan pendapat dan memilih halaqah sesuai dengan minatnya, tanpa sanksi. Keempat, sebagaimana ditulis Stanton, dalam pengangkatan staf.135
Menurut J. Pederson dan Youssef Eche, madrasah ini merupakan duplikasi dari lembaga pendidikan (perpustakaan) Dâr al-'Ilm yang lebih dahulu berkembang di wilayah Dinasti Fathimiyyah. Jika Dâr al-'Ilm dijadikan sebagai media pendidikan dan propaganda Syi'ah, maka madrasah merupakan media pendidikan --sekaligus propaganda-- bagi Sunni. Begitu juga Makdisi, dia mengatakan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan khas Islam Sunni.136
Bangunan madrasah dilengkapi dengan satu perpustakaan yang tergabung dalam bangunan yang sama. Tersedianya (dalam perpustakaan) berbagai karya lebih dari sekedar buku-buku pelajaran meningkatkan pengalaman belajar siswa dengan memperkenalkan mereka kepada bermacam pandangan dan kepada sejumlah tulisan, lebih dari sekedar kebutuhan langsung pengajaran. Selain itu, dalam konteks Nidlâmiyah, Nidlâm al-Mulk menyediakan wakaf untuk membiayai seorang mudarris, imam dan siswa (dengan beasiswa dan asrama). Bantuan bagi siswa inilah yang sekaligus membedakan antara madrasah dengan masjid-akademi.137
Madrasah (dalam bentuk klasiknya) yang dalam ilustrasi Stanton dapat disebut sebagai akademi (college) dalam konteks sekarang, di masa-masa berikutnya memiliki pengaruh yang luas dan monumental. Beberapa ilmuwan --baik muslim maupun Barat-- dalam karya masing-masing sebagaimana dikutip oleh para ilmuwan yang lebih belakangan, telah mengakui pengaruh yang sangat dominan ini, baik terhadap tradisi keilmuan maupun praktek pendidikan dalam Islam (sendiri) maupun bagi bangsa-bangsa Eropa.
Dalam Islam misalnya, sebagaimana ditulis Hitti, madrasah (Nidlâmiyah) merupakan model bagi pembangunan akademi-akademi (madrasah) lainnya yang tersebar di wilayah Khurasan, Irak dan Suriah.138 Prestise dan daya tarik al-Ghazâlî (salah seorang pengajarnya) juga masih terus mewarnai pergumulan pemikiran tokoh-tokoh Islam, bahkan hingga kini.
Sementara pengaruhnya bagi Barat, sebagaimana dikutip Hitti, Reubin Levy mengatakan, sebagian sejarawan mengatakan bahwa beberapa detil organisasi sekolah ini (baca: madrasah) ditiru oleh orang Eropa untuk membangun universitas-universitas mereka yang pertama. Senada dengan statemen tersebut, al-Dailamî sebagaimana ditulis Maksum, juga menyatakan bahwa pendirian universitas-universitas di Barat adalah sebagai hasil inspirasi dan pengaruh madrasah (Nidlâmiyah). Begitu juga George Makdisi, masih dalam kutipan Maksum, dalam beberapa tulisannya membuktikan, bahwa tradisi akademik Barat secara historis mengambil banyak keuntungan dari tradisi madrasah.139
Stanton juga menjelaskan, walaupun pengaruh ilmu dan peradaban Islam terhadap pendidikan Barat dianggap oleh kalangan Kristen Barat lebih bersumber pada lembaga-lembaga informal dan pribadi yang dikembangkan melalui perpustakaan, rumah sakit, observatorium dan lain-lain, namun mereka tidak bisa mengabaikan lembaga dan metode pengajaran yang berlangsung dalam madrasah.140 Pengaruh tersebut tentunya tidak terlepas juga dari terselamatkannya madrasah Nidlâmiyah dalam melewati malapetaka besar, yakni ketika Hulagu Khan pada tahun 1258 menyerang Baghdad. Juga serangan dari bangsa Tartar.